LIMA

3.1K 206 12
                                    

Moreno mendengus. "Memang. Tapi aku tidak bisa menerima kenyataan keluarga Danishwara bersatu dengan keluarga Sadrin. Philip Sadrin, kau tahu dia?"

"Yang kutahu dia itu seorang pianis."

"Dan juga pengacara dari artis-artis yang doyan nyari sensasi. Murahan sekali." Moreno berdecak penuh dengan nada menghina. "Helena memang seorang Hikmahanto, bukan Danishwara lagi sejak Tante Triska menikah dengan Pak Hasni. Tapi, Kakek Sasmito sangat menyayanginya, dan aku heran mengapa dia bisa membiarkan Helen menikah dengan Philip..."

"Kau terlalu menampik masalah ini berlebihan. Kalau mereka saling mencintai, tidak ada lagi yang bisa menghalangi mereka. Sekali pun itu kakekmu, Reno." Huh. Bicara soal mediocre, memangnya apa yang bisa dibanggakan dari Abel? Semua anggota keluarga Danishwara begitu terpelajar dan selalu menjadi bahan pembicaraan di lingkaran sosialita. Untung saja Moreno tidak memandangnya dari segi itu.

"Tapi haruskah Helena mencintai pria seperti itu?"

"Moreno Danishwara juga memilih istrinya hanya karena cinta," jawab Abel tenang. Melihat suaminya diam saja, Abel bertanya dengan hati-hati, "Itu benar, kan?"

Dulu Moreno berpikir demikian. Cintanya terhadap Abel menggelapkan matanya hingga dia dapat melakukan hal terkeji. Tapi sekarang yang dirasakannya adalah perasaan bersalah telah membunuh adik satu ayahnya, dan dia menebusnya dengan membahagiakan perempuan yang disayang Satria.

Dibandingkan istri-istri semua kawannya, Abel-lah yang paling sederhana. Dia hanya menemani Moreno menghadiri acara-acara yang penting. Istrinya tidak suka ikut ke acara pesta sosialita di restoran mewah. Atau bergabung ibu-ibu sosialita di lounge saat Moreno bermain golf dengan orang-orang penting.

Moreno mengagumi sifat introver Abel... dulu. Sekarang, rasanya seperti lelaki bujang saja setiap dia bertemu dengan teman-temannya seperti Adrian Agrapana, Ario Patrialis, Pashandra Hartanto Jusuf, dan bahkan sepupunya sendiri Eltor. Mereka selalu membawa istri-istri mereka yang berkelas ke acara mingguan mereka, main basket di lapangan Senayan.

Selain itu faktor lainnya adalah ketiga temannya punya bakat menghamili cepat. Mereka memiliki anak pertama mereka setahun setelah pernikahan. Yang paling membuat hati Moreno berjengit setiap Adrian menceritakan tentang anak pertamanya dengan Ligwina, kemudian teman-temannya yang lain ikut nimbrung. Kalau sudah begitu Moreno memilih untuk tersenyum saja dan minta didoakan agar cepat mendapat momongan.

Abel menggelayut pada lengan Moreno. "Aku punya kado untuk hari jadi kita." Dia berpindah ke sisi tempat tidur, meraih sebuah kotak di atas nakas. Disodorkannya kotak itu pada Moreno. "Aku melihatnya beberapa hari yang lalu di Plaza Indonesia, dan aku rasa kau akan menyukainya."

Moreno membuka kotak berbungkus kertas kado itu. Cahaya keemasan dari jam Rolex keluaran terbaru memantul pada dua matanya. "It's beautiful," jawab Moreno. "Aku harus berhenti memakai Cartier mulai besok."

"Kau tahu, kau paling sulit diberikan hadiah?" Abel pura-pura mengeluh kesal. "Aku bingung benda apa yang akan kau sukai. Kuperhatikan kau tidak terlalu memikirkan penampilan lagi, Moreno."

Karena penampilan yang keren sudah tidak perlu lagi. Ada banyak wanita yang ingin tidur dengannya, tapi hanya satu perempuan yang dia pilih untuk menjadi ibu anak-anaknya. Dan sejauh ini pilihannya belum menunjukkan hasil. "Barang mewah seperti ini hanya mengundang pencuri saja, Sayang," jawab Moreno sambil memasukkan lagi arloji itu ke dalam kotak. Dia memandangi istrinya yang hanya dibalut gaun tidur yang tipis. Dihelanya napas panjang. Sudah setua ini, dia masih deg-degan melihat tubuh istrinya yang masih seperti remaja dulu. Begitu menggiurkan. "Kau ingin kubelikan apa?"

"Aku tidak perlu apa-apa." Sebagai jawabannya, Abel melepaskan kancing demi kancing gaun tidurnya. Moreno merasakan tenggorokannya yang mengering. Ya, banyak wanita yang ingin tidur padanya, dan hanya satu yang bisa menggodanya dengan liar seperti ini. Kecantikan istrinya yang alami, tindakannya yang tanpa didasari motif, dan hanya atas nama cinta saja istrinya menyerahkan dirinya padanya. Tanpa dibatasi oleh waktu.

Moreno tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Dia merobek bagian bawah istrinya, bukan menurunkannya dengan lembut seperti biasa. Sesuatu yang mengeras dalam dirinya menahan gejolak setengah mati. Dicumbunya istrinya dengan gerakan bokongnya yang menggoda di atas tubuh istrinya.

Geez!

Tidak, dia tidak mau langsung melakukannya. Dia ingin membuat istrinya sampai ke puncak lebih dulu. Dilumatnya bibir istrinya.... Tapi sial, istrinya tahu sekali bagaimana cara membuatnya nyaris meledak. Abel mencium leher Moreno dengan tangannya bermain di bawah perut suaminya. Bibirnya turun ke dada suaminya, menggigit bulu dadanya yang selalu lebat...

Moreno tidak tahan lagi.

Dia melepaskan celananya dan memasukkannya tanpa kelembutan sama sekali. Rintihan tertahan istrinya membuatnya semakin mendegil. Dia menusuknya, terus dan terus, hingga akhirnya mereka terkapar bersebelahan.

"The sex's always been good," desah Moreno, menarik selimut untuk menghangatkan mereka berdua. Lengannya melingkari bagian depan dada istrinya.

"Seks?" Moreno tidak pernah mengatakan satu kata itu. Suaminya selalu mengatakan 'percintaan'. Dan kata yang satu itu asing di telinga Abel serta memberikan konotasi pada pikirannya. "Ya."

"Aku mensyukuri kita belum memiliki anak, Asha Bella."

"Bagaimana?" Apakah Abel salah dengar?

"Ya. Mungkin kita tidak bisa melakukan ini setiap waktu jika kita memiliki anak." Moreno menempelkan bibirnya di dahi bagian samping istrinya, meresapi keringat dan harum semerbak yang terpancar dari tubuh istrinya. "Tapi aku tidak ingin menyerah, Bella."

Pada awalnya Abel dapat bersabar. Sejak anak mereka meninggal, Moreno semakin terobsesi untuk memiliki anak. Meski di mulut suaminya menghibur keadaan mereka yang belum sempurna tanpa anak-anak di sekeliling mereka, Abel tahu Moreno ingin sekali membesarkan anak kandung mereka.

Bukan berarti tidak ada harapan. Itu benar.

Mereka pernah memiliki anak. Hanya saja takdir merenggut anak itu, seakan menunjukkan mereka belum layak untuk dititipkan seorang anak. Ini semua bukan masalah kesehatan. Kesabaran mereka tengah diuji, dan Abel tidak tahu harus bagaimana bersikap.

Dia bisa saja muak, mengeluarkan unek-uneknya mengenai keadaan Moreno yang sebenarnya jika Moreno terus bersikap seolah-olah kesalahan hanya ada pada Abel. Atau dia memilih bersabar. Dan manusia mana yang bisa bertahan jika terus dipersalahkan di saat kita tahu kesalahan itu bukan ada pada diri kita?

"We will have a baby, Moreno," bisik Abel, mencoba menghibur suaminya. "Just you wait and see."

Suaminya tidak mendengarnya. Dengkuran suaminya yang halus dan teratur terdengar, dan Abel menyandarkan kepala suaminya ke dadanya. Memeluknya semalaman.


** Semoga kalian suka cerita ini **

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang