TIGA PULUH

6K 247 19
                                    

"Pasta, olive oil, salt.... What are we gonna cook, honestly?" Helen yang masih hijau di dapur mengerutkan dahi melihat bahan-bahan di atas meja dapur yang berlapis marmer. Dia begitu mencermati Abel yang tengah sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakannya.

Melupakan sakit hatinya, Abel berusaha untuk tetap menjalankan aktivitas kesehariannya seperti biasa. Setelah shalat subuh dia menyiapkan pakaian kerja suaminya, air hangat di bathub (dia yakin suaminya butuh relaksasi di pagi hari setelah malam tanpa tidur), dan membuat sarapan.

Tidak mudah memang untuk melakukan sesuatu tanpa mengingat apa yang dia baca mengenai suaminya di internet. Setiap dia membiarkan dirinya melamun, terbuai akan rasa sakit itu, tak kuasa dia menahan air matanya yang runtuh. Untung saja ada Helen. Dia memiliki alasan untuk tetap terlihat bahagia di depan adik sepupu suaminya.

"Let me guess," ujar Helen, melihat Abel yang sedang mengaduk sosis, daging sapi, bawang merah serta bawang putih yang sudah matang di dalam wajan, kemudian menambahi irisan-irisan tomat di atasnya. "Lasagna, am I right?"

"Correct, honey," jawab Abel. "You never cook, do you?"

Pipi Helen memerah. "Aku lama tinggal di luar negeri dan tidak punya waktu untuk memasak," kilahnya. "Hampir kuhabiskan waktuku untuk kuliah dan bekerja."

"Bekerja?"

"Ya, aku sempat memiliki toko keramik di sana, sekadar iseng," jawab Helen. Baiklah, memiliki toko keramik di New York tidaklah main-main. "Tapi saingan di pasar semakin ketat hingga aku harus menutup toko itu."

Bukan itu alasan yang sebenarnya. Semalam Moreno menceritakan mengenai insiden perkosaan yang dialami Helen. Lelaki bajingan itu—begitu Moreno menyebut si pemerkosa—melakukan kejahatannya di toko Helen. Wajar Helen menutup tokonya lantaran trauma atas kejadian itu.

"Dan sama sekali tidak punya waktu untuk memasak?"

"Tidak ada untungnya aku bisa memasak atau tidak," jelas Helen. "Aku lebih suka mengukir, atau membuat sesuatu dari tanah liat. Kalau aku lapar, aku tinggal membeli makanan di restoran dekat tokoku."

"Lalu bagaimana kalau anakmu lahir, Sayang? Belum terpikir untuk belajar memasak?"

"Aku punya Mbak Abel untuk mengajariku, kan?" goda Helen. "Hmm, tidak. Begitu anak ini lahir aku akan meninggalkan rumah ini, tentu saja."

"Tentu, setelah Philip bertanggung jawab atas kehidupanmu dan anakmu," sahut Abel tegas. Helen mau tinggal di luar sana sebagai ibu yang mandiri? Tanpa pekerjaan? Barangkali gadis itu harus dijewer dulu! "Mbak adalah orang pertama yang akan menentangmu pergi dari sini kalau tidak ada yang menanggung hidupmu."

"Aku sudah dua puluh dua, sudah punya penghasilan sendiri," jawab Helen ngotot. "Yaa, mungkin juga takkan cukup, tapi aku bisa menumpang hidup dengan ayahku."

"Kalau ayahmu menerimamu, Helen, kau tidak akan tinggal di sini," tiba-tiba Moreno menyahut di pintu dapur dengan setelan pakaian kerja yang rapi. Dia memeluk istrinya dari belakang—yang jelas membuat Abel terkejut—dan mencium leher istrinya dengan hangat. "Oom Hasni akan mengusirmu kalau kau tidak membawa ayah dari anakmu, tahu?" Dia melotot pada Helen. "Lagipula, tinggal di sini tak ada ruginya, kok, sampai Philip menjemputmu tentu saja."

"Oh, baiklah, kakak sepupuku tersayang," dengus Helen menahan emosi.

"Bel, ini lasagna, ya?" tanya Moreno, istrinya mengangguk. "Kebetulan sekali. Malam ini Papa Gilang dan istrinya anniversary, dan tak ada salahnya jika kita datang berkunjung membawakan lasagna. Ini makanan favorit Tante Dilla."

"Jam berapa kita ke sana?"

"Malam setelah aku pulang kantor. Kau tidak ke restoran kan hari ini?"

Tadi sebelum ke dapur para chef yang lain sepakat untuk tidak berdiskusi mengenai restoran di group BBM. Mereka punya acara masing-masing, termasuk Jonas yang sibuk menghadiri acara keluarga. Jadi, hari ini Abel free.

"Sepertinya kau banyak tahu, ya," Abel memberikan komentar.

"Chef Deni melapor lebih dulu padaku." Moreno menyeringai. "Aku tunggu kalian di ruang makan. Aku penasaran, apakah sepupuku yang manja ini juga bisa memasak!" Sebelum meninggalkan dapur dia mencubit pipi Helen dengan gemas.

Untuk sejenak Abel mengawasi suaminya yang berjalan meninggalkan dapur. Rasa sakit itu masih menusuk-nusuk hatinya mau seberapapun Moreno bersikap manis padanya.

Abel senang ditemani Helen hari itu. Helen bukan hanya semangat untuk belajar memasak—dia juga punya bakat untuk memasak, hanya masalah waktu saja. Kemudian di sore harinya mereka sibuk merangkai bunga sambil membicarakan kehamilan Helen.

Cara Helen bercerita membuat Abel tertarik. Helen tak berhenti tersenyum walaupun tidak semua yang diceritakannya mengandung kebahagiaan. Dia menceritakan bagaimana reaksinya saat tahu dirinya hamil, ada tendangan kecil di perutnya, dan terkadang dia merasa bayinya ikut bicara dan mendengarkan apa yang dikatakannya.

Sampai akhirnya Abel keceplosan, "Aku jadi tak sabar untuk menunggu bayiku lahir."

Itu sama sekali bukan omong kosong. Walaupun hidup jauh dari sepupunya, Helen tahu berapa kali Moreno kehilangan bayi yang didambanya karena kesehatan Abel yang lemah. Tapi sekarang, dia sama sekali tidak melihat wanita yang dirundung penyakit dan lemah. Dan itu membuat senyum Helen melebar.

"You are pregnant!" seru Helen semangat.

"Shhh, don't let everyone know about my pregnancy," Abel memperingatinya dengan bisikan yang tajam. "Kau tahu berapa kali aku dan Moreno..."

"Ya, tentu saja." Helen mengangguk penuh pengertian. "Dan Moreno lelaki sombong itu pasti menyalahkan Mbak Abel tanpa berkaca. Maaf, dia memang sepupuku, dan aku sangat mengenal tabiatnya selain Eltor. Karena itu Mbak menyembunyikannya kali ini?"

Abel mengangguk. Sepupu Moreno ini benar-benar pintar.

"Dan ketika perut Mbak membesar dan membuktikan betapa sehatnya Mbak, Mbak akan memberitahu lelaki bebal itu," lanjut Helen. "Ah, senangnya punya suami yang bisa dikejutkan begitu. Uh, andai saja aku tahu siapa lelaki yang memerkosaku. Barangkali aku bisa memukulnya, atau jatuh cinta padanya."

"Kau sangat ingin tahu siapa yang.., engg, melakukannya?"

"Aku hanya ingin dia tahu bahwa dia punya anak dariku, itu saja," jawab Helen tenang. "Tapi hidup tidak sebaik itu padaku."

"Oh, dear, just let it go," kata Abel perhatian. Bibi datang menginterupsi mereka, mengantarkan sebuket bunga mawar pada Helen. "Maaf, aku punya alergi pada bunga, salah satunya pada mawar," kata Abel menjauh. Dia memperhatikan Helen yang tersenyum membaca kartu yang tertera di pucuk bunga. "It's Philip who sent that, isnt it?"

"I'm thinking.... Thinking of leaving this home soon," Helen menatap Abel dengan wajah berbunga-bunga. "Oh, Mbak Abel." Helen tidak perlu menunjukkan apa yang terisi di kartu itu. Philip pasti menyatakan cinta padanya.

Oh betapa mudanya dirimu, Helen. Abel turut senang pada kebahagiaan yang menghampiri adik sepupu Moreno. Dia memperhatikan rumahnya yang besar, membayangkan dirinya menghabiskan waktu seorang diri tanpa ditemani siapapun, menggali cara untuk memaafkan suaminya dengan caranya sendiri.

Karena sampai sekarang, dia belum tahu caranya melupakan dan memaafkan kesalahan suaminya. Dan hanya dia yang bisa memutuskan.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang