Penjara

2K 77 0
                                    

Lingga🌞
Baru saja

Belajar! Selain membuat ku pintar, ini juga membuat ku gila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belajar! Selain membuat ku pintar, ini juga membuat ku gila

^
Balas

****

Berkutat terus menerus dengan buku, hari - hari mempelajari materi yang tidak sedikit, mengerjakan tugas demi tugas yang tak berakhir, membuat Lingga kewalahan.

Dia tidak sempat menenangkan dirinya sendiri. Berdebat dengan ibu tirinya, beradu argumen dengan ayahnya perkara Lingga yang mulai jengah dengan kehidupannya.

Ia menyisir rambutnya yang mulai panjang. Melihat pantulan dirinya sendiri di kaca, ia mengasihani keadaannya. Tidak ada gairah hidup.

"Lihat diri lo sendiri Ling, gw kasihan sama hidup lo!"

Tok tok tok!

Suara halus ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

"Iya?" Ucapnya lemah.

"Bu Indi Maretha sudah datang, mba" ucap pelayan yang di khususkan untuk memperhatikan setiap kebutuhan Lingga.

"Iya sebentar."

Lingga mengambil buku yang dirinya butuhkan. Indi Maretha adalah gurunya di SMA Gloria. Masih muda namun tegas. Tidak segan - segan memberi hukuman kepada Lingga jika tidak menurut dengannya.

Seseorang yang kerap kali di sapa Bu Indi, di minta oleh Ayahnya untuk memberikan materi tambahan bagi Lingga di setiap akhir pekan.

Lingga memperhatikan penjelasan Indi dengan seksama. Meski dirinya benar - benar merasa lelah saat ini, dia tetap memperhatikan penjelasannya.

Kini Bu Indi memberikan tugas kepada Lingga. Tugas yang diberikan adalah materi yang baru saja beliau sampaikan.

Ia berusaha untuk mengerjakan, namun kepalanya terasa berat sebelah. Sampai - sampai tangannya ikut menyangga. Darah segar mengalir dari hidung Lingga menetes pada bukunya.

Dia mengelap darah itu dengan tangannya. Terlalu menforsir dirinya untuk belajar, Lingga sampai mengabaikan sakit pada tubuhnya.

"Bu, apa boleh belajarnya selesai sekarang? Saya sakit" ucap Lingga lemah.

"Iya iya.. kamu harus istirahat, hidung kamu mimisan. Oke baik kita belajarnya sampai disini saja."

Ucapnya kemudian Lingga melangkahkan kakinya kembali kedalam kamar. Namun langkahnya di cegat oleh Ibu Tirinya.

"Kenapa belajarnya selesai?"

"Aku sakit te,"

"Sakit apa kamu? Bohongkan pasti?"

"Aku pusing"

"Baru juga pusing sedikit langsung ngeluh. Itu pasti akal - akalan kamu aja kan? Saya akan laporkan ke ayah mu. Biar tahu kelakuan anaknya!"

Lingga memejamkan mata. Sedangkan ibu tirinya terus saja mengomel tak tahu arah.

"Kamu itu sudah tahu di untung, ayah mu masih mau merawat mu! Bahkan ibu mu saja membuang mu! Dia tidak peduli dengan kamu. Kamu harus bersyukur dan tahu diri!"

Lingga meremas buku yang dia bawa.

"Kalau saya bisa ambil hati ayah mu sepenuhnya, saya pastikan agar ayah mu tidak perlu untuk mengurusi kamu lagi! Anak ga tahu diri."

"Tahu ngga kamu itu anak yang tidak pernah di harapkan sama ayah mu? Atau setidaknya kamu tahu bahwa kamu adalah anak yang kehadirannya di sesali oleh ayah mu?"

Semua yang dikatakan oleh ibu tirinya adalah benar. Lingga anak yang tidak tahu di untung, Lingga adalah anak yang tidak tahu diri, Lingga adalah anak yang tidak di harapkan, dan Lingga adalah anak yang tidak diinginkan kehadirannya.

Lalu apa yang perlu Lingga lakukan? Apakah Lingga mengharapkan untuk dilahirkan seperti ini? Tentu tidak.

Lingga tidak pernah mengharapkan ini semua.

"Aaaaaakkkkkhhhhhhh!!"

Lingga menjambak rambutnya sendiri. Dengan kedua tangannya. Lingga saat ini tidak mampu mengontrol dirinya. Ia marah dengan segala yang ada dalam dirinya.

Seprai, bantal, dan selimut berserakan. Skincare miliknya dia lempar kesembarang arah. Semua yang ada di meja riasnya berjatuhan.

Ya kini Lingga meluapkan amarahnya di dalam kamar pribadinya.

Dia menangis sejadinya. Nafasnya bahkan sudah tidak beraturan.

"KENAPA HARUS GW?? HIKS?"

"GW BENCI SAMA DIRI GW SENDIRI, HIKS!! HHHHAAAAAAAA!!!"

Lingga mengambil obat di dalam lacinya. Ia meminum satu obat untuk menetralkan emosinya. Tak butuh waktu lama, dengan sisa tangisnya, Lingga memejamkan mata.

Pikirannya kalut. Rasa sakit pada kepalanya tidak mereda sedikitpun. Kepalanya sangat ingin meledak saat ini.

Lingga tertidur dilantai kamarnya yang berantakan.

***

"Harusnya lo bahagia sekarang, akhirnya keinginan lo buat tinggal di rumah ini kesampaian juga." Ucap Dea yang berdiri di balkon sebelah milik Lingga.

Setiap kamar memiliki balkon sendiri. Dan Lingga terduduk menyendiri disepertiga malam terakhir. Mata sembabnya menandakan dia sedang tidak baik - baik saja.

"Dan harus kehilangan orang yang gw sayang? Di tambah lagi dia akan menikah dengan kakak tiri gw sendiri?Apa bisa gw bahagia?" Ucap Lingga getir.

"Lo yang seharusnya bahagia, lo akan menikah dengan pria yang sebaik Aksara. Bahkan gw sendiri ga bisa dapetin dia." Tambah Lingga.

"Bahagia dengan Aksara yang setiap saat, di pikirannya cuma ada elo? Apa lo kira gw akan bahagia dengan dia?" Tanya Dea dengan nada yang sama seperti Lingga.

"Bahkan gw juga sama kehilangannya kayak elo. Gw akan kehilangan orang yang gw sayang. Bedanya, gw yang ninggalin. Apa berhak gw bahagia Ling?" Tambah Dea.

"Kenapa lo ngga bilang ke ayah, kalo elo udah punya orang yang lo sayang? Dan malah milih untuk nerima perjodohan itu?" Tanya Lingga.

"Apa mungkin akan di dengar? Kalau anak kandungnya sendiri bahkan tidak diperdulikan perasaannya, apalagi gw yang anak tiri?" Jawabnya.

Mereka kini termenung. Meratapi kisah mereka sendiri - sendiri. Iri diantara keduanya kini bahkan tidak ada artinya. Mereka sama - sama saling merasa kehilangan. Korban atas ego manusia yang mendominasi diri mereka.

Jikalau diingkari, maka dikatakan sebagai durhaka. Padahal sejatinya, sama manusianya. Meski kedua orang tua yang menjadikan mereka manusia. Ego orang tua, sulit dikalahkan. Sekuat apapun upaya untuk mengalahkan, mereka pemenangnya.

****

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang