TIGA PULUH TUJUH

1.3K 84 9
                                    

Yang ditanya hanya menepis telapak tangan Abel di lengannya dan tersenyum masam. "Aku hanya depresi, itu saja," jawabnya.

"Aku akan bertemu dan bicara dengan Papa serta Tante Dilla." Moreno mungkin bisa diam saja, namun Abel tahu apa yang dikhawatirkan suaminya selama ini. Moreno pusing memikirkan perasaan orangtuanya. "Dan jangan. Jangan larang aku untuk melakukannya."

"Dan berikan salamku pada Ayah, Bel," kata Moreno kemudian dia masuk ke mobil dan meninggalkan Abel seorang diri di teras rumah.

Semakin mobil itu menjauh, hati Abel semakin digeruk rasa tak enak. Ada sesuatu yang tidak beres dan Abel khawatir, ini mempertaruhkan keutuhan rumah tangganya.

Dan Abel tahu jawabannya.

Siang itu hujan deras saat Abel memutuskan untuk mengunjungi ayah mertuanya. Guntur berlomba-lomba untuk menimbulkan suara yang paling keras. Ketika mobilnya masuk ke pelataran rumah Papa Gilang, hatinya berjengit.

Mobil Rolls Royce milik Jonas terparkir di depan teras.

Abel menghentikan mobilnya di belakang mobil Jonas. Seharusnya dia tidak kaget mengingat sekarang Jonas bisa dibilang chef pribadi Papa.

Aku akan setia menunggumu.

Setelah menghela napas panjang dan merasa siap untuk menghadapi Jonas di dalam rumah Papa, Abel menekan bel di samping pintu dan menunggu.

***

Bukan Papa maupun Tante Dilla yang membukakannya pintu, melainkan Bibi yang sudah lama mengurus rumah ayah mertuanya. Bibi bilang Pak Gilang dan Bu Dilla tengah menerima tamu di teras belakang. Abel mengikuti Bibi yang mengarahkannya ke teras, dan terdiam menonton pemandangan yang tidak biasa.

Papa dan Tante Dilla duduk bersebelahan di atas kursi rotan dan.... Jonas berlutut di hadapan mereka? Ada apa ini? Apakah Jonas membuat kesalahan hingga dia harus melakukan hal semacam ini? Abel terpekur di pintu teras memperhatikan apa yang ada di hadapannya tanpa seorang pun menyadari kehadirannya.

"Saya datang untuk mengaku, Pak Gilang dan.., ehm.., Bu Dilla." Terlihat Jonas yang memiliki kesulitan dengan tenggorokannya saat mengucapkan 'Pak Gilang' dan 'Bu Dilla'. "Ini mungkin tidak akan diterima oleh kalian dengan mudah."

"Jonas, duduklah bersama kami." Papa menunjuk kursi di seberangnya namun Jonas tidak mengindahkannya. "Jangan seperti ini. Ini membuat saya dan istri saya tidak enak melihatnya."

"Ada apa sebenarnya, Jonas?" tanya Tante Dilla penasaran. "Saya sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Kalau ada yang harus dikatakan, katakanlah! Jangan seperti ini. Toh selama ini kau sudah baik pada kami."

Jonas memejamkan matanya. "Kalian pasti masih ingat dengan anak kalian yang meninggal hampir dua puluh tahun lalu. Anak kalian yang selalu berusaha membahagiakan kalian."

"Ya," suara Papa memelan. Ekspresi di wajahnya berubah muram. "Masih ada di benak kami bayangan wajah anak kami, Satria. Selama hidupnya, Satria hampir tidak pernah mengecewakan kami dengan prestasi-prestasinya di sekolah maupun di kegiatan kerohaniannya. Dia anak yang baik, Jonas, dan saya melihat sifatnya yang arif dalam dirimu."

"Satria sangat baik, tapi mungkin dia melakukan kesalahan sehingga...."

"Dilla," sela Papa geram. Membawa-bawa kesalahan Moreno di depan orang asing sangatlah memalukan! Satria sudah tidak ada, dan hanya Moreno anak mereka satu-satunya yang masih hidup. "Kenapa kau membahas Satria, Jonas?"

"Ibu Dilla benar. Satria melakukan kesalahan yang tak bisa dia hindari. Dia mencintai seorang perempuan yang juga dicintai kakak seayahnya." Masih dengan mata terpejam, Jonas berusaha untuk tidak mengingat setiap pukulan, cambukan, bahkan bantingan terhadap tubuhnya yang dilakukan oleh kakaknya dan teman segengnya yang gangster. "Betul begitu bukan, Pak Gilang?"

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang