EMPAT PULUH TUJUH

1.1K 71 4
                                    

Ya Tuhan.

Sebuah gambar yang paling menyakitkan masuk ke otaknya. Tidak, tidak, tidak. Satria tidak boleh jadi suami Abel berikutnya. Satria tidak boleh mengurus anaknya! Custody anak mereka pasti jatuh ke tangan Abel mengingat seorang anak yang baru lahir otomatis terikat pada ibu kandungnya. Kalau sudah begitu, Abel bebas memilih siapa yang akan menemaninya membesarkan anaknya dengan Moreno.

Tai kucing.

"Saya tetap berkeras untuk mempertahankan rumah tangga kami, Yah." Kepercayaan diri itu masuk lagi ke dalam dirinya. "Saya akan membawa Abel ke rumah. Rumah kami."

"Anakku tidak mau tidur dengan penzina macam dirimu, Reno. Lupakan sajalah untuk kembali karena aku orang pertama yang menghalangi kalian!"

Dan Satria orang kedua.

"Ayah tidak tahu apa yang diinginkan Abel saat ini. Biarkan saya bicara dengannya sekarang."

"Tolong pikirkan lagi, Reno. Ini bukan hanya mengenai dirimu saja." August menghela napas panjang. "Abel tidak bahagia bersamamu, bukankah seharusnya kau memikirkan perasaannya?"

Ya, istrinya tidak bahagia bersamanya. Ayah August juga benar dalam hal itu.

Moreno menegakkan punggungnya dan mengurut keningnya. Dia sudah merusak segalanya dan dia tidak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidupnya. Semuanya terlihat sia-sia. Apapun yang dilakukannya dia takkan pernah bisa meraih kepercayaan istrinya. Sekali pun Abel masih menerimanya.

Tak kuasa dia menahan air matanya. Bola matanya bergerak ke arah sampingnya, mengilusikan istrinya yang telentang tengah tersenyum padanya. Tidak seharusnya Moreno kembali ke rumah ini lagi. Seminggu terakhir dia tidur di sofa kantornya karena hatinya selalu nyeri setiap membayangkan rumah. Dan sekarang, pertahanan serta ketegarannya luruh.

Dia memejamkan matanya. Let her go.... Let her go.... Dan kemudian dia tertidur untuk waktu yang lama hingga rasanya tak ada beban lagi di dalam dirinya. Mimpinya begitu jelas. Dia seperti didorong ke waktu lampau dan dapat merasakan cinta yang pertama kali bersemi itu.


**


Sebagai ketua OSIS, tugasnya hanya mengkordinir acara-acara pada masa orientasi siswa dan memeriksa yang dilakukan anggotanya di setiap kelas. Saat dirinya memasuki kelas berikutnya, yaitu kelas X-E, dia tidak menemukan anggota OSIS yang seharusnya membimbing kelas itu di sana.

Dia tenang kembali ketika dia melihat Satria, si ketua umum Rohis, sedang mengajarkan adik kelas yang tidak bisa mengaji.

Bukan berarti Moreno sosok yang relijius. Dia hanya tidak ingin adik kelasnya merasa bebas karena tidak ada yang mengawasi.

Moreno duduk di meja guru, sementara Satria duduk di sebelah adik kelas mereka yang tidak bisa mengaji. Keberadaan Moreno dengan memakai jaket OSIS bertuliskan "Leader" membuat suasana kelas itu menjadi tegang. Matanya yang cokelat bening menelusuri seluruh ruangan. Sebenarnya dia ingin keluar, tidak suka mendengar suara orang mengaji.

Sayang sekali, dia sudah berjanji pada Pak Kepala Sekolah akan melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan agama. Moreno menyesal. Karena pada masa orientasi ini, dia tidak memiliki kesempatan untuk mengerjai semua juniornya.

Matanya terus mengitari kelas, hingga akhirnya matanya bertemu dengan wajah... Entahlah, dia tidak tahu nama adik kelasnya yang cantik itu.

Tuhan...., dia begitu cantik. Lebih cantik daripada ibunya. Dan ya, dia tak pernah mengucapkan Tuhan selama ini. Dia begitu terpukau oleh kecantikan gadis itu.

Selama ini Moreno sering bermain dengan perempuan. Tetapi perempuan yang paling cantik dan mulia baginya adalah ibunya. Dan dia tahu, pikirannya selama ini salah. Gadis itu lebih cantik daripada ibunya. Tidak, kecantikan mereka berbeda.

Jika ibunya terlihat cantik karena wajahnya yang cantik dan terlihat pintar, gadis itu berbeda. Gadis itu terlihat sederhana, dengan kemeja SMA yang kelonggaran, dan rambutnya yang dikuncir kuda. Tidak memakai make up sama sekali.

Perpaduan rambut hitam dan kulit kuning langsat gadis itu terlihat sangat sempurna di mata Moreno. Hidungnya yang mancung, yang terlihat mengagumkan di mata Moreno. Bibirnya yang berwarna merah muda terlihat menggiurkan, yang membuat gairah di dada Moreno bergejolak untuk mencicipinya. Tidak, mungkin akan mengecupnya dengan sangat lama.

Gadis itu sempurna.

"Eh, kau yang duduk di sana," kata Moreno, setelah bel berbunyi yang menandakan waktu tadarusan telah habis. Dia menunjuk gadis yang menarik perhatiannya. "Nama kau siapa?"

Gadis itu langsung cepat-cepat menutup Al Quran-nya dan mengangkat mukanya. "Saya....Abel, ehm, Asha Bella, Kak," jawabnya dengan gemetar.

Hening.

Moreno mengangguk. "Itu baju yang kau pakai, baju pinjaman? Atau tidak bisa membeli baju?"

Abel terlihat tegang ditanya seperti itu. Oh, tidak. Itu hari pertama dia masuk sekolah, dan sudah ditanya hal seperti itu.

Gadis itu menggeleng. Kebetulan, kursi di sebelahnya kosong. Moreno menghampirinya dan duduk di sana.

Moreno meminta Satria untuk kembali ke kelasnya. Dia tidak ingin dituduh mencuri waktu belajar teman seangkatannya. Sempat, Satria menatap Moreno sebelum dia meninggalkan kelas X-E.

Jarak antara Moreno dan Abel begitu dekat. Abel sampai tidak bisa mengatur nafasnya. Moreno bisa merasakannya. Rata-rata lawan jenis yang dekat dengannya selalu mengalami kesulitan bernapas.

"Jangan sampai membuat orang lain berpikir kau sekolah di kolong jembatan..., Abel." Moreno tercekat menyebutkan nama itu untuk pertama kali. "Perlu saya beliin baju?"

Abel menatapnya, lalu menggeleng. Moreno tersenyum, merasakan ketegangan yang dirasakan gadis itu. "Kalau begitu, nanti istirahat ke koperasi. Beli baju yang seukuran sama kau."

"I-iya, Kak."

"Dan jangan takut untuk bicara dengan senior kalau kau tidak salah." Moreno memperingatkan. "Di sini hanya orang-orang yang punya salah saja yang takut."


Moreno terbangun dengan rasa bingung sekaligus gundah yang bersemayam di dalam hatinya. Tak ada air mata. Kenapa perasaan takut itu belum datang juga, batinnya. Aku sudah mencoba untuk menyingkirkan adikku. Aku mengkhianati istriku sendiri. Dan sekarang cepat atau lambat aku akan menceraikan istriku.... Kenapa aku belum bisa merasa takut akan perasaan bersalah?

Barangkali perasaan bersalah tidak pernah diciptakan untuknya. Dia ditakdirkan untuk tegar dan berjalan maju. Menangisi nasib atas kesalahannya sendiri hanya menghabiskan waktu. Dia harus menyelesaikan masalahnya segera.

Entah apa cara penyelesaiannya.

Dia belum memutuskan. Entah akan memperjuangkan rumah tangganya atau.... Sudahlah.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang