EMPAT PULUH DELAPAN

1.2K 71 4
                                    

Moreno meliburkan para pekerja di rumahnya termasuk Bibi. Terakhir mereka libur tahun lalu ketika hari Lebaran. Sekarang, karena Abel tidak ada di rumah dan Moreno tidak butuh diurus, dia meminta tukang kebun, dua satpam, serta dua pembantunya untuk pulang ke kampung masing-masing. Tak lupa dia memberikan ongkos yang dinilai sangat banyak oleh pekerjanya. Bibi sampai khawatir, ini terakhir kalinya dia bertemu dengan majikannya.

"Ini gaji saya setahun, Pak," kata Bibi waswas. "Betul Bapak ingin kita pergi?"

"Kalian akan kembali ketika saya telepon. Dan itu lebih dari sebulan, atau mungkin lebih. Sudah saatnya kalian temui istri dan anak-cucu kalian." Hanya itu penjelasan Moreno. Satu per satu karyawannya menyalaminya dan pamit. Begitu mereka pergi dan dikuncinya pintu rumah, dia mematikan saluran telepon dan ponselnya. Untuk saat ini dia hanya ingin tidur dengan botol wine di tempat tidur.

Tidak, dia tidak pernah ke kamar lagi.

Dia punya koleksi ratusan wine di sebuah ruangan belakang dapur. Membutuhkan beberapa menit untuk memikirkan apa saja yang akan dibawanya ke ruang kerjanya. Ya, enam botol Château Canon-La Gaffelière St.-Emilion sepertinya cukup untuk menemaninya malam ini.

Dan hanya itu pekerjaannya. Duduk di sofa ruang kerjanya dan menenggelamkan dirinya dengan hangatnya wine. Entah sampai kapan dia menyembunyikan dirinya seperti ini. Ha, bersembunyi. Seperti Satria saja. Tapi saat ini dia memang butuh pelarian. Dan karena sekarang dia sadar tidak ada wanita yang bisa memuaskannya secara seksual selain istrinya, tidak akan ada gunanya mencari wanita yang sama hebatnya seperti Abel.

Rumah ini besar sekaligus sesak untuk ditinggal sendiri. Setiap sudut, setiap ruangan, setiap properti, mengingatkannya pada sang istri dan kini Reno berpikir untuk menjual saja rumah ini. Rumah ini memang hadiah Kakek untuknya dan Abel. Dan karena sekarang mereka akan berpisah, rasa terima kasih terhadap Kakek sudah tidak diperlukan lagi.

"Dan rupanya elo ada di sini."

Di tengah kegelapan, hanya seberkas cahaya matahari yang menyapu wajahnya, Moreno mengangkat mukanya ke arah pintu. "Adrian?"

"Hai, Kawan." Tanpa diundang Moreno memasuki ruang kerja sahabatnya itu dan duduk di atas meja kerja dengan santai. Sikapnya memang kurang ajar, dan dia tahu Moreno tidak punya kekuatan untuk marah. Lihat saja muka Moreno. Merah. Kusam. Dan bau... Bau badan! Moreno yang necis dan rapi terlihat dekil karena gagal menjaga keutuhan rumah tangganya. "Produk kita akan dipasarkan ke daerah-daerah terpencil di Jawa. Lo nggak mau lihat laporannya?" Tentu saja itu basa-basi. Adrian tidak membawa apa-apa yang berhubungan dengan kantor.

"Kalau lo cuma ngomongin bisnis, lo bisa telepon kakek gue."

"Kakek lo sudah terlalu tua," sahut Adrian. "Dan gue nggak mau dikasi tugas mencari lo dan menyeret lo ke hadapannya." Itu hanya mengulang kejadian masa SMA. Beberapa kali Moreno tidak pulang, menyembunyikan luka hasil tawuran di tubuhnya. Dia menghilang, teman-temannya mencarinya dan Kakek yang menganggap semua itu kesalahan teman-teman Moreno, langsung meminta mereka mendapatkan Moreno atau Kakek akan melaporkan kasus itu ke kantor polisi. "Well, Ren, melihat lo seperti ini hanya mengingatkan gue yang terpuruk mengetahui Wina akan menikah dengan almarhum Rafael Sadrin."

Dua-duanya punya kelemahan kalau soal kehilangan wanita yang dicintainya. Tapi Moreno lebih buruk. Selama ini Adrian mengenal Moreno sebagai lelaki yang tegar dan mengesampingkan sisi emosionalnya. Sekarang, pria kuat yang menjadi panutannya, yang selalu mengangkatnya di saat dia punya kesempatan untuk tidak menolong Adrian dan teman-temannya, telah terjerembap ke lautan kesedihan.

"Ini mungkin terdengar gila. Tapi lo bisa konsultasi sama gue." Adrian menyarankan. "Lo bisa ceritain tentang Abel ke gue, Ren. Apapun tentang dia yang sekarang ada di benak lo."

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang