EMPAT PULUH LIMA

1.3K 95 8
                                    

Kini bukan hanya Moreno saja yang menyerah pada hubungan mereka. Moreno membalikkan tubuhnya, menjauhi Abel dan Satria sejauh mungkin. Getaran di celananya mengalihkan perhatiannya. Diangkatnya panggilan. "Ya."

"Pak Moreno, saya sudah mendapatkan info baru." Suara mata-matanya yang setia terdengar di ponselnya. "Menurut informasi yang saya dapat, nama Jonas Murti adalah pengirim uang terbanyak pada rekening Martin atau Mr. X. Anda ingin saya menyelidikinya lebih lanjut?"

Tentu saja orang suruhannya punya wewenang melakukannya. Moreno berteman dekat dengan dirut bank-bank besar di Indonesia. Dan perasaan lega itu bersemayam di dalam dirinya. Dia kembali memandang dua orang yang saling bermesraan di beranda. You're in trouble, a big trouble, little brother. "Tuntaskan." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya.


**


"Aku tidak akan lama di Jakarta," kata Satria lirih. Ditatapnya Abel dengan sorotan sendu. "Ini kedengarannya lancang, tapi aku ingin kau memberiku kesempatan untuk menemanimu sebelum aku balik ke London."

Abel menggeleng. Rumah tangganya memang berantakan, tapi menghabiskan waktu bersama pria lain selain Moreno rasanya tidak pantas.

Penolakan itu menyakiti Satria. Dia mengangguk sambil menahan kekecewaan. "Even bicara di tempat umum seperti ini?" tanyanya penuh harap.

"Ya, selama aku masih menjadi istri Moreno, aku harus tetap menjaga nama baiknya dengan tidak bersama pria lain. Sebaiknya ini terakhir kali kita bicara."

Satria tidak menyahut. Dia hanya terus memandang Abel.

"Aku juga sebenarnya tidak bisa menerima kedatanganmu begitu saja, Satria," ujar Abel terus terang. "Sejak kau meninggal, aku selalu dibayang-bayangi olehmu. Aku memikirkanmu. Bahkan terkadang aku melihatmu dan menghilang."

"Aku memang selalu ada di dekatmu," sahut Satria. "Kalau yang kau maksud kau melihatku di Rue du Cardinal, jalan pulangmu dari kedai kue ke rumah, itu benar aku. Kalau yang kau maksud tempat perbelanjaan di Arc de Triomphe, itu benar aku. Kalau kau melihatku di Panti Asuhan de la RATP, itu benar aku. Banyak sekali tempat yang ingin kusebutkan, tapi yang jelas itu bukan ilusi. Aku sudah mengikutimu sejak lama. Maafkan aku."

Abel terpaku mendengarkannya. "Kenapa kau melakukannya dan tidak menemuiku?" tanyanya kaget.

"Aku hanya tolol. Tidak berani mengungkapkan kebenaran padamu. Apalagi saat kau berpacaran dengan lelaki Prancis itu." Rahang Satria mengeras.

Yang dimaksud Satria pasti Oscar. Kenapa Satria tampak tak senang membicarakan Oscar? Oscar pria pertama yang menerima Abel dengan kegilaan Abel atas kehilangan Satria saat itu. "Dia sudah lama pergi," jawab Abel sedih. "Aku kembali ke Jakarta untuk beberapa minggu. Dan dia....."

"Dia... meninggal?" Satria menganga tak percaya. "Kau pasti sedih. Kecelakaan itu tak seharusnya terjadi."

Abel terdiam. Kesedihannya berganti dengan rasa curiga. Dia menjauh dari Satria dan menatapnya dengan heran. "Kau tahu dari mana dia kecelakaan?"

Sedikit kikuk Satria menjawab, "Well, aku memata-mataimu."

"Kau memata-mataiku sejauh itu?" tanya Abel tidak percaya. "Kau kira kau berhak melakukannya? Hh, sekarang aku tahu apa persamaanmu dengan Moreno. Kalian sama-sama egois dalam bertindak!"

"Bukan begitu. Aku hanya tahu begitu saja." Satria berusaha untuk tetap tenang. "Setelah dia meninggal, kau kembali dengan Moreno, betul begitu, kan? Aku mengikutimu, mencari tahu hubungan kalian. Dan ketika aku tahu kau di RS Necker, aku tak bisa menahan untuk bertanya pada pihak rumah sakit apa yang terjadi."

"Dan kau tetap tak ingin kembali walaupun kau tahu aku sedih," tandas Abel.

"Tadinya aku ingin mengaku di kedaimu. Tapi saat itu aku semakin yakin untuk tidak kembali." Satria menggeleng. "Tidak. Aku mendengar perbincanganmu dengan Moreno di mana dia mengaku tentang perbuatannya, dan setelah dia meninggalkanmu, kau menangis kejar. Aku tahu kau mencintainya, dan bodohnya aku kembali lagi ke sini, mengharapkan cintamu padaku yang tak pernah ada."

Hening.

Untuk hampir setengah jam.

"Maafkan aku, Bel," kata Satria akhirnya. "Aku tidak tahu diri. Wajar kau merasa demikian setelah apa yang aku lakukan. Tapi kau tidak bisa mengusirku sekarang. Tidak sebelum aku menyelesaikan masalah yang kubuat."

"Aku tidak peduli bagaimana kau menyelesaikannya," jawab Abel datar. Dia ragu masih ada yang bisa dilakukan Satria untuk menyelamatkan rumah tangga Abel dan Moreno. "Aku pulang."


***


Malam itu Abel tidak bisa tidur. Dia melamun di depan meja rias dengan sisir di tangannya. Di pantulan kaca dia melihat Moreno di belakangnya, membelai rambutnya. Segera dia menoleh ke belakang, dan tak menemukan siapa-siapa selain kehampaan.

Abel mengecek ponselnya. Satu jam sekali dia mengecek ponselnya, memastikan dia tidak melewatkan apapun. Tidak ada telepon atau pesan dari Moreno. Di mana suaminya sekarang? Masih di rumah mereka? Atau pindah ke tempat lain? Tidak sulit bagi Moreno mencari dan menempati rumah baru. Teman Moreno, Ario Patrialis, punya perusahaan properti yang juga mengurus penjualan dan pembelian rumah. Seperti perantara, begitu. Abel benar-benar pusing memikirkan suaminya. Suaminya bisa berada di mana saja dan melakukan apa saja. Sebelum pengakuan Satria semuanya sudah berantakan, dan sekarang pernikahan mereka berada di ujung jurang.

Suaminya tentu tidak perlu repot-repot memikirkannya. Abel sudah menekankan bahwa keterlambatan mereka untuk memiliki anak disebabkan karena Moreno. Dia, lelaki yang baik, pasti sadar untuk tidak mengganggu kehidupan istrinya setelah tuduhannya terhadap kecerobohan Abel. Dia tak perlu repot-repot meminta Abel kembali karena toh hidup tanpa Abel menghindarinya dari beban. Ya, beban. Bukan Moreno saja yang menjadi beban pikiran Abel selama ini.

Dia sadar dia bukan istri yang sempurna. Seringkali dia melukai hati suaminya dengan tidak memakai apa yang dibelikan suaminya. Selama ini dia menganggap itu hanya buang uang-uang saja. Tidak memikirkan bahwa Moreno bekerja keras untuk membahagiakan istrinya di saat istrinya tidak punya usaha sedikit pun untuk mempelajari kehidupan suaminya. Abel tidak mengerti olahraga. Tidak mengerti pekerjaan Moreno. Tidak ada yang bisa diberikannya kecuali tagihan utang Charles setiap tahun. Tidak ada yang diberikannya selain sikap manja. Yang bisa dilakukannya hanya melayani suaminya. Mengurus pakaian dan sarapannya. Mengurus rumah. Dan itu bisa didapatkan Moreno dari Bibi dan perempuan yang rela tidur dengannya. Dan itu tidak sulit karena hanya dengan satu lirikan pada wanita lain, wanita itu pasti akan dengan senang hati menyenangkan Moreno di tempat tidur!

Ya Tuhan.

Moreno memang brengsek. Melukai perasaannya dengan perselingkuhan. Mengeluh padanya karena mereka belum dikaruniai seorang anak. Tapi Abel tak pernah memberikan tempat untuk Moreno menjelaskan. Lelaki itu terkadang introvert dan berusaha tegar, tapi tidak! Abel baru sadar betapa sakitnya Moreno setiap hari mendengar obrolan usil karyawan-karyawan di kantornya padahal posisinya direktur utama! Cucu komisaris dan pemilik perusahaan. Betapa ngilunya hati Moreno setiap tahun dia menerima telepon dari teman-temannya yang membawa berita kehamilan istri mereka. Betapa sabarnya Moreno mendengar cerita Abel sebelum tidur, di saat Abel enggan mendengar cerita-cerita Moreno mengenai kehidupan mewahnya di luaran. Dan ke mana saja Abel saat itu? Ya, dia mengasingkan diri dengan menutup matanya! Dia tidak pernah melihat pengorbanan suaminya.

Besok dia akan ke rumah. Atau ke kantor jika dia tidak menemukan suaminya di sana. Abel mengangguk. Bukan hanya dirinya yang perlu memaafkan. Moreno juga harus bisa memaafkan kekurangannya!

Dan itu tidak perlu. Besok paginya di saat dia hendak pergi ke restoran sebelum menemui Moreno, Kakek Sasmito berdiri menjulang di depan pintu rumahnya. Saat itu Ayah sudah berangkat kerja.

"Kakek."

"Jadi benar kau tinggal di sini," Kakek menatapnya datar. Tak ada nada terkejut dalam suaranya. Lebih tepatnya, kecewa. "Kau dan Moreno dalam masalah besar. Akhirnya."

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang