DUA PULUH ENAM

2.8K 178 7
                                    

Abel tidak bergerak dari tempat tidurnya.

Bau Moreno masih menyengat hidungnya. Bau parfum dengan campuran tembakau. Rasanya berat sekali mengangkat tubuhnya dari tempat di mana dia selalu berbagi dengan suami yang dicintainya. Ya, dia mencintai suaminya, hanya saja apa yang dilakukan Moreno sulit untuk dimaafkan.

Selama ini Abel menunggu suaminya dengan sabar di rumah, dan ke mana suaminya setiap pulang kantor? Ke rumah persembunyiannya bersama wanita simpanannya. Wanita yang nyaris sempurna. Istri sepupu suaminya lulus dari uni luar negeri, punya tiga anak, dan yang pasti dia teman yang baik bagi manusia yang sama sempurnanya bagi Moreno. Apakah Moreno melakukan kesalahan dengan memilih Abel sebagai istrinya?

Air mata mengalir ke pipinya. Pertahanan dirinya runtuh. Abel melentangkan kepalanya di atas bantal, membiarkan air matanya menjuntai jatuh ke bantal dengan isakan kecil menyertai. Malam-malam hangatnya bersama Moreno tidak pernah ada. Moreno tidak menikmati percintaan mereka seperti yang Abel kira. Suaminya malah telah menyebarkan spermanya ke perempuan lain... Astaga, Abel merinding sekali membayangkan suaminya menenggak kenikmatan dari wanita itu!

Ponsel Abel berbunyi. Dia tidak peduli, segala pancaindranya begitu mati terbunuh oleh rasa sakit hati yang melandanya. Ada ketakutan dalam dirinya, bagaimana jika itu pengacaranya yang meneleponnya? Pengacara yang sudah dimandatkan untuk mengurus perceraiannya?

Ya ampun, perceraian! Dia tidak pernah bermimpi untuk bercerai dari suaminya yang sudah dia cintai sejak lama. Bagaimana bisa semuanya begitu berubah dengan drastis? Rasanya baru kemarin dirasakannya cinta Moreno yang tak pernah ada habisnya, dan sekarang... Huh! Laki-laki! Kalau sudah mapan, sudah sukses, istri yang setia menemaninya ditelantarkan untuk wanita lain! Hmm!

Bunyi ponselnya tak mau berhenti. Dengan malas dia meraih ponsel dari atas nakas. "Selamat siang," katanya, mencoba untuk terdengar biasa saja.

"Hai, Chef Abel," terdengar suara Jonas di speaker ponselnya. "Sedang sibuk?"

"Ada apa, Jon? Ada masalah di restoran?"

"Oh, tidak, semuanya baik-baik saja. Hmm..., hanya saja aku merasa kehilangan kau tidak datang kemarin," kata Jonas. "Suamimu mengurus keperluan restoran dengan baik, aku akui. Tapi untuk apa aku ke sana kalau tidak ada kau, Chef?"

"Sudah berapa kali kubilang aku sudah menikah, Jon? Cari perempuan lain saja." Abel malas meladeni pria-pria genit semacam ini. Sudah cukup dia sakit hati dengan suaminya. "Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, aku akan tutup teleponnya."

"Aku khawatir," sanggah Jonas cepat. "Aku mengenal banyak wanita yang strong, dan mereka hanya beberapa kali absen dari pekerjaan yang mereka sukai karena sakit. Apakah kau sakit?"

"Tadinya." Sekarang jauh lebih sakit! "Aku baik-baik saja."

"Jangan GR. Tentu saja aku mengkhawatirkanmu, siapa yang mau membayarku kalau kau sakit?" Jonas tertawa ringan. "Aku merindukanmu, Chef." Dan, ya, suaranya melembut.

"Kalau suamiku dengar...."

"Oh, aku tahu dia tidak di rumah. Kau tidak mungkin mengangkat telepon ini jika ada dia di rumah, bukan? Tenang saja, Chef, aku bisa kok jaga rahasia kalau kau mau merekrutku juga jadi simp...."

"Tutup mulutmu atau kulaporkan kau pada suamiku, Jon," kata Abel datar. Kemudian dia tertawa. "Kau begitu desperate untuk mendapatkan pacar sampai mendekati istri orang, ya?"

"Pacarku banyak, tapi hanya kau yang ingin aku dekati. Sebutlah aku dungu, tolol, bebal, tapi mau bagaimana lagi? Wajahmu selalu menghantuiku sih!"

"Jon, guyonan dan gombalan semacam itu sudah tidak kubutuhkan lagi. Kalau kau mau jadi simpananku, cobalah dengan lebih keras lagi!" Eh, itu bukan semacam undangan? Masa bodo amatlah. Toh bisa apa Jonas jika Moreno mulai ngamuk.

"Nantangin nih? Oke deh, Chef, selamat beristirahat," kata Jonas riang. "Saya tahu kau masih sakit. Dan saya juga tidak ragu suamimu mengurusmu dengan baik. Well, kalau kau sudah sembuh, kau tetap ke restoran, kan? Aku tidak bisa di Jakarta saat opening."

"Kenapa? Pacarmu minta dinikahi?"

Hening.

"Oh my God, Jon, sebentar lagi kau mau menikah dan masih menggodaku?" Abel hanya tertawa. Memang laki-laki! Tidak bisa dipercaya. "Pergilah, serius. Jangan usik pikiranmu dengan restoranku!"

"Aku tidak bilang begitu. Tapi sekalipun aku ingin menikah, aku inginnya kau yang nikah denganku. Siapa yang tahu?"

"Sudahlah, Jon, lupakan angan-anganmu..."

"Aku serius, Asha Bella," nadanya mulai terdengar tegas. "Kalau kau bosan dengan suamimu, call saja aku! Aku siap siaga menerimamu jadi istriku!"

"Lelaki bodoh! Mana bisa....."

"Apapun keadaannya, mau kau bersuami atau tidak, jika ada yang tidak bisa kau katakan pada orang lain, aku bisa menjadi temanmu, Asha Bella," sela Jonas. "Ini mungkin terdengar tolol, tapi ya aku merindukanmu. Aku merindukan istri orang, terdengar lucu bukan?"

"Kau terdengar seakan tertantang, Jon."

"Tertantang untuk mendapatkan istri dari lelaki terkaya sepenjuru Asia, hm? Sejujurnya aku sudah lama tidak merasa tertantang seperti ini. Sudah lama sekali."

"Kalau begitu hentikan, karena aku takkan memberikanmu apa-apa."

"Aku tahu."

Abel menghela napas panjang. "Sudah dulu, Jon. Aku butuh istirahat."

"Kau sakit, Chef," kata Jonas serak. "Sudah lama kau memendam sakit itu sendiri. Bukan sakit secara fisik, di dalam batinmu kau menelan banyak beban. Dan sayangnya, tidak ada ruang untukmu berbagi. Katakan jika aku salah."

"Kau sok tahu, Jon. Aku istri dari istri dari lelaki terkaya, kenapa harus sakit?" Abel memaksakan diri untuk tertawa.

"Bukan uang yang kau cari. Kau membutuhkan kehangatan—aku tidak memintamu jadi simpananku, percayalah!—Perempuan sepertimu, yang suka mengurus rumah, tak pernah mencari ketenaran, takkan nyaman dengan baju-baju bermerk keluaran terbaru, perhiasan yang menyilaukan setiap mata, dan yang jelas tidak akan nyaman dengan orang-orang kaya yang mengelilingi suamimu." Jonas diam untuk menarik napas. "Aku mengenalmu, Chef. Jauh dari yang kukira."

"Kau mengenalku terlalu banyak kalau begitu, Jon," jawab Abel pelan. "Sebaiknya kau lanjutkan hidupmu sebelum kita pergi melewati batas."

"Oke. Janji untuk sehat dan kembali ke restoran?"

"Ya, secepatnya."

Abel tahu ini awal dari yang tidak seharusnya dia mulai. Lelaki ramah dengan wajah yang alim seperti Jonas, mengingatkannya pada Kak Satria. Kak Satria yang bisa mengerti dirinya, yang selalu mengkhawatirkannya..... Lelaki yang selama ini tak bisa direlakannya untuk pergi.

Jika arwah Satria masuk ke Jonas—jika hal semacam itu ada—Abel akan sangat bersyukur. Setidaknya jika dia harus kehilangan suaminya, dia takkan sendiri melaluinya. Kak Satria tidak pernah meninggalkannya dalam kesedihan kecuali saat dia harus pergi ke alam yang lain. Begitu pun Jonas.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang