DUA PULUH SATU

2.9K 209 11
                                    

Abel berdiri untuk menyambutnya. Karina lebih tinggi darinya, dan lebih ramping. Tidak terlihat dia sudah memiliki anak satu dengan tubuhnya yang masih indah itu. Istri Eltor itu tidak membalas sambutan Abel, dia langsung bertanya ke sasaran, "Di mana Moreno?"

"Dia sedang mandi," jawab Abel tanpa menutupi rasa bingungnya. "Ada pesan yang bisa saya sampaikan padanya?"

"Berikan ini padanya." Karina menyodorkannya sebuah amplop. "Katakan padanya, dia akan menjadi seorang ayah. Selamat pagi."

Dan wanita itu pergi. Abel memerlukan beberapa detik untuk mencerna kata-kata istri sepupu Moreno itu. Apa? Moreno akan menjadi ayah? Apakah itu artinya... Karina mengandung anak Moreno?

Moreno bodoh. Abel memang belum lama mengenal Eltor. Tapi dia tahu, Eltor lebih baik daripada Moreno. Mengapa lelaki seperti itu harus dikhianati seperti ini? Ya sudahlah, itu bukan urusan Abel.

"Hey!" Tangan Moreno melambai di depan mata perempuan itu. "Melamun saja. Mikirin apa, hayo?!"

Pria itu duduk dan makan sarapannya. Abel duduk di samping pria itu. "Tadi Karina datang. Dia memberikan ini padaku." Abel meletakkan amplop di atas meja.

Moreno menatap amplop itu sekilas, dan melanjutkan makannya. Abel bertanya, "Kau tidak ingin tahu isinya?"

"Tidak, aku sudah tahu isinya. Pasti hasil tes DNA itu."

"Kau tahu kau akan menjadi seorang ayah?" Abel tidak menutupi rasa herannya. Mengapa Moreno bisa sesantai itu?

"Tadi malam wanita jalang itu meneleponku. Memakiku karena dia mengandung anakku. Tapi aku yakin itu bukan anakku, Abel."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Aku selalu memakai alat pengaman, Abel." Melihat Abel menatapnya dengan jijik, Moreno melanjutkan, "Selain itu dia baru mengandung empat bulan, sementara hubungan kami sudah berakhir enam bulan yang lalu. Dia tidak pandai menipu, Abel."

Kenangan di masa lalu, sebelum dia menjadi istri Moreno, masuk ke mimpi Abel. Saat itu Moreno masih bujangan, tapi dia sudah menjadi simpanan istri sepupunya.

Abel merasakan dirinya tidak lebih baik setelah Moreno pergi. Dia terbangun dengan napas tersengal-sengal, dan kepalanya begitu berat hingga dia harus melentangkan kepalanya di atas bantal dengan hati-hati. Omongan Charles tempo hari mampir ke kepalanya. Walau tuduhannya pada sang suami tidak terbukti, perasaan lega itu belum juga datang. Masih ada yang disembunyikan Moreno.

Bukan rahasia umum lagi bahwa Abel orang yang polos jika dibandingkan suaminya yang lihai. Itulah yang menjadi inti permasalahan rumah tangganya selain kehamilannya yang selalu gagal. Kebodohan Abel dalam melihat sesuatu sangat mudah ditampik suaminya, dan dia juga tak ada alasan untuk curiga. Tapi sekarang, dia terbangun dengan perasaan sakit hati. Tidak tahu kenapa. Luar maupun dalam tubuhnya begitu sakit. Dia seharian muntah-muntah sampai Bibi bolak-balik ke kamar untuk membersihkan muntahannya di lantai. Abel merasa berat sekali melihat Bibi begitu berkorban untuknya sementara suaminya entah di mana padahal Abel tahu Moreno cuti!

Dia tidak bisa memejamkan matanya meskipun bayangannya selalu kabur setiap dia membuka matanya. Abel berusaha mencari tahu apa yang menjadi penyebab kegalauan hatinya. Untuk ukuran suami yang sudah punya segalanya-harta, karir yang baik dan wajah yang tampan-Moreno sangat baik pada istri yang tidak terlalu berkontribusi banyak pada kehidupannya. Tapi ketulusan itu dirasakan Abel hanya kewajiban saja, bukan cinta seperti pada awal pernikahan mereka.

Kecurigaannya berkurang ketika Chef Deni meneleponnya. "Chef Abel cepat sembuh ya. Tenang saja semua pekerjaan di restoran hampir jadi. Pak Moreno banyak membantu kami."

"Moreno jadi ke sana? Oh, syukurlah, Chef."

"Selera Bapak juga jempolan banget, Chef saat menjadi taster makanan setiap chef. Dan Bapak juga sudah membuat strategi mengenai opening dan pemasaran."

Abel tidak punya alasan lagi untuk mencurigai suaminya. Bodoh sekali dia berpikiran suaminya di tempat lain bersama wanita lain pula di saat Moreno ternyata membantunya! Tapi rupanya tupai tidak pandai melompat karena Chef Deni melanjutkan, "Sayang sekali Bapak sudah pulang. Hanya dua jam saja di sini."

Dan sekarang sudah hampir sore, pikir Abel. "Baiklah, trims ya Chef sudah mengabari saya. Saya akan ke sana ketika saya sembuh."

"Oke, Chef."

Bi Inah mengetuk pintu kamar dan membawakannya sebaki makanan. Biasanya Abel paling suka setiap Bibi membuatkannya makanan. Tapi entah mengapa, walaupun bubur udang yang dibawakan Bibi tidak terlalu bau, dia tidak bisa menahan rasa mualnya. Kepalanya membayangkan udang yang tercampur aduk dengan nasi basah yang lembek.

Untung saja Bibi sudah siap siaga menyiapkannya plastik dan dimuntahkannya isi lambungnya ke dalam plastik itu. Ya ampun, dia bahkan kurang makan, dan harus muntah-muntah seperti ini? Sakit apa sih sebenarnya dia? Biasanya kalau stres hanya lebih sering mengantuk saja dan malamnya kembali baikan. Tapi sekarang.... Mungkinkah ada yang disembunyikan ayahnya? Jangan-jangan...

Bibi yang mengurut bagian belakang lehernya berdecak prihatin. "Sebentar lagi Ibu pasti cepat sembuh. Makannya dihabiskan ya, Bu."

"Rasanya sulit sekali untuk menelan, Bi," keluh Abel. Dia mengelap mulutnya dengan serbet yang tersedia di atas nakas. "Mana obatnya? Begitu selesai makan saya akan minum obatnya sendiri. Bibi tidak usah menunggui saya."

"Ampun, Bu, tapi Pak Moreno sudah berpesan untuk memastikan Ibu makan dengan teratur."

"Saya nggak apa-apa kok, Bi," Abel memastikan Bibi. "Lagipula setelah ini saya mau tidur lagi."

"Benar, Bu?" Bibi bertanya ragu-ragu.

"Iya benar deh!" Abel memaksakan untuk tersenyum padahal badannya lagi panas-dingin. Dia segera menghabiskan buburnya meski kadang rasa mual menghampiri, tapi dia tidak mau memanjakan tubuhnya hingga tidak mengisi nutrisi pada tubuhnya. Begitu selesai, dia meraih ponselnya dan ditekannya 'Ayah' di kontak. "Ayah?"

"Ada apa, Bella? Ayah sedang praktik nih."

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku punya feeling ada yang Ayah sembunyikan dariku," kata Abel tanpa basa-basi. "Aku tidak pernah sesakit ini! Adakah yang harus Ayah katakan padaku?"

"Abel, Sayang..."

"Aku dan Moreno sudah menunggu untuk memiliki anak, Yah," bisik Abel. "Apakah dugaanku benar? Aku pregnant?"

Lama suara ayahnya tak terdengar di telepon. "Iya, Abel," jawab ayahnya akhirnya. Sejak Abel mengalami sakit yang luar biasa setiap mens, ayahnya tak pernah luput mencatat tanggal menstruasinya. Sampai sekarang. "Ayah sudah meminta asisten Ayah untuk memeriksa urinmu..."

"Bagaimana bisa? Aku kan tidak sadar!"

"Ayah mengambil darahmu saat suamimu tidak di kamarmu, dan sampel darah itu Ayah bawa ke rumah sakit. Kau pingsan, Abel, dan itu dikarenakan kau kekurangan nutrisi untuk kehamilanmu."

"Lalu kenapa Ayah tidak memberitahuku... atau Moreno?"

Lagi-lagi jeda. "Ayah hanya tidak ingin kalian berharap lagi dan sesuatu yang buruk terjadi lagi," kata ayahnya. "Selain itu, Abel, Charles juga memberitahu Ayah mengenai perselingkuhan suamimu."

"Tapi dia tetap ayah dari bayiku! Dan perselingkuhan itu tidak benar!""

"Abel, Ayah laki-laki. Ayah tahu suamimu seperti apa. Mengapa kau polos sekali?"


** Semoga kalian suka cerita ini **


Author's note:

Cerita ini panjang sekali, lebih dari 60 parts, semoga sebulan ini bisa aku publish semua parts ya.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang