LIMA PULUH TIGA

1.7K 71 8
                                    

"Kalau pun aku harus dipenjara seumur hidup, aku hanya ingin kau tahu aku mencintai kau."

Abel mengangkat wajahnya, menatap Satria. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau tidak tahu apa yang sebenarnya kau rasakan."

"Kalau begitu kenapa aku selalu memikirkanmu? Merindukanmu? Membuat angan tentang diriku bersamamu? Dan jika tidak ada Papa Shermand dan Liz, aku sudah mati, mati beneran, Abel! Aku mencoba membunuh diriku saat mendengar berita pernikahanmu dengan Moreno. Selama ini aku berharap aku bisa memiliki momen yang seharusnya kita miliki sebelum tragedi Ancol itu, Abel."

"Kini tidak ada gunanya lagi memiliki perasaan-apapun namanya perasaan itu-Satria," Abel menggeleng. "Kita punya masa depan dengan orang yang berbeda. Dan aku tidak punya itikad untuk menyakiti salah satunya."

"Ya, kau benar. Seharusnya aku tahu itu dari dulu." Satria memutar tubuhnya, kembali duduk di atas ranjang. "Kau bisa meninggalkan aku dan tak perlu kembali. Aku bisa mengurus diriku tanpa kau."

Untuk sesaat Abel terbujur kaku di depan jeruji. Dia tidak bisa meninggalkan Satria, tapi apa lagi pilihan yang dia punya? Abel membalikkan tubuhnya dan berhenti ketika Satria memanggil namanya.

Wajah Satria muncul di sela jeruji dengan posisi Abel membelakanginya. "Terima kasih sudah menolongku di Ancol karena aku tidak sempat mengatakannya. Dan maafkan aku yang telah meminta bantuanmu, Abel. Seharusnya aku tidak melakukannya. Dengan begitu aku akan mati tanpa menimbulkan masalah yang kita hadapi sekarang."

Sesak napas Abel mendengar penuturan itu. Dia tidak berani untuk menoleh lagi pada Satria. Tidak sampai hati. Lepaskanlah, Abel, lepaskan, batinnya. Abel bergegas meninggalkan lorong jeruji dan pergi ke pintu depan.

**

Abel melihat Moreno, Papa dan Tante Dilla turun dari mobil sedan Moreno yang terparkir tepat depan kantor polisi. Ya, tentu saja mereka akan datang. Bagaimana pun Satria adalah keluarga mereka yang hilang dan kini dia membutuhkan pertolongan mereka. Mereka kecuali Moreno.

Moreno menghampirinya dan memeluknya. "Aku sudah menduga kau akan datang," bisiknya di ubun-ubun istrinya. Dilepasnya pelukan itu. "Papa dan Tante Dilla bisa masuk duluan. Saya ingin bicara dengan Abel."

Dia mengikuti Moreno dan masuk ke mobil Lexus pria itu. Suaminya bersandar namun dengan leher yang mengarah pada istrinya, melempar tatapan dingin yang menyakitkan.

"Bagaimana perasaanmu, Moreno?" Dalam hatinya Abel menerka-nerka. Apakah Moreno iba pada adiknya?

Moreno tersenyum masam. "Sejujurnya aku tidak tahu apakah harus senang karena sainganku ditangkap. Ah, saingankah dia? Siapa pun tahu dia bukan levelku." Moreno tertawa kering. "Apa kau sedih, Bel?"

Abel memperhatikan wajah Moreno yang tampak sedih. Dia menyunggingkan senyum masam. "Sepertinya kau yang sedih. Sebenarnya, kau sayang pada adikmu, kan?"

"Apa sih," kata Moreno kesal.

"Sudahlah, mimpi buruk itu sudah berakhir," sahut Abel menenangkan. "Kau takkan berselingkuh lagi. Aku juga tidak memimipikan adikmu, kan. Detik-detik inilah awal yang baik buat kita dan baby kita."

Moreno tersenyum sambil meletakkan jarinya di perut istrinya. Diukirnya tanda cinta di sana. "Kau sudah kepikiran untuk menamakan bayi kita?"

"Aku suka dengan Morena," Abel tertawa, mengeratkan tubuhnya pada tubuh suaminya. "Aku membayangkan anak perempuan yang mirip sekali denganmu, Reno."

"Kau membayangkan anak pertama kita perempuan?"

"Anak perempuan bisa kuajak belanja," jawab Abel sederhana.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang