TIGA PULUH DELAPAN

1K 75 6
                                    

"Kami akan memaafkanmu di saat kebencianmu terhadap abangmu hilang, Satria," sambung Gilang. "Di saat itu pula kami akan menerimamu sebagai anak kami lagi."

Abel buru-buru pulang sebelum semuanya tahu keberadaannya. Sesampainya di rumah, dia mendapati dirinya di kamar mandi, tidak tahu sudah berapa kali dia memuntahkan isi lambungnya ke kloset. Pandangannya berbayang dan kabur. Salahnya sendiri yang melewatkan sarapan, tapi memang sulit di saat napsu makannya hilang begini. Ditambah lagi dengan pengakuan Jonas... atau Satria!

Bunyi ponselnya menambahkan pusingnya. Dia segera mencuci mulutnya di westafel dan kembali ke kamar. Papa Gilang meneleponnya. "Iya, Pa."

"Abel, tadi kau ke rumah?" tanya Papa tanpa basa-basi.

"Hanya sebentar saja, Pa, kata Bibi Papa sedang menerima tamu jadi aku putuskan pulang saja," jawab Abel, menyandarkan kepalanya di atas bantalan tempat tidur. Dia butuh berbaring, dan melupakan apa yang didengarnya hari ini. "Tadi aku hanya ingin tahu kabar Papa setelah mendengar berita Moreno di TV." Yahh, itu pasti takkan menarik perhatian Papa dibanding pengakuan Satria yang tidak terprediksi ini.

"Well, Papa yang seharusnya bertanya padamu, kan?" balas Papa. "Papa mengenal Moreno karena banyak sifat kami yang sama, dan Papa tahu cepat atau lambat dia pasti melakukan kebodohan seperti yang Papa lakukan dulu." Hening sesaat. "Dan Moreno juga tahu konsekuensinya."

"Aku baik-baik saja, Pa. Moreno sudah mengakuinya sebelum beritanya heboh seperti ini," sahut Abel. "Moreno sudah tidak tidur beberapa hari terakhir ini memikirkan perasaan Papa dan Tante Dilla. Aku pribadi sudah memaafkannya, hanya masalah waktu saja untuk melupakannya."

"Tante Dilla sempat kecewa, namun sesuai perkataanmu ini hanyalah masalah waktu, Bel. Kepala Moreno memang harus dipentung biar tidak selingkuh lagi, dan yang harus melakukannya tentu kau. Moreno sudah besar dan bukan hak kami lagi untuk menghukumnya."

"Oh, aku tidak setega itu, kok," Abel memaksakan diri untuk tertawa. "Aku lega Papa tidak semarah itu. Moreno benar-benar tertekan."

"Itu wajar. Kalau dia tidak merasa begitu, sebaiknya kau dorong saja dia ke kolam renang biar tahu rasa. Anyway, Bel, Papa sudah melihat tanggal opening restoranmu melalui fan page di Facebook. Papa dan Tante boleh datang?"

Bicara soal restoran, Abel dan Moreno sudah sepakat menamakan restoran baru mereka DW's Organic. Tentu DW diambil dari Danishwara dan bahan-bahan makanan di restoran itu lebih didominasi oleh bahan organik yang lebih sehat. Abel tahu dia punya hak untuk mengutarakan keinginannya untuk menyisipkan namanya, tapi di sisi lain dia capek berdiskusi dengan Moreno.

Lebih tepatnya, dia merasa apa yang dia dan Moreno miliki saat itu takkan bertahan lama, termasuk kedai kue itu. Mungkin terdengarnya sinis, tapi Abel yang sudah ragu untuk memaafkan Moreno, berpikir bahwa dia takkan menjadi istri Moreno untuk waktu yang lama, dan itu artinya dia akan kehilangan haknya untuk mengurus kedai yang diberikan Moreno.

Itu kan yang selama ini Moreno tekankan? Moreno memilikinya karena Moreno memberi materi padanya. Setelah mereka tidak saling memiliki lagi, Moreno akan mengambil apa yang diserahkannya pada Abel.

"Justru kebetulan Papa menelepon, aku ingin mengajak Papa dan Tante ke DW akhir pekan ini. Kalau Papa tahan dengan minum jus, pastinya. Karena persediaan wine di restoranku sedikit sekali!"

"Duh, sejak sakit Papa sudah kehilangan selera untuk meminum wine selain di acara spesial seperti hari pernikahan Papa kemarin. Kira-kira Moreno mau dibawakan apa untuk hari ulang tahunnya?"

Oh ya. Itulah penyebab kekecewaan Abel selain Moreno tak bisa datang ke acara pembukaan restorannya, Moreno tak ada di Jakarta di hari ulang tahunnya sendiri. Selama ini mereka selalu menghabiskan waktu ulang tahun bersama-sama dan inilah pertama kalinya Moreno tak ada di sisinya. Abel sengaja mengatur waktu bertepatan di hari ultah sang suami, tapi suaminya sendiri lupa dengan tanggal ultahnya! Padahal Abel sudah menyiapkan makanan yang lezat dengan resep buatannya dan kado, tentu saja, untuk suaminya.

"Moreno ada di Amerika di hari H, Pa," Abel menggigit bibirnya, entah apa yang akan dikatakan ayah mertuanya. "Sedang mempromosikan produk baru perusahaannya."

"Moreno melewatkan hari ulang tahunnya bersamamu?" suara Papa meninggi seakan tak percaya. "Dia keterlaluan. Papa harus meneleponnya."

"Dia janji akan pulang cepat," sergah Abel. "Papa tahu Moreno sangat menjaga kata-katanya." Kecuali sumpah setianya padaku, tentu saja.

Mereka tidak bicara banyak. Abel menginformasikan ayah mertuanya mengenai jadwal pembukaan restoran dan lokasinya. Sore itu dia habiskan untuk membaca buku dan menunggu kabar Moreno. Tak ada kabar sama sekali. Biasanya setiap Moreno ke Amerika, dia pasti menelepon Abel saat singgah di Singapura. Tapi sekarang tidak.

Sebentar lagi rumah itu akan sepi ditinggalkan Helen. Abel tersenyum masam ketika dia mengintip ke kamar adik sepupu suaminya. Helen tengah bersemangat sambil mengepak barangnya, sesekali membelai perutnya dan tak sadar Abel memegang perutnya sendiri. Membayangkan anaknya yang lahir dengan selamat dan tumbuh besar.

Itu bukan impian yang muluk. Kali ini dia bisa melakukannya. Tak ada alasan lagi baginya untuk tidak membahagiakan suaminya. Dengan kehadiran seorang anak di tengah mereka, Abel positif yakin hubungannya dengan sang suami juga membaik.

Setelah shalat maghrib masih tak ada kabar dari Moreno. Sampai inginnya dia banting ponselnya karena tak ada SMS atau telepon dari suaminya. Abel sudah mengirimkannya pesan singkat melalui email takut-takut provider di sana tak bekerja. Hasilnya tetap nihil. Padahal selama ini Moreno suka sekali berkutat dengan ponselnya, membalas pesan-pesan penting.

Untuk menghilangkan gundahnya, Abel pergi ke rumah ayahnya diantar sopir. Menghadapi macetnya Sudirman di saat seperti ini sebaiknya menghabiskan waktu di neraka. Abel mengira hatinya akan lega menemui ayahnya ketika mobilnya berhenti di depan rumah ayahnya di kawasan Senopati.

Tapi rupanya kunjungannya membuat dia semakin sedih. Kini dia tahu apayang menyebabkan perubahan dalam sifat suaminya

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang