ENAM

3.1K 217 13
                                    

"Is there someone ill?" Moreno memicingkan matanya ketika dia mendengar grasak-grusuk di kamarnya. Hari masih gelap dan dia melihat Abel tengah bersiap-siap di dekat lemari. "Atau ada yang meninggal?" Dia menegakkan posisinya di tempat tidur, memperhatikan istrinya yang nyaris telanjang hanya dengan pakaian dalam dan atasan kamisol.

"Tidak ada," jawab Abel.

"Kalau begitu kembalilah tidur, Sayang." Moreno melirik jam digital di atas nakas. Pukul setengah lima pagi? "Tidak ada alasan untuk bangun. Seingatku ini hari Minggu."

"Kalau begitu tidurlah, aku tak mau mengganggumu."

Jawaban yang tidak menyenangkan itu memancing Moreno. Mau ketemu siapa sih istrinya pagi buta begini? Mungkinkah istrinya berselingkuh...? Di atas usia tiga puluh, Abel tampak masih sangat cantik. Tubuhnya yang mungil, padat di bagian tertentu, dengan bentuk tubuh yang menggiurkan. Hh, masa iya sih istrinya punya simpanan?

Telanjang bulat, Moreno turun dari tempat tidurnya, menghampiri istrinya dan memeluknya dari belakang. Ketegangan dalam dirinya mulai muncul. "Sayang, kembalilah tidur. Aku ngantuk sekali, dan tak bisa mengantarmu."

"Aku masih bisa menyetir, Moreno," sanggah Abel, mencoba mengelak pelukan suaminya. Buru-buru dia memakai dress kaftan hitamnya. "Tak perlu diantar."

"Kau mau ke mana sih?" desak Moreno geram. "Perempuan yang sudah bersuami tidak bisa pergi jam segini-kapan pun tanpa persetujuan suaminya, kau tahu?!"

"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentangku sekarang, Reno. Tapi kalau kau mau membicarakan hak dan kewajiban, aku berhak untuk tidak dikekang sekali saja."

"Aku tidak mengekang dirimu sama sekali. Kalau aku begitu, aku tidak membiarkanmu bekerja, Asha Bella!"

"Setelah lima tahun menikah, kau baru mengizinkanku, Moreno," Abel mengingatkan dengan miris.

"Karena kukira kita akan punya anak dan sudah kewajiban seorang istri dan ibu untuk mengurus anaknya di rumah! Setelah tahun-tahun lewat dan kulihat tak ada harapan, aku rasa sudah tidak ada gunanya mengurungmu di rumah terus!"

Sekali pun Moreno bisa menampar istrinya, Abel lebih memilih untuk ditampar daripada mendengar kata-kata sengit barusan. "Tak ada harapan," ulang Abel kelu. Setitik air mata muncul di sudut matanya. "Kau benar." Dia menggigit bibirnya, terduduk lemas di tepi tempat tidur.

Moreno tidak pernah suka air mata. Termasuk air mata istrinya, dan yang terlebih lagi dialah penyebab istrinya menangis! Dia memijat lehernya, mencoba untuk menyelesaikan pertengkaran ini.

"Asha Bella," desah Moreno, duduk di sebelah istrinya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengatakannya."

"Kalau kau tahu sudah tidak ada harapan, kenapa kau masih bertahan, Moreno? Kenapa kau masih mempertahankan...." Dengan berlinang air mata Abel menatap Moreno dengan pedih. Menangis di dekat suaminya adalah hal yang menenangkan baginya, apalagi jika bersandar di dada Moreno yang kokoh. Tapi sekarang, dia merasa harga dirinya terinjak dengan menyerah di depan suaminya. "Kau tidak bisa berpura-pura... Aku mengenalmu..."

"Kau bicara apa sih," gerutu Moreno sambil merangkul istrinya. "Kalau kau merujuk pada perceraian, aku tidak pernah sekali pun berpikir untuk berpisah darimu, Abel."

"Munafik bagimu untuk mengatakannya, Moreno. Kita berdua tahu kau sangat ingin memiliki anak, dan aku tidak bisa memberikan anak yang utuh untukmu. Selalu saja ada musibah yang menghampiri setiap aku hamil."

"Namun itu bukan salahmu. Itu salahku tak bisa menjagamu," kata Moreno lembut. "Kuminta lupakan pembicaraan pagi ini, Abel. Aku takkan menuntutmu lagi untuk memiliki anak, dan selain itu aku juga takkan pernah menceraikanmu."

Dulu Abel sangat yakin Moreno adalah pria yang mencintainya sepenuh hati sampai rela melakukan apapun. Tapi sekarang, kepercayaan itu menghilang entah ke mana. Yang ada hanyalah kewajiban Moreno untuk menjaga istrinya, itu saja.

"Jam berapa kau akan pergi?" tanya Moreno.

"Secepatnya," sahut Abel. "Perjalanan ke San Diego Hills pasti tidak macet jam segini."

Oh, shit. Ini hari kematian Satria. Kapan terakhir Moreno ke makam adiknya? Setahun sebelum menikah dengan Abel. Sudah lama sekali. Tak ada niatan untuk ke sana, toh dia tak pernah dekat dengan adiknya semasa hidup dan kalau untuk berdoa tidak perlu jauh-jauh ke sana, kan?

Jadi karena alasan itu Abel bersiap-siap di pagi buta begini? Itu hampir dua puluh tahun yang lalu, dan Moreno tak pernah lupa di tanggal yang sama, saat dia pada dini hari menjatuhkan Satria dari mobil setelah sebelumnya dia dan kawan-kawannya memukuli Satria di markas geng SMA-nya.

"Aku mengerti kau, Reno, dan aku hanya minta hari ini saja aku memiliki waktu sendiri," kata Abel. "Hanya sampai siang."

"Aku akan call sopir untuk mengawalmu."

"Oh, tidak, Reno, aku tidak mau membangunkan sopir jam segini," sanggah Abel menggeleng.

"Kalau begitu tunggu aku selesai mandi," kata Moreno tanpa dapat dibantah. "Aku akan siap secepatnya."


** Semoga kalian suka cerita ini **

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang