SEMBILAN

2.7K 210 16
                                    

"Loh, kalian tidak jadi melihat restoran baru Abel?" Marie mengernyitkan dahi ketika menyambut kedatangan Moreno dan Abel di ruang tengah. Dilihatnya wajah Abel yang pucat. "Oh, darling. Are you okay? You look pale."

Moreno yang merangkul Abel mengecup dahi samping istrinya. "Tadinya aku mau mengajak Abel ke restoran, tapi dia tertidur. Entahlah, Marie, badannya tidak panas."

Mungkin bukan tubuhnya yang sakit, tapi jiwanya. Kembali ke rumah dan ada Moreno di dalamnya membuat Abel sakit kepala. Untuk saat ini dia ingin sendiri saja, menikmati teh hangat bersama Marie. Biasanya perbincangannya dengan Marie menghilangkan kebosanannya.

Suaminya bukan orang yang statis, diam saja di rumah. Dia pasti membutuhkan Abel untuk membicarakan apa saja. Dan itu benar. Moreno membimbing Abel ke lantai atas, mendudukinya di atas tempat tidur.

Dari tempat di mana dia duduk Abel dapat melihat Moreno yang menanggalkan kemejanya. Sempat dia mengira Moreno menggodanya seperti biasa. Tapi, tidak. Moreno langsung ke kamar mandi dan suara banjuran shower terdengar.

Abel menoleh ke kaca yang menggantung di pintu lemari. Oh, tidak, pantas saja Moreno tidak tertarik untuk tidur dengannya. Wajahnya sudah seperti orang mati saja. Padahal sebelum pergi tadi dia memakai make up walaupun tipis.

Selama Moreno di kamar mandi Abel meluangkan waktunya untuk mengganti bajunya dengan piyama. Dia ngantuk sekali meski sudah tidur selama satu setengah jam di mobil. Ditutupnya tirai kamar hingga menimbulkan suasana remang di kamar.

"Aku tidak mau membahas Satria lagi, Asha Bella." Suara Moreno menggelegar di belakangnya. Abel menoleh. "Banyak hal yang berguna yang bisa kau lakukan, dan yang jelas tidak dengan memikirkan Kakak Satria yang sudah mati."

"Hal berguna seperti apa, Moreno? Kau baru mengizinkanku bekerja sekarang," kata Abel bingung.

"Kau bisa belajar bersosialisasi dengan teman-temanku. Atau, jika kau masih merasa tidak 'nyaman', kau bisa mengunjungi ibuku. Dia suka bergaul dan arisan dengan teman-temannya." Moreno terdiam. "Setidaknya, Bel, aku tidak perlu menjelaskan siapa istriku. Dengan kau bersosialisasi teman-temanku tahu siapa istriku!"

"Apakah sulit untuk mendeskripsikan diriku?"

"Kau tidak tahu apa yang dikatakan mereka tentangmu, bukan, tentang kita di luaran." Moreno menarik napas panjang sekali. "Aku muak sekali mendengar pendapat mereka yang mengatakan kau berada di rumah dan belum bisa memberiku anak!"

"Voilà le problème-Jadi, itu masalahnya," desah Abel pedih. "Ini masalah anak yang tidak bisa aku berikan untukmu, iya kan? Kau bilang itu bukan masalah lagi bagi kita, tapi nyatanya...."

"Oh tolonglah, Abel, aku sudah bosan mendengar nada sedihmu itu!" geram Moreno. "Kebanyakan orang berpikir 'memiliki anak' adalah sebuah keharusan, Asha Bella. Kita harus memiliki keturunan yang bisa meneruskan usaha bisnisku!"

"Kukira kau tidak berpikir sampai situ." Tentu saja! Mengapa Abel tidak pernah memikirkannya? Moreno yang sudah langganan masuk Forbes tidak mungkin tidak menghendaki seorang anak untuk meneruskan kejayaannya. "Kita sudah mencoba yang terbaik, Moreno. Kita hanya perlu menunggu."

"Oh ya? Sampai kapan? Sampai umur kau empat puluh dan tidak sanggup untuk melahirkan anak?" Moreno menggeleng kesal. "Oh, tidak, Bel, aku tidak akan mengizinkanmu melahirkan di usia setua itu!"

"Anak itu anugrah, Moreno, dan akan datang di saat yang tepat. Barangkali ada alasan yang baik kenapa kita belum memilikinya."

"Karena kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu di dapur dan memikirkan Satria serta kesejahteraan kakakmu yang bahkan tidak peduli padamu!" Kakakmu yang menyerahkan dirimu padaku untuk melunasi utang-utangnya.


Flashback

"Apakah itu adikmu, Charles?"

Dagu Moreno menunjuk pada perempuan yang baru memasuki kedai. Perempuan itu disapa oleh semua pegawai di kedai itu. Dan ketika perempuan itu tersenyum.... Moreno tahu siapa dia. Hanya dia yang memiliki senyuman semanis dan setulus itu, meski dulu Moreno hanya melihat senyuman itu dari kejauhan.

Charles menoleh dan mengangguk pada Moreno. "Ya, dia adikku. Bagaimana kau bisa tahu?"

"Dunia memang kecil, Charles." Moreno tertawa. "Mungkin dia sudah lupa padaku. Dia pernah menjadi adik kelasku di Indonesia."

"Benarkah? Kau ingin aku memanggilnya?"

"Tidak, tidak perlu." Moreno menggeleng. "Akan sangat sakit jika dia tidak mengingatku. Hm, sepertinya dia disenangi dengan semua karyawan kedai ini."

"Dia yang membuat semua resep di kedai ini. Selain itu, dia juga pintar mengatur bisnis yang aku berikan. Dua tahun setelah kedai ini didirikan, banyak pelanggan yang datang. Dia memasarkannya melalui promosi ke mana-mana. Melalui blog, Friendster, Facebook, dan panti asuhan yang dia sering kunjungi dengan Marie. Dia sangat bertanggung jawab dengan apa yang kuberikan."

"Dia memang... wanita yang sangat cerdas," desis Moreno. "Aku pernah berargumen dengannya dulu. Satu-satunya orang yang berani kurang ajar padaku."

"Kau menyukainya?" Charles tertawa kecil. "Bermimpilah, Lex. Kau bukan tipenya. Dia mencari laki-laki yang baik."

Moreno mengangkat satu alisnya. "Benarkah? Kau mau taruhan?" Moreno tersenyum yang tak bisa diartikan oleh Charles. "Aku akan membantumu, membayar semua utang-utangmu, bahkan kalau perlu lebih banyak. Asalkan..." Moreno menunggu beberapa waktu untuk mengatakannya. Sebelumnya, dia mengambil penanya dari jaketnya, dan menulis sesuatu di selembar tisu. "Berikan ini padanya. Aku ingin dia menemuiku di rumahku di Jakarta. Kalau pada tanggal itu aku belum menemuinya, bermimpilah untuk menyelamatkan kedai adikmu, Charles."

Sengaja Moreno memberikan alamat rumah lamanya. Dia ingin tahu, apakah Abel benar-benar mencari Alex Danishwara untuk menolong kakaknya. Dan jika Abel belum bisa menemukannya pada hari yang ditentukan, Moreno akan memikirkan cara lain.

Moreno tidak takut dengan Charles meski si pemilik judi itu lebih berkuasa darinya. Charles hanya memiliki kekuasaan di Paris. Dan lebih tepatnya, Moreno tidak pernah takut pada siapapun, termasuk pada Charles, si pengusaha yang terlibat utang.

Charles menggetakkan giginya. "Kau.... Memerasku? Dengan mempermainkan adikku?" Charles membuang muka.

"Apa kau punya pilihan lain, Charles?" sahut Moreno santai. "Aku hanya terlalu menginginkan adikmu saja, kurasa."

Charles menatapnya dengan tajam. "Kau berjanji tidak akan melakukan apa-apa padanya?"

"Aku hanya melakukannya jika dia menginginkannya juga, Charles."

"Allez au diable!" Pergilah ke neraka.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya kau membuatnya datang ke rumahku." Itu keputusan akhir Moreno. Dia bangkit dari duduknya. "Kalau dia datang lebih cepat, aku akan menambahkan jumlah uang yang aku janjikan sebelumnya. Bagaimana?"

Tawaran itu terlalu menggiurkan untuk ditolak. Lagipula Charles sudah banyak berbuat baik pada Abel. Apalagi niat Charles baik, untuk mencegah kehancuran keluarganya.

Dan Charles mengangguk perlahan.

"Oh ya, satu lagi. Jika Abel tidak kembali ke sini, kau harus mencari orang lain untuk menggantikannya. Jika kau memiliki masalah, hubungi saja aku. Aku akan memberimu penggantinya. Anggap saja itu bonus dari amal yang kuberikan padamu."


** Semoga kalian suka cerita ini **

Ketidaksetiaan Pak Direktur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang