Satria mulai terbiasa dengan seragam biru narapidana yang dipakainya. Setiap hari dia selalu diberitahu ada kunjungan dari Moreno dan tak pernah satu pun dari kunjungan itu dia terima. Namun kali ini sipirnya lebih galak dan setengah mengancam. Entah berapa banyak uang yang masuk ke kantongnya. Dia bergegas menemui Moreno.
Moreno duduk di hadapannya tanpa ada ekspresi sama sekali. Satu hal yang tak pernah berubah: Satria tidak pernah bisa mengerti arti tatapan Moreno terhadapnya. Kebencian, sudah pasti. Tapi tidak pernah Moreno menunjukkan perasaan yang sebenarnya secara jelas.
Seakan tahu kelemahan adiknya, Moreno meletakkan tangan kirinya di atas meja. Mengetuk meja dengan telunjuknya. Sedikit menggores dengan ujung kukunya. Lagaknya membawa momen buruk di hadapan mereka ketika Moreno merenggut kerah kemeja Satria dengan tangan kanannya, sementara kepalan tangan kirinya meninju wajah Satria.
Dan Moreno senang dia melihat Satria menegang.
Masih sama seperti dulu, mereka tidak pernah punya bahan pembicaraan.
"Saya yakin kau punya sesuatu untuk dikatakan pada saya, Satria," Moreno memecah kesunyian di antara keduanya.
Gaya Moreno yang dipenuhi keyakinan dan rasa percaya diri itu tak pernah dikalahkan Satria.
"Kau tidak bisa menghentikan istrimu untuk mencintaiku, Moreno," sahut Satria parau. "Tidak pernah bisa. Kenangan yang kita miliki dulu terlalu indah sehingga kau takut. Alasanmu menyingkirkanku karena kau takut aku merebut Asha Bella-mu."
"Tadinya begitu." Moreno melepaskan senyum penuh ketenangan. "Tapi kalau dia mencintaimu, dia pasti meninggalkanku dan pergi bersamamu, kan? Dia punya alasan yang kuat untuk berpisah. Saya mengkhianatinya. Mencoba membunuh lelaki yang dicintainya-jika benar dia mencintaimu. Tapi apa yang kau lihat sekarang? Dia tidak pernah datang!"
"Kau... menyakitinya?" desis Satria curiga. "Kau membungkam mulutnya? Mengekangnya di istanamu yang megah?!"
"Saya tidak perlu melakukannya. Dia memilih untuk tidak datang."
"Bajingan!" Satria bangkit dari tempat duduknya, meraih kerah kemeja Moreno dan menyiapkan kepalan di tangannya. "Kau kira aku takut denganmu, Moreno? Tidak lagi. Delapan belas tahun aku belajar banyak hal. Salah satunya adalah menjatuhkanmu!"
"Kau tahu akan banyak kerugian jika kau menghajarku sekarang," sahut Moreno tenang dalam tarikan Satria. "Menghajar korban dari situs murahanmu."
"Aku tidak peduli lagi!"
"Aku ke sini bukan untuk membawa omong kosong," potong Moreno, melepaskan tangan Satria yang menerkam kerah kemejanya. "Aku membawakan sesuatu untukmu." Dilemparnya sebuah amplop ke meja. "Dari Papa dan Tante Dilla."
Satria terpaku. Selama ini orangtuanya tidak pernah mengunjunginya. "Orangtuaku mengirimkan surat?"
"What a lucky bastard," desis Moreno, merapikan kemejanya yang mulai kusut. Dia duduk lagi. "Mereka tidak bisa mengunjungimu. Bukan tidak bisa. Tapi tidak sanggup melihat anak yang mereka puja harus mendekam di penjara!"
Sepertinya ujaran pedas Moreno tidak dicerna baik dengan Satria. Satria bertingkah seperti anak kecil yang mengagumi rapotnya yang diisi dengan nilai seratus semua. Dia membaca surat itu dengan kuku seakan tidak ada siapa pun di sekitarnya.
Menyesal sekali pagi ini Moreno pakai acara mampir segala ke rumah Papa Gilang. Bukan tanpa sebab Moreno pergi ke sana. Dia harus memastikan kesehatan ayahnya setelah Satria ditahan. Ya, yang seperti diduga, Papa Gilang maupun Tante Dilla bermuram durja memikirkan apa langkah mereka selanjutnya.
"Untuk beberapa minggu ke depan saya akan terus datang," Moreno menginformasikan dengan nada datar. "Papa maupun Tante Dilla tidak akan mengunjungimu."
"Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)
Romance"Kamu tidak bahagia, aku tidak bahagia. Tidak akan ada gunanya membangun rumah tangga yang sudah bobrok." Moreno sudah tidak bisa ditawar lagi. Ia meninggalkan istrinya disertai bantingan pintu. Moreno mengira hidupnya akan bahagia setelah ia memb...