TIGA PULUH TIGA

1.7K 103 4
                                    

Sejak di perjalanan Moreno dapat merasakan sesuatu yang salah dalam istrinya. Istrinya diam saja sampai mereka di kamar. Tepatnya, mereka berdua diam terbuai dalam pikiran masing-masing.

Diamnya istrinya bukan hanya karena kelelahan saja. Jika diulas kembali, Moreno dapat melihat mata istrinya yang menyipit, melebar, dan kembali normal selama makan malam tadi. Moreno tidak tahu mengenai kenangan yang dimiliki Abel dan Kak Satria, tapi dia tahu banyak hal yang mengingatkan istrinya pada adik seayahnya itu.

Moreno baru menyadari istrinya tidak mendengarkannya ketika dia sedang melepaskan kaitan dasinya. Entah apa yang dilamunkan istrinya di depan kaca rias. Moreno menghampirinya, membungkuk di belakang istrinya, mengecup lehernya yang jenjang. "What's wrong," bisiknya lembut sambil membenamkan wajahnya di leher istrinya.

"Kusadari aku punya andil yang cukup besar juga untuk merusak rumah tangga ini. Aku belum sepenuhnya move on dari adikmu," Abel tiba-tiba mengangkat masalah yang sensitif itu.

Moreno menarik kepalanya dan menatap istrinya dalam kebingungan. "Aku tidak mengerti," sahutnya berlagak polos.

"Rupanya aku terlalu terbuai dengan masa laluku, Reno. Itulah masalahnya." Abel membalikkan tubuhnya, menghadap Moreno. "Jujur aku tak punya perasaan apa-apa lagi terhadap almarhum adikmu, Reno. Aku bahkan tahu aku tidak pernah mencintai adikmu."

"Kau tidak pernah mencintainya?"

Abel mengangguk. "Itu hanya perasaan yang kuberi nama dengan cinta. Tapi apakah dulu aku merindukan adikmu saat aku tidak bertemu dengannya di sekolah? Tidak. Apakah aku marah karena dia bersama gadis lain? Tidak, itu hanya perasaan iri karena aku tak punya teman lagi selain adikmu. Perasaan itu tidak sama seperti perasaanku padamu, Ren." Abel menggeleng tegas. "Sama sekali tidak sama."

"Selama ini kau memimpikannya, Bella," Moreno mengingatkan. "Kau memikirkannya. Kau merasa bersalah tidak melakukan apa yang seharusnya kau lakukan dulu saat dia hidup. Apakah itu bukan cinta?"

"Setelah dia pergi aku bertemu dengan Oscar dan kau, Moreno. Setengah diriku bahagia ketika mereka pergi—aku membenci diriku dengan berbahagia atas perginya mereka, tapi aku sangat bersyukur bisa memilikimu." Terlepas sifat bajingannya, Moreno lelaki yang nyaris sempurna. Tak ada alasan untuk Abel untuk tidak mencintai suaminya. "Kupikir, selama ini Tuhan mengingatkanku pada Kak Satria karena dia... Dia masih hidup, Reno." Suara Abel memekik pelan.

"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

"Aku merasa ada yang salah dengan Jonas Murti," tutur Abel terus terang. "Kau bisa bilang aku berhalusinasi atau berkhayal, tapi semua yang ada di dalam diri Jonas mengingatkanku pada Satria. Rasa makanannya, caranya menatap Papa dan Tante Dilla...... Caranya dia menatapku, caranya dia menatap semua orang!"

"Kau ingin aku menyelidikinya dan membuktikan bahwa dia Satria, Bella?"

Abel menatap Moreno dengan kaget kemudian menggeleng. "Aku tidak mau membuatmu sedih, Reno. Sudahlah, lupakan saja mengenai pembicaraan ini. Aku melantur."

"Tidak, kau sama sekali tidak melantur," elak Moreno. "Aku pun juga merasakan kehadiran Satria saat Jonas Murti di rumah Papa tadi." 

"Kau tidak apa-apa?"

"Aku akan melakukan apapun untuk menghilangkan kegelisahanmu, kegelisahan kita berdua." Moreno tertawa dan pergi ke kamar mandi. Ini malam yang besar bagi Moreno mengingat ini pertama kalinya dia menghabiskan waktu bersenang-senang bersama ayah serta kakek di ruangan yang sama. Dan ini juga pertama kalinya kedatangan Kakek Sasmito tidak membuat Abel risih dengan sikap Kakek yang parlente itu.

Tak lama kemudian suara shower terdengar samar-samar ke kamar tidur. Selama Moreno mandi—Abel berusaha tidak membayangkan suaminya yang telanjang di bawah pancuran shower—Abel melepaskan semua kaitan di bajunya dan menarik napas lega. Pakaian itu menyesakkannya dan dia terkejut menyadari perutnya yang mulai membesar di pantulan kaca.

Baru beberapa minggu dan sudah gemuk? Atau, lebih dari itu? Abel tidak yakin. Besok dari restoran dia akan ke RS untuk memeriksa keadaannya. Bergegas dia memakai piyama kimononya dan merebahkan dirinya di atas tempat tidur.

Dia tidak tahu sudah berapa lama matanya terpejam. Sentuhan di pipinya dapat dirasakannya. Bukan hanya itu, dia juga dapat merasakan tatapan yang menjurus padanya. Moreno pasti tengah menatapnya, dan Abel memilih untuk diam saja.

Bayangan itu... Bayangan di mana Moreno bersama Karina menelusuk benak Abel. Dia menjadi tidak tenang. Kesedihan itu menyerang hatinya lagi.

"Aku tidak akan bisa melepasmu, Asha Bella." Terdengar suara berat Moreno di dekatnya. Abel merasakan deru napas Moreno yang mengipas wajahnya. "Asal kau tahu, aku tidak pernah benar-benar menginginkan perempuan lain. Entahlah apa yang terjadi padaku saat aku mengkhianatimu. Aku tahu sampai kapan pun kau takkan bisa memaafkan aku, tapi aku takkan pernah menyerah untuk membuatmu terbiasa denganku terus, Abel."

Perlahan Abel membuka matanya. Dia menggigit bibirnya dan menjawab dengan lirih, "Aku tidak bisa berjanji akan meneruskan pernikahan ini lagi, Moreno."

"I fucked up. I know." Moreno menarik tangannya dan telentang membelakangi istrinya. Dia mendengar suara isakan di kamar. Tidak yakin itu suara isakan istrinya atau dirinya.


Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang