TIGA PULUH SEMBILAN

1K 77 3
                                    

"Ayah meneleponnya, memintanya untuk melepaskanmu. Abel, Ayah juga laki-laki. Hanya soal waktu dia mengusirmu dari rumah mewahnya itu!" Ayah Abel menatapnya dengan iba. Dia melanjutkan, "Perasaan yang kau miliki terhadap Moreno bukanlah bernama cinta. Itu perasaan yang kau namakan cinta. Cinta tidak membawamu pada penderitaan, Nak. Cinta pula tidak membuatmu pasrah ketika mengetahui dia mengkhianati cintamu padanya." Ayahnya menggeleng dengan hati teriris. "Yang kau rasakan terhadapnya hanyalah perasaan dikagumi oleh pria yang digemari banyak wanita. Yang kau punya untuknya hanyalah bentuk tanggung jawab atas kebaikannya pada Charles dan usaha judinya yang laknat itu."

"Kini Ayah membicarakan tentang cinta?" Abel tertawa penuh cemooh. Dia memang kesal pada Moreno, tapi ayahnya tak jauh kebih baik. "Apakah yang Ayah miliki terhadap Mama adalah cinta? Ayah selalu merendahkan Mama dengan pembicaraan Ayah yang berat. Ayah tak pernah peduli dengan apa yang dikerjakan Mama. Itukah yang Ayah maksud dengan cinta dan tanggung jawab? Dan ketika aku menemukan Mama di kamar mandi....."

"Cukup, Bel! Ini tidak membicarakan Ayah!" bentak August marah. "Almarhumah ibumu tidak pernah berusaha membahagiakan ayahmu, kau tahu? Bahkan dengan dia membunuh diri, dia membuatmu jadi introvert dan trauma...."

"Mama membunuh diri karena sifat Ayah yang posesif dan tak pernah menghargainya!" teriak Abel tersinggung. "Dan orang yang dua kali gagal dalam perkawinan, mengatur perkawinanku seenak jidat seperti ini? Oh, Ayah, sebaiknya aku pulang saja!" Abel hendak bangkit sampai akhirnya berkata,

"Dia akan menceraikanmu begitu dia pulang," sergah ayahnya datar. "Dan penjualan klinik Ayah sedang berproses. Begitu terjual, Ayah akan mengembalikan uang yang diberikannya pada Charles."

"Uang yang Ayah berikan padanya takkan cukup untuk mengembalikan utang Charles," sahut Abel murung. "Jika benar yang dikatakan Ayah tentangnya, bahwa dia akan mengusirku, aku akan menunggu, tapi aku takkan mengajukan cerai duluan."

"Kenapa, Abel? Kenapa kau senaif ini?"

Abel menggeleng sedih. Dia berusaha-amat sangat berusaha untuk memaafkan Moreno. Dia benci pada fakta Moreno mengkhianatinya. Dia tidak bisa menerima banyak wanita yang gandrung pada suaminya.

Tapi membiarkan Moreno dimiliki perempuan lain? Mengapa Abel sulit bahkan dengan membayangkannya saja?


**


Di bawah paparan sinar matahari, dia hanya mengenakan kaos putih Polo dan celana selutut, Moreno mengemudikan Lamborghini Aventador dengan atap yang terbuka ke suatu tempat. Los Angeles bukan tempat yang asing baginya sejak dia kuliah di Stanford University yang juga berlokasi di California.

Adrian tahu ada yang salah dengan Moreno sejak mereka menjajakkan kaki mereka di LAX. Moreno bisa saja berlagak seakan 'everything's fine' tapi di balik kacamata hitam hasil desain Tom Ford-nya, Moreno menyembunyikan sesuatu. Dia orang yang sanguinis, dan hari ini dia lebih banyak diam dan yang pasti bukan karena dia sedang mengingat jalan. Los Angeles sudah seperti rumah kedua setelah Jakarta bagi Moreno. Dan orang yang sudah punya mobil mewah di Amerika, tidak punya alasan untuk pundung, kan?

Adrian menegurnya, apa yang salah dengan Moreno.

"Ayah mertua gue minta seperation," jawab Moreno pelan. "Gue sedang mempertimbangkannya."

"Sejak kapan lo mikirin mertua lo?"

Moreno mendesis, mengutuk Adrian yang terlalu mengenalnya. "Gue rasa sekarang bokap mertua gue melakukan hal yang benar. Memisahkan anaknya dari bajingan kayak gue." Dihelanya napas panjang. "Tau part terburuknya? Ayah mertua gue sedang menjual kliniknya untuk membayar utang Charles."

"That's impossible." Adrian menanggapi dengan nada tak percaya. Bagaimana tidak. Dia juga dulu salah satu pelanggan setia CJ Casino. Dan dia juga tahu kisaran utang Charles mengingat hubungannya sempat dekat dengan Charles. "Sepertinya kalau bukan orang yang doyan masuk Forbes takkan bisa mengganti utang Charles."

"Bukan masalah Forbes atau tidaknya, tapi kebencian ayah mertua gue terhadap gue udah nggak ketolong lagi," Moreno menghela napas berat. "Gue juga merasa buruk terhadap Abel."

"Kenapa tidak mencoba menghadapi bokap mertua lo dan berunding, Ren? Gue rasa meyakinkan orang bukan sesuatu yang sulit buat lo."

Moreno tidak menjawab.

Beberapa menit kemudian, Adrian menegur, "Ren? Lo nggak nyerah sama perkawinan lo, kan, hanya karena bokap mertua lo minta kalian cerai?" Dan Moreno semakin enggan untuk menjawab. Adrian mendengus jengkel. "Damn, Ren, sejak kapan lo jadi ciut begini?!"

"Ini berat banget buat gue, Dri," kata Moreno terus terang. "Sejak nikah Abel nggak pernah benar-benar bahagia. Gue selalu nuntut ini-itu. Dia nggak pernah cocok sama kehidupan gue. Kita nggak bisa akur dalam arti sebenarnya, dan gue udah selingkuh. Dia nggak happy, gue juga nggak. Kenapa harus meneruskan pernikahan yang hanya menyesakkan dada saja?"

"Brengsek, Ren, kalo kehidupan gue match sama Wina gue udah cerai dari dulu! Wina yang nggak ngerti apa-apa sama bisnis, sementara gue menggantungkan hidup gue di bidang ini. Kenapa lo jadi nyerah gini sih?"

"Gue nggak bisa mikir apa-apa, Dri." Dan Moreno hanya mengangkat bahu dengan pasrah. Dirasakannya getaran di pahanya. Ini yang keempat puluh satu, batinnya. Abel meneleponnya terus dan tak ada satu pun yang diangkatnya.

"Just pick up the phone, Ren," kata Adrian.

Tidak semudah itu.

Untuk pertama kalinya, Moreno tidak tahu apa yang akan dilakukan atau dikatakan istrinya. Apakah istrinya meneleponnya untuk meminta tidak dicerai? Atau... sebaliknya? Abel pasti mempertimbangkan juga apa yang diminta ayahnya setelah banyak luka yang ditorehkan Moreno padanya.

"Pick up the phone," perintah Adrian dengan tekanan dalam intonasi suaranya. "Atau gue bakalan berhenti merging sama perusahaan lo."

Moreno mendengus sampai akhirnya dia mengangkat telepon istrinya. Ditepikannya mobilnya di Cross Creek Rd. "Iya, Sayang."

"Aku tidak akan membuatmu bahagia setelah apa yang kau lakukan padaku!" Belum apa-apa istrinya sudah berteriak di seberang sana. Moreno menjauhkan ponselnya dari telinganya, dan membisiki Adrian. "Dri, maaf banget.... By the way, kue di Chocolatebox enak banget." Moreno menunjuk dengan dagunya ke arah kafe di seberangnya. Adrian pamit dan memberikan senyum semangat.

"Ada apa lagi?" tanya Moreno bingung.

"Kau... Kau mempertimbangkan perintah ayahku agar kau bisa lepas dariku, kan? Agar kau bisa bersenang-senang dengan perempuan lain, hah?"

"Kau sudah bertemu dengan Ayah, ya," gumam Moreno pasrah, menyandarkan punggungnya ke kursi mobil yang dilapisi kulit. Sejak istrinya tahu dia berkhianat, sikap Abel memang lebih galak padanya, dan Moreno tidak kekuatan untuk melawan. "Abel, sepertinya kau salah paham di sini. Justru aku ingin membebaskanmu dari penderitaan yang kulemparkan padamu selama ini, Bella."

"Setelah pekerjaanmu selesai, pulanglah, Reno," kata istrinya. "Banyak sekali yang harus dibicarakan. Dan yang jelas tidak melalui telepon."

"Malam ini setelah peluncuran aku akan off ke Jakarta, semoga masih sempat ke restoranmu." Dan klik. Moreno tidak tahu harus bicara apa-apa lagi. Bahkan, dia tidak mau membayangkan apa yang akan dihadapinya nanti.

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang