LIMA PULUH

1.4K 81 12
                                    

"Reno."

Semua menoleh. Tapi hanya satu yang terkejut.

Sama sekali tidak disangkanya akan melihat Abel lagi. Sejujurnya dia tidak punya muka untuk menghadapi istri yang begitu sabar dengannya selama ini. Tidak secepat ini, setidaknya. Atau dia berhalusinasi? Tidak, dia memang banyak minum, tapi dia sudah kebal dengan wine! Seratus botol pun dia tenggak takkan membuatnya hilang kesadaran.

"Asha Bella," desah Moreno. "Kau datang."

Matanya yang terpaku dengan mulut menganga membuat Ario menegur, "Ren, lo lagi nggak mimpi. Ini Abel. Halo, Abel." Dengan sopan Ario menyalami istri temannya. Lelaki tinggi berkulit hitam itu kemudian menepuk lengan Moreno. "Kita cabut dulu. Nanti gue kabarin lagi." Sepertinya dia sudah membaca situasi dan tidak menolong sama sekali. Ario justru meninggalkan Moreno dalam ketegangan.

Hening.

Mata mereka saling terpaut. Untuk waktu yang lama hingga Moreno membuka mulutnya.

"Charles? Kau ke Jakarta tanpa mengabariku?" tanya Abel ketika kakaknya memeluknya. Dari tadi tatapannya lurus pada Moreno.

"Iya, dear. Tapi seperti yang sudah dikatakan Ario, aku juga pergi. Aku ada bisnis yang harus kujalani di sini. Kau bisa baik-baik bersama suamimu, kan?"

Abel tidak menjawab. Sebagai jawabannya, dia hanya menatap Moreno dengan hati prihatin. Lihatlah Moreno sekarang. Hanya dibalut kaos dalam dan celana boxer! Moreno tidak pernah sekali pun menunjukkan ketidaksopanannya pada orang lain, termasuk teman-teman dekatnya. Terutama teman-teman dekatnya, lebih tepatnya. Dia selalu menjaga imej di mata gengnya. Dan bukan hanya cara berpakaiannya saja yang menyedihkan. Rambutnya, yang selalu ditata rapi dengan gel, kini tampak berminyak dan berantakan. Dan bau apa ini.... Bau wine dan badan Moreno. Sudah berapa harikah dia tidak mandi? Semoga saja Ario cukup berbaik hati untuk tidak menyebarkan kedekilan Moreno hari ini.

"Sebaiknya kita bicara di kamar saja. Udara di sini sudah pengap." Dengan bau alkohol dan nikotin. Abel menurut, mereka berjalan ke kamar mereka.

Abel memperhatikan seisi ruangan kamarnya. Beberapa prabotan seperti sofa, meja, dan TV dibungkus oleh kain putih. Di atas ranjang sudah ada beberapa kopor dan kardus yang diisi oleh barang-barang mereka.

"Kau berantakan," kata Abel.

"Dan kau semakin cantik," jawab Moreno masam. Dia mencoba tersenyum ceria tapi yang dilihat Abel hanyalah senyum sumir yang menyedihkan. "Seminggu lebih tidak bertemu, tidak ada kata-kata lain untukku?"

"Ke mana yang lain, Reno?" Abel tidak menggubris sambutan Moreno. "Kau memecat mereka?"

"Memecat Bibi yang tengah sibuk mengurus Janina?" Satu alisnya terangkat. "Memecat sopir yang tengah punya anak yang baru masuk kuliah? Memecat dua satpam yang sudah dua tahun tidak bertemu istri mereka?" Moreno tertawa kering. "Kau pikir aku sejahat itu? Tidak, Bel, aku memberikan mereka libur."

"Dan kau seorang diri di rumah. Kau tidak mengunci pintu! Bagaimana kau bisa hidup di saat banyak penjahat di luar sana, Reno? Bagaimana kalau kau.... Kau...." Abel tidak bisa membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada suaminya. Suaminya bedebah! Membuatnya khawatir setengah mati. "Kau tidak bisa menghancurkan dirimu hanya karena kita bercerai!"

"Lalu apa maumu, Abel?" tanya Moreno sedikit garang. Sedikit. Karena sisanya hanya kemarahan atas rasa rindunya pada sang istri. "Tidak ada yang tersisa di rumah ini. Kau sudah mengambil barang yang kau sukai dan meninggalkan semua barang yang kuberikan padamu!" Moreno mengambil satu kardus dari atas tempat tidur dan menjatuhkannya di hadapan Abel. "Tenang saja, aku takkan membiarkan barang ini menjadi abu saja. Aku akan melelangnya karena istriku tak pernah bersyukur dengan apa yang aku berikan padanya!"

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang