Cukup

2K 78 0
                                    

Lingga sudah datang sejak 30 menit yang lalu. Berhari - hari sudah dirinya mempersiapkan hari ini. Sudah dapat memastikan apa yang akan Aksara katakan. Hatinya patah bahkan sebelum melakukan apa - apa.

Lingga menyimpan masalah ini rapat. Bahkan kedua sahabatnya tidak mengerti akan permasalahan yang sedang dirinya hadapi. Ia berpikir akan menceritakan segalanya nanti disaat dia sudah siap berbagi.

"Hai, lama ga katemu mas Aksa. Gimana kabarnya?" Tanya Lingga saat seseorang yang ditunggunya Tiba.

Lama tak bertemu, tatapan pria itu sama seperti pertama mereka bertemu. Seperti tidak pernah saling mengenal. Lingga menyadari perbedaan itu hanya menanggapi dengan senyum. Dia tahu, hari ini akan tiba.

"Saya mau to the poin"

Kata 'saya' yang dia ucapkan membenarkan apa yang sedang di pikirkannya. Pria ini memilih untuk kembali kepada masa lalu.

"Aku udah pesanin nasi goreng hati. Sama mi-" ucap lingga terhenti.

"Saya ga butuh itu. Silahkan kamu makan atau bungkus, biar saya yang bayar."

Lingga menatap Aksara terkejut. Meski demikian, Lingga tetap memasang wajah cerianya.

"Mas?"

"Saya menerima perjodohan itu. Sebagai ucapan terimakasih atas kesempatan yang ayah kamu berikan kepada saya selama ini. Sedangkan Tentang perjanjian itu, semuanya selesai hari ini. Saya akan memperkenalkan Dea ke orang tua saya. Masalah bagaimana putusnya kita, saya akan jelaskan ke mereka, biarkan itu saya yang urus. Yang jelas saya tidak akan membuat nama kamu jelek di depan mereka."

"Berterimakasih dengan menikahi Kak Dea? Justru kalo kamu nikahin aku, kamu akan sangat berterimakasih kepada beliau. Aku anak kandungnya. Pasti Ayah akan sangat bahagia kalau anak kandungnya menikah dengan pria yang beliau idam - idamkan." Balas Lingga.

"Pak Tama hanya akan bahagia ketika saya menikahi anak tirinya yang sudah siap menikah di banding anak kandungnya yang masih punya banyak waktu mengejar cita - citanya."

Lingga tersenyum miris. Cita - cita? Sepertinya Lingga tidak memilikinya.

"Oke kalau itu mau kamu. Tapi ada yang ingin aku tanyakan"

Lingga menghentikan aktifitasnya memutar mutar sendok sejak tadi. Dia menatap lekat manik mata Aksara.

"Bagaimana dengan perasaan ku yang terlanjur tumbuh? Apakah aku tidak boleh meminta pertanggung jawaban?"

Aksara masih dalam mode tenang dan dingin.

"Sejak awal tidak ada kesepakatan untuk pertanggungjawaban atas tumbuhnya perasaan pada salah satu pihak. Itu urusan pribadi masing - masing"

Air mata Lingga seakan ingin menetes saat itu juga. Namun dia menahan sekuat tenaga.

"Ga ada di perjanjian emang, tapi apa kamu ga bisa tanya sama diri kamu sendiri? Bukannya kamu juga senang ketika kita bersama? Semua hal yang kita laluin akhir akhir ini, apa ngga ada yang berharga buat kamu?" Tanya Lingga bertubi - tubi.

"Tidak ada yang berarti dari semua yang kita lalui selama ini. Saya hanya melakukan sebagaimana seharusnya saya lakukan"

Lingga mengangguk. Dia tahu hari ini akan terjadi. Tidak dirinya sangka, akan sesakit ini.

"Oke. Selamat menjalani kehidupan yang baru" pungkas Lingga.

Aksara lantas pergi meninggalkan Lingga yang masih sibuk dengan makanan di depannya. Gadis itu bahkan seperti tidak merasakan sakit seperti halnya Aksara.

Setelah memasuki mobil, Aksara merasakan jantungnya berdenyut nyeri. Melihat Lingga yang mengikhlaskannya pergi begitu saja. Seolah dirinya menerima apapun keputusan Aksara.

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang