Harapan Ku

1.9K 77 0
                                    

Sepulang sekolah kini Lingga berserta kedua sahabatnya, berjalan beriringan di koridor. Mereka sesekali bergurau mengenai sesuatu hal yang menggelikan.

"Ling, story lo sekarang ga jelas banget sih gw lihat - lihat. Biasanya aestetik. Sekarang random banget." Ucap Hani.

"Kan emang biasanya gituu han. Kalo ga makanan ya kluyuran malem - malem." Ucap shenna.

"Nih, masa buat tutorial nyolong mangga, mana emoticon nya jambu lagi. Dahlah ling." Hani menunjukkan ponselnya kepada kedua sahabatnya itu.

"Moto nya lingga sekarang, 'suka suka Lingga mau ngapain' hahahaha" gelak tawa Shenna membuat mereka ikut tertawa.

Hani merasa janggal dengan kawannya. Lingga pasti sedang dalam masalah pikirnya. Namun apa yang dia bisa perbuat? Jika Lingga saja tidak berkenan untuk menceritakannya.

"Lo beneran ga papa kan Ling?" Tanya Hani memastikan.

"Ngga papa han. Gw mah sekarang kuat strong seperti semen 3 rodaaa. Hehe" jawabnya bergurau.

Meskipun tawa Lingga tulus, itu tak mengurangi rasa curiga dihati kedua kawannya.

"Itu bodyguard elo bukan si ling?" Shenna teralihkan pada topik pembicaraan.

Setiap kali keluarga Lingga meminta Lingga datang kerumah pasti mengutus seorang bodyguard. Sedangkan hari ini Lingga telah ditunggu 2 orang bodyguard langsung. Perempuan dan laki - laki.

"Ah elaaahh. Ada apa lagi si. Heran gw, mana ada cewenya lagi. Ginikan mau kabur susah juga" ucap Lingga.

Kedua bodyguard yang mengetahui sosok Lingga, segera mendatanginya. Mereka sopan kepada Lingga. Meski dia tahu, jika Lingga lebih muda darinya. Apa boleh buat, jika memang mereka bekerja untuk ini.

"Kenapa lagi?" Tanya Lingga mulai jengah.

"Bapak mengutus kami untuk menjemput mba Lingga hari ini. Bapak yang memberikan perintah langsung." Ucap bodyguard perempuan yang dia tahu namanya Farah.

"Yayayayaaaaa.. huft. Terserah lo berdua. Gw lagi ga mood debat." Jawab Lingga Arogan.

"Maaf mba kunci motornya? Kata bapak, motonya mba Lingga sekalian di bawa kerumah" ucap bodyguard pria. Namanya Johan.

Lingga lantas memberikan kuncinya. Lalu ia naik kedalam mobil Alphard pribadinya. Farah mengekor pada Lingga. Dia duduk disamping supir. Sedangkan Johan mengendari vespanya.

****

Beberapa pelayan memasukkan koper berukuran besar kedalam rumah. Bersamaan dengan dirinya yang tiba di rumah. Lingga menyernyitkan dahi. Seperti mengenali koper itu.

"Loh? Kenapa barang - barang gw di bawa kesini semua?" Tanya Lingga menyadari terdapat gitar, koleksi tasnya, sepatu, beserta buku - buku miliknya.

"Kami hanya menjalankan tugas mba" ucap salah satu diantara mereka.

"Maksutnya?" Tanyanya.

"Kami diperintah bapak untuk membawa semua barang - barang mba Lingga kerumah."

"Lah?! Rumah gw disana bukan di sini! Cepat angkut langi bawa balik!"

Percuma Lingga mengatakan itu. Pasalnya mereka bekerja bukan untuk Lingga. Melainkan untuk Ayahnya. Jelas mereka akan lebih tunduk pada Ayah di bandingkan dirinya.

Lingga yang sudah merasa jengkel, mencari nomor seseorang yang dirasa dapat menjawab semua pertanyaan di dalam otaknya saat ini.

Ayah menerima telfonnya, lalu menanyakan ada apakah gerangan menelfon ayahnya.

Tanpa basa basi, Lingga melontarkan pertanyaan yang membuat dirinya kacau.

"Kenapa semua barang - barang ku dibawa kesini?"

"Mulai hari ini Kamu akan tinggal bersama Ayah." Ucapnya singkat.

"Kenapa baru sekarang?"

"Akan ayah jelaskan saat makan malam"

Tut tut tut.

Sambungan telefon mati. Lingga hanya memejamkan matanya membayangkan apa yang akan dirinya lalui nanti. Berpikir kemungkinan - kemungkinan apa yang akan ada kedepannya.

Dia menanti dengan gusar waktu makan malam. Dirinya mendudukan diri lebih cepat dibanding anggota keluarganya. Dia membutuhkan jawaban pasti untuk semua ini.

"Kenapa?" Tanya Lingga ditengah acara makan.

Dia pikir malam ini hanya akan dirinya dan keluarganya. Tapi Aksara hadir entah bagaimana ceritanya.

Muak dengan segala pemikiran sendiri, Lingga memberhentikan topik pembicaraan mereka. Dia hanya perlu penyelesaian atas pikirannya.

"Apa yang kamu maksut?" Tanya ayah.

Memang, disaat Lingga akan meluapkan emosinya, hanya ayah yang akan menjawab. Mencegah dari adanya tindakan tak terduga darinya.

"Kenapa ayah minta aku tinggal di sini? Disaat ayah sudah berkali - kali menolaknya?"

"Bukankah harusnya kamu senang?"

"Kenapa?!" Tanya Lingga melampiaskan marah yang tertahan.

Ayah mengusap mulutnya dengan tisu. Nafasnya berhembus sampai terdengar di telinga.

"Ayah perlu mengontrol kamu karena kamu sebentar lagi akan lulus SMA. Ayah tidak mau kamu menjadi lulusan terburuk di Gloria. Ayah juga baru tahu, nilai kamu sangat buruk dan juga kamu sering absen. Mulai besok kamu harus bimbel setelah pulang sekolah. Kemudian ayah akan datangkan guru privat untuk mengisi waktu kamu di akhir pekan." Ucapnya panjang serta tegas.

"Apa ayah peduli jika aku menjadi yang terburuk?" Tanyanya disertai smirk.

"Ah tentu ayah sangat peduli. Tapi hanya itu yang ayah pedulikan." Lanjutnya.

Aksara menamatkan setiap ekspresi yang muncul pada wajah Lingga. Dia tertegun atas sosok lain dalam dirinya. Wajah ceria yang sering di temui, seperti tidak pernah tercipta disana.

Wiratama yang disegani semua orang, bahkan harus bersusah payah membuat anaknya menyegani dirinya.

Kehadiran Aksara di sini adalah atas permintaannya sendiri. Ia ingin melihat apakah Wiratama melakukan syarat darinya. Dengan begitu, Aksara akan menerima perjodohannya dengan Dea.

"Aku selesai makan. Mana kunci motor ku?" Ucap Lingga lebih santai dari sebelumnya.

"Duduk" ucap tegas Wiratama.

"Mana?!" Ucap Lingga dengan nada naik 1 oktaf.

"Ayah bilang duduk, duduk!" Bentak Wiratama. Yang diikuti oleh Lingga.

"Tetap tinggal di sini, ikuti semua yang ayah katakan." Lanjut Wiratama.

Terdapat semburat amarah dari mata Lingga. Dia menyeruput minumannya kemudian berkata seraya menunjukkan senyum yang tidak dapat diartikan itu.

"Yaa! Dengan senang hati!" Lingga mengangkat gelasnya.

Matanya melirik dimana Aksara berada. Mata mereka saling bertemu. Senyum Lingga terlihat manis dimata Aksara. Namun entah, itu seperti bukan Lingga.

"Mari kita rayakan!"

Lingga membanting gelas kaca yang dia pegang. Ketika gelas itu pecah berserakan wajahnya menjadi lebih bahagia. Senyumnya bahkan merekah.

Tanpa berpamitan, dia melenggang pergi menaiki anak tangga.

Sedangkan Ayah menutup matanya untuk bersabar menghadapi kelakuan anaknya.

Sedangkan Aksara masih terkejut melihat sisi lain dari Lingga.

"Ini bukan kamu Ling"

****

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang