18

2.3K 158 7
                                    

Ada rasa sakit yang tidak bisa diceritakan ke orang lain. Seperti percuma menceritakannya karena pada dasarnya tidak ada yang akan peduli padamu kecuali dirimu sendiri.

●●●●●

"Gak gitu cara megang bolanya, By."

"Lempar yang benar."

"Kurang tinggi ngelemparnya."

"Loncat, By. Kalau gak nyampe ya loncat."

"Jangan duduk katanya mau pande main basket."

"Tuhkan jadi jatuh makanya pelan-pelan."

"Istirahat dulu."

Evan menghela napas lelah mengajari Ruby bermain basket. Sangat susah untuk membuat Ruby menguasai bola orange itu.

"Capek gue," keluh Ruby.

"Nyerah aja deh," ujar Ruby. "Udah gak sanggup."

"Gampang banget nyerahnya baru juga sehari," sinis Evan.

Ruby langsung mencondongkan badannya ke dekat Evan. "Itu artinya lo mau ngajarin gue lagi? Lo mau kita belajar basket sampe berhari-hari?"

Evan merutuki dirinya sendiri. Astaga, apa yang sudah dia katakan. Kalau Shila tau hal ini pasti perempuan itu akan mengamuk.

"Gimana kalau lo manggil guru beneran aja buat ngajarin lo," saran Evan. "Gue gak bisa selalu ngajarin lo, By. Gue kan juga punya kehidupan. Tugas sekolah akhir-akhir ini juga lagi banyak," ujarnya mencoba membujuk gadis yang tengah menatapnya dengan mata berbinar.

"Padahal lo tinggal bilang gak mau, gampang," kekeh Ruby memalingkan wajahnya.

Evan tertawa kecil. Dia menepuk pelan tangan Ruby. "Bukan gue gak mau tapi emang lebih baik lo langsung diajarin sama yang udah profesional aja. Jadi biar sekalian lo langsung jago mainnya. Ntar kalau lo udah bisa main kita tanding berdua."

Melihat Evan dari jarak sedekat ini membuat jantung Ruby tidak sehat. "Jauhan dikit ntar kalau ada orang yang lihat bisa salah paham," ujar Ruby gugup.

Evan tersenyum tipis. "Kalau gitu gue balik ke kelas deluan ya. Lo mau ikut atau masih mau di sini?"

"Lo deluan aja. Gue masih pengen duduk bentar," suruh Ruby.

Evan menepuk pelan pahanya. Sebelum beranjak dari duduknya dia sempat memandang Ruby dari wajah sampai kaki perempuan itu. Novan benar bahwa Ruby sudah sedikit berubah dia sudah mulai memakai skincare.

"Jangan pernah berubah untuk mendapatkan seseorang. Karena kalaupun lo berhasil mendapatkanya itu artinya dia cuma menerima perubahan lo bukan menerima diri lo yang sebenarnya. Gak ada yang salah untuk terlihat sedikit berbeda."

Ruby tercekat, dia menoleh menatap Evan yang terlihat sangat serius dengan ucapannya barusan.

"Itu cuma sekedar saran kecil. Gue ke kelas dulu," pamit Evan meninggalkan Ruby yang masih berpikir keras akan kata-kata itu.

Saat Evan ingin membuka loker untuk mengambil baju sekolahnya dia dikejutkan dengan keberadaan Shila di sana.

"Gimana main basketnya? Enak? Seru? Nyaman? Atau gimana?" sarkas Shila.

Evan menoleh ke kanan, kiri dan belakang. Mencoba memastikan bahwa tidak ada orang lain di sini.

"Kenapa mukanya linglung gitu? Kaget karena aku tau?"

"Padahal aku udah bilang buat jauhin dia tapi masih aja kamu deketin," ujar Shila. Kecewa membekas di matanya.

"Shil, tenang dulu. Aku cuma ngajarin Ruby main bakset itu aja," ucap Evan mencoba memenangkan Shila yang sepertinya benar-benar marah.

DARK CLOUD (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang