EMPAT PULUH SATU

1K 78 6
                                    

"Sejujurnya aku tidak tahu," jawab Abel terus terang. "Sebaiknya Kakak move on. Aku istri Moreno."

"Aku sudah melakukannya," kata Satria lirih. "Dan tidak berhasil. Aku ingin-butuh melihatmu untuk sisa hidupku."

"Kau tidak mungkin bisa merebutku dari kakakmu."

"Moreno bukan kakakku," Satria menggeleng. "Dia tidak pernah menjadi kakakku. Sebelum peristiwa di Ancol itu terjadi, aku berusaha untuk tidak mencari urusan dengannya. Aku bahkan ingin sekali menjadi bagian dalam hidupnya. Tapi dia memilih untuk menyingkirkanku."

"Saat itu Moreno iri padamu, Kak Satria. Kau memiliki apa yang tidak dimilikinya. Sosok ayah sudah direnggut darinya..."

"Omong kosong! Satu-satunya alasan mengapa dia melakukannya karena aku dekat denganmu. Dan dia berhasil. Kini kau menjadi istrinya dan kau...." Satria mengangkat mukanya dengan ketabahan yang sulit dia dapatkan untuk saat ini. Menatap Abel dan menyatakan kekalahannya bukan perkara mudah. "Kau mencintainya. Betul begitu?"

Jawab kau tidak mencintainya, Satria memohon dalam hati. Jika aku tidak bisa mendapat maaf dari orangtuaku, setidaknya jangan biarkan aku hidup tanpa jugamu. "Jawablah, Bel. Jangan buatku menunggu."

"Bukankah sudah jelas aku sangat mencintainya?"

"Kau berbohong!" cetus Satria kesal. "Kau hanya menghormati statusmu sebagai istrinya. Abel, aku tidak mendesakmu untuk menjawab hari ini atau detik ini." Satria mendekatinya, menarik dagunya hingga mata mereka saling terpaut. Dalam mata Satria penuh dengan keyakinan yang tak bisa diragukan oleh siapapun. "Aku akan menunggumu. Tidak, tidak hanya satu-dua minggu. Aku menunggumu dua tahun, tiga tahun, bahkan sepuluh tahun." Dia tertawa kering penuh kemirisan. "Siapa yang tahu kapan kau bisa kembali padaku."

"Aku rasa itu takkan mudah."

Satria melepaskan tangannya dari wajah wanita itu, melempar pandangan kaget. "Maksudmu?"

"Ada sesuatu yang tidak bisa memisahkan aku dari Moreno. Akan membutuhkan waktu yang lama untuk berpisah-atau barangkali tidak akan ada perpisahan. Aku tidak bisa membiarkanmu menunggu, Kak Satria."

"Aku tidak mengerti. Apa yang dimilikinya sampai kau bertahan dengannya? Dia memang kaya, tapi aku tahu betul kau bukan gila harta! Aku bisa memberikanmu apa yang kau butuhkan, ya aku memang tidak kaya, tapi aku bisa melakukan banyak hal yang bisa melindungimu dan membuatmu nyaman. Ada apa, Abel? Apa yang kau cari dari lelaki macam dia, lelaki yang bisa berselingkuh kapan saja?"

"Aku mencintainya. Itu saja."

"Aku tidak percaya itu, Abel," Satria menggeleng tegas. "Bukan cinta yang kau punya untuknya! Oh ya.... Aku mengerti sekarang. Kau menikah dengannya, untuk melepaskan rasa bersalahnya karena telah membunuhku?"

"Bukan begitu, tapi..., nggg..., jangan mendesakku, Kak!"

"Aku menginginkan-bukan-aku membutuhkanmu, Abel. Egois memang, menghendaki wanita yang sudah bersuami, tapi itulah keburukanku. Aku tak bisa mengenyahkanmu dari pikiranku. Semua ide, semua motivasi, semua kesuksesan yang kuraih.... Hanya untuk kau." Satria terdiam sesaat. "Itulah kelemahanku."

"Sebaiknya kita hentikan saja perbincangan ini. Nikmati makananmu." Abel berusaha melewati Satria dengan hati kuat, namun gagal. Satria menangkap lengannya dan membalikkan tubuhnya, kemudian memeluknya erat-erat. Tak ada orang yang memperhatikan saking mereka asyiknya dengan kenyamanan di dalam resto.

"Love is not my weakness," bisik Satria di telinga Abel. "It's the only strenght I have. I love you, Asha Bella. I love you."

Tidak, ini bukan sesuatu yang benar dilakukan. Satria telah pergi, sudah mati! Orang yang meraihnya sekarang bukan Satria. Tidak, Kak Satria tidak mungkin berbohong padanya. Dia menjauh dari Satria dan menatapnya dengan berang. "Apa yang kau harapkan, Kak Satria? Kau menghilang, tidak peduli apa alasanmu mengapa kau pergi! Moreno tidak sekejam itu, dia bisa saja membunuhmu lagi ketika dia tahu kau masih hidup. Ya, dia tahu, dia menyelidiki Jonas sama sepertiku. Dan sekarang, kau mengatakan cinta, dan kau pikir itu akan membuang semua kesalahanmu terhadapku? Kau meninggalkanku untuk hampir dua puluh tahun dan kau kembali menginginkanku untuk menjadi milikmu?!"

Ini sangat di luar dugaan Satria. Dia menduga Abel mengerti situasi yang dia miliki selama ini, tapi rupanya tidak. Wanita, pikirnya. Tidak akan ada satu kalimat yang bisa membuat kaum hawa mudah mengerti. Abel tengah menatapnya dengan berang, dan Satria tidak tahu harus bereaksi apa.

"Kau berbohong padaku-semua orang! Dan kau kira aku akan mudah begitu saja bilang 'Aku memaafkanmu, Kak Satria, silakan kita pergi bersama' wrong!!!! Aku takkan kembali padamu. Tidak setelah kau berbohong seperti ini."

"Tidak, Abel. Aku bukan lelaki yang tidak bertanggung jawab seperti itu. Aku bisa memberikanmu apa saja. Aku bahkan bisa membeli restoran ini dan memberikannya padamu! Kita bisa miliki apa yang kau inginkan. Cinta. Keluarga. Dan semuanya, Abel!"

"Itulah masalahnya. Yang kita punya adalah kebohongan." Abel menggeleng, menggigit bibirnya. "Kau kira dengan kembalinya kau sebagai orang kaya, aku akan terkesan? Kau kira dengan mengucapkan maaf dan cinta akan membuatku jatuh padamu? Pada suatu dulu, aku memang jatuh cinta pada Kak Satria, kakak kelas yang begitu pintar dan baik, yang membuatku tertawa di saat tidak ada yang mau bicara denganku! Tapi sekarang aku tidak membutuhkannya lagi. Dia sudah tidak ada."

"Aku orang yang sama, Bel. Inilah aku!"

"Aku tidak tahu harus bicara apa selain mengatakan tidak, Kak Satria," Abel memutuskan. "Kita tidak akan pernah bersama."

"Mungkin aku harus mengingatkanmu sesuatu."

Bibir lelaki itu memagut bibir Abel dengan kelembutan serta kerinduan yang tertahan. Abel berusaha untuk meronta dengan gigi dan jarinya, tapi itu sama sekali tidak bekerja! Satria menaruh telapak tangannya di tengkuk Abel, menyemakkan tangannya di dalam rambut Abel yang tebal. Dia memiringkan wajah wanita itu dengan gerakan tangannya di leher Abel, memasukkan lidahnya lebih dalam hingga dia mendengar Abel mendesah.

Saat itu juga Satria merasa, hanya Abel-lah wanita yang akan menjadi wanita yang tinggal bersamanya di sisa hidupnya.

Abel terpukau dengan ciuman yang diberikan pria itu sampai rasanya sulit melepaskan diri. Dilingkarkan tangannya di leher pria itu, menariknya lebih dekat. Abel begitu menikmati ciumannya, merasakan aroma maskulin yang menjalari hidungnya, menenggelamkan dirinya seakan dia ingin melepaskan semua beban yang membelenggunya. Dan ketika dia merasakan gesekan kumis di wajahnya, dia tersadar, bukan ini yang diinginkannya.

Lelaki yang tengah menciumnya bukan Moreno.

Bukan bau maskulin yang biasa membiusnya, yang menempel di kulit lelaki Satria. Abel melepaskan diri dan dadanya berjengit ketika mendengar seseorang memanggilnya.

"Asha Bella."

Rasanya saat itu dia memilih mati daripada membalikkan tubuhnya untuk menghadapi suaminya. Dirasakannya kedua bahunya disentuh-bukan-dicengkram oleh Moreno.

"Biarkan aku bicara dengan adikku."

Abel membalikkan tubuhnya. "Reno, aku bisa menjelaskan..."

"Tinggalkan kami berdua. Aku toh tidak akan membunuhnya." Moreno tidak menatap istrinya. Matanya tertuju lurus pada Satria yang memerah karena luar biasa malu disergap begini. "Tidak sekarang."

"Moreno...."

"Semua tamu menunggumu, Abel, menginginkan kata sambutan darimu." Moreno memberikan seuntai senyum manis yang menyakitkan. "Temui mereka."

Ini bukan pertanda bagus. Abel ragu-ragu meninggalkan mereka, namun kesadaran bahwa Moreno takkan mungkin membunuh orang di acara pesta seperti ini, membuat Abel mengalah.

Dia hanya berharap semuanya akan baik-baik saja. Walaupun itu harapan yang muluk. Sangat muluk.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang