"Ayah mau golf kahh??" Tanya Lingga ketika menuruni tangga sudah mendapati Ayah membawa stick golf. Diikuti oleh para body guard setianya itu.
"Aku mau ikuuuutttt. Tunggu sebentar aku ganti baju dulu" lanjut Lingga memutar badan.
Beberapa saat kemudian dirinya telah siap bersama ayahnya menaiki mobil golf pribadi. Cuaca sangat cerah, untung saja Lingga membawa topi pagi ini.
"Memangnya kamu masih bisa main golf? Kamu kan sudah lama tidak menemani ayah bermain golf" ujar ayah santai.
"Huh" tangan Lingga melambai seolah menampar angin. Wajahnya menjawab seolah - olah golf adalah hal yang enteng baginya.
"Nih aku buktikan kalau aku masih bisa. Biar aku duluan."
Lingga mengambil ancang - ancang. Lengannya mengayun bersamaan dengan bola golf yang melambung namun melenceng cukup jauh. Sontak saja itu membuat ayahnya tertawa.
Tanpa harus Lingga menjawab lagi, ayahnya sudah tahu jika gadis ini sedikit lupa dengan teknik memukul golf.
"Not bad!" Ucap Lingga saat menyadari ayahnya tertawa.
"Bukan begitu caranya, sini ayah contohkan"
Ayah mengambil alih posisi Lingga. Beliau melakukan beberapa pukulan sampai Lingga paham dan mengerti dimana letak kesalahannya.
Ayah dan anak itu kini menikmati waktu mereka berdua. Lingga selalu berhasil mengambil hati ayahnya. Gadis itu satu - satunya yang dapat membuat hari Ayahnya berwarna sekalipun hanya ada hitam dan putih.
Ayah selalu saja senang melihat Lingga yang dapat mengendalikan diri seperti ini. Hangat dan penuh cinta. Sejak kecil, dia selalu memiliki sisi itu. Meski dirinya tidak pernah mendapatkan hal yang sama dari kedua orang tuanya. Nasib baik tidak memihak dirinya.
"Apa ayah tidak kesepian?" mobil golf melaju sedang. membawa dua penumpang, Ayah dan anak yang sudah lelah bermain golf tersebut. "rumah sebesar itu, setiap hari isinya hanya pelayan?"
Lingga mengamati wajah ayahnya yang mulai keriput. entah sejak kapan garis itu muncul. mata milik ayahnya mirip sekali dengan miliknya. tidak belo dan tidak cipit. sedang.
"Kenapa kamu tanya gitu?"
"Ayah tampak menyedihkan" kalimat yang Lingga buat, selalu berhasil membuat ayahnya tertegun. untuk menyalahkan tak sanggup, dan membenarkan pun akan lebih menyakitkan.
"Menyedihkan bagaimana?"
"Yaaa.. ayah punya istri dan banyak anak, tapi ga ada yang dekat dengan ayah. Kemana - mana ayah selalu dengan mereka" Lingga menunjuk Bodyguard yang mengikuti ayah kemanapun. "Meski ayah tidak sendirian, ayah pasti merasakan sepi." Lanjut Lingga.
"Ketika kamu menjadi dewasa kemudian menua, kamu akan merasakannya." Ayah berucap lemah.
"Haha. Berati, aku tidak akan kesulitan jika hari itu tiba." Tawa Lingga begitu renyah.
Mendengar penuturan putrinya, membuat batih Ayah terasa nyeri. Ayah menyadari jika Lingga selalu merasakan kesepian seperti dirinya. Sedangkan beliau sendiri, tidak kuasa mengambil keputusan yang lebih agar tetap tinggal satu atap yang sama dengan putrinya itu.
Kehidupan dengan Ibunya Lingga sudah selesai, selesai dengan meninggalkan luka batin diantara keduanya. Siapa kira, luka batin itu menjelma pada diri seorang anak perempuan seperti Lingga. Tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih, namun dialah yang terpilih.
"Ayah, aku selalu merindukan mu" ucap Lingga ketika Ayahnya telah turun terlebih dahulu dari mobil golf.
Mendengar itu, Ayahnya hanya menoleh dan tersenyum getir. Lingga hanya menunduk mendapati jawaban itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lingga
Teen Fiction"masa iya anak SMA ngacak - ngacak pikiran gue?" ..... "Tolong saya sekali lagi dong pak, penguntit gila itu masih ngikutin saya. Please pak" tangannya mengatup dengan memohon agar pria itu membantunya lagi. "Oke! Sini ikut saya" Pria dewasa itu m...