Sakit rasanya melihat Lingga lemah seperti ini. Matanya tertutup sayu. Bibirnya pucat. Aksara tak kuasa melihat gadis itu tak berdaya.
Aksara mengusap pipi Lingga yang masih hangat. Sedangkan sang pemilik terganggu tidurnya. Tangan Aksara terlalu dingin untuk menyentuhnya.
Lingga menggeliat. Ia mengerjapkan mata. Mendapati seseorang yang pernah mengisi kehidupannya sebelum memilih pergi. "Mas Aksara" gumamnya pelan.
"Iya ini aku Ling." Ucap Aksara.
Tak butuh waktu lama. Dia tertidur lagi. Bahkan dalam keadaan seperti ini Lingga masih mengingat dirinya. Hati Aksara semakin berdenyut tak karuan.
****
Lingga sudah terbangun sejak 1 jam yang lalu. Dia mendapati Aksara telah duduk di sofa dekat ranjangnya. Padahal saat ini telah pukul 11 siang. Namun aksara masih berada disana.
Mimpinya di jenguk oleh pria itu ternyata benar adanya. Itu bukan mimpi. Kenyataan.
"Kenapa pak Aksara ga kerja? Dan malah disini?" Tanya Lingga serak.
"Kamu ga lihat saya di depan Ipad saya? Saya sedang kerja saat ini. Kamu kira saya ngapain?" Ucap Aksara dingin.
Lingga tidak berkenan untuk menjawab lagi. Kepalanya masih pusing. Ia hanya ingin ketenangan saat ini.
Tidak lama, perawat masuk kedalam ruangan membawa nampan berisikan makanan serta buah.
"Selamat siang Nona Lenggana. Saat ini waktunya makan siang lalu meminum obat" kata perawat itu.
Lingga masih tak bergeming. Sedangkan perawat itu sibuk membenai meja diatas brangkar sebagai tumpuan makanan beserta minuman untuk makan siangnya.
"Tadi pagi nona Lenggana tidak memakan kah? Obatnya juga tidak di minum?" Tanya perawat.
"Engga. Saya tidur tadi."
"Besok kalau belum sembuh, setelah bangun tidur tetap di minum ya nona, supaya nona cepat sembuh. Kalau tidak, maka akan semakin lama proses penyembuhan" ucap perawat.
"Untuk saat ini nona silahkan makan terlebih dahulu, kemudian jangan lupa minum obatnya. Saya izin pamit"
Kemudian perawat itu pergi meninggalkan Lingga. Sedangkan Lingga masih tak bergeming. Matanya masih tertuju pada layar televisi yang ada di ruangan.
Saat ini Lingga tidak berkenan untuk makan apapun. Napsunya hilang semenjak sakit.
Aksara yang melihat itu jengah, dia mengambil remot lalu mematikan paksa. Jelas itu dihadiahi tatapan tajam dari Lingga. Akan tetapi Lingga sedang tidak ingin berdebat.
Alhasil dia melirik telepon genggamnya di samping brankar. Mendapati Lingga melirik benda itu, secepat kilat Aksara mengambilnya terlebih dahulu.
"Pak Aksara kenapa si?!" Teriak Lingga dengan serak.
"Makan dulu"
"Kenapa pak aksara peduli sama saya? Mau saya ga makan, mau saya mati sekalipun pak Aksara ga perlu peduliin saya!."
"Saya hanya kasihan sama kamu. Hidup mu sudah sangat menderita, jadi jangan buat semakin menderita." Ucapnya.
Lingga memejamkan mata. Dia sakit setelah mendengar kalimat Aksara.
"Cepat makan!" Ucapnya menekan.
"Engga. Saya ngga mau makan"
"Lingga! Stop! Stop melakukan hal yang menarik perhatian semua orang, ga guna kamu ngelakuin ini! Lihat keluarga kamu ga ada yang peduli sama kamu! Jadi berhenti sekarang juga! Makan!"
Telinga Lingga seakan panas mendengar fakta itu. Tidak ada yang peduli dengannya. Tapi untuk menarik perhatian itu bukan Lingga.
Dia menyuapkan makanan kedalam mulutnya dengan kasar. Meski di dalam perutnya seakan terkoyak. Dengan susah payah dia menelan makanan. Meminum air dan menelan obatnya.
"Puas?" Tanya nya.
Lingga merebahkan dirinya lagi. Dia tak memperdulikan Aksara yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Pak Aksara bisa pergi dari sini? Saya muak Lihat anda di sini!" Ucap Lingga.
Kalimat yang Lingga ucapkan seakan kuat menghujam hati Aksara. Nyeri didadanya, namun bukan Aksara jika tidak berpendirian.
"Kamu sadar? Kalimat yang kamu sampaikan tadi seperti permohonan agar saya tidak meninggalkan mu?" Ucapnya kini berbalik menyentak Lingga.
Iya, itu yang Lingga inginkan. Bermain - main pada perasaan bukanlah yang dia inginkan. Tapi memang kenyataannya Lingga sangat ingin Aksara menemaninya. Dikala kedua sahabatnya pergi ke sekolah.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menghapus ketegangan diantara keduanya. Wanita dewasa yang sudah lama ridak pernah Lingga temui. "Permisi" ucapnya.
"Kak Renita?" Tanya Lingga.
Beliau adalah Psikolog yang menangani Lingga. Renita telah mengenal Lingga sejak dirinnya masih SMP. Saat itu pertama kali Lingga terganggu secara psikis. Dengan bantuan Psikiater, Renita membantu kesembuhan gadis ini.
"Hai Lingga. Lama tidak berjumpa. Kenapa ngga pernah menemui saya lagi?" Ucap nya setelah menyapa Aksara dan duduk di kursi dekat brangkar Lingga.
Sedangkan Lingga yang mendapat pertanyaan itu, hanya tersenyum. "Are you okey?" Tanyanya lagi.
"Yaa.. seperti biasanya. Masih sama"
Renita menaikkan alisnya. Seperti merasa janggal dengan ucapan serta ekspresi yang di tunjukkan Lingga. Secara ilmu, raut muka Lingga menunjukkan pesan yang berbeda dengan ucapannya.
"Lalu siapa pria ini? Apakah dia sean?" Tanyanya.
Sedangkan Aksara yang merasa dibicarakan hanya menatap wajah keduanya.
"Saya Aksara." Ucap aksara memperkenalkan diri. Dia melirik kearah Lingga, lalu melanjutkan ucapannya. "Teman Lingga"
"Saya juga temannya Lingga, Renita. Senang bertemu dengan mu." Ucapnya halus serta tegas. Senyumnya selalui menghiasi wajah manisnya.
"Apakah aku melewatkan banyak sekali cerita tentang kamu?" Tanyanya sekali lali memancing keberanian Lingga untuk bercerita.
Renita menduga, bahwa Lingga saat ini kehilangan rasa percaya diri untuk menyampaikan.
"Engga, ngga ada cerita yang menarik." Ucap Lingga membohongi.
Gelagat Lingga langsung terbaca, bahwa gadis ini telah membohonginya.
Lingga harus mengetahui fakta mengenai seseorang yang diajaknya berbicara terlebih dahulu, sebelum menceritakan fakta tentang dirinya.
"Oke, kalau begitu kamu yang kelewatan banyak cerita tentang saya."
Lingga menyernyitkan dahi.
Secepat mungkin, Renita langsung menunjukkan jari manisnya. Tersemat sebuah cincin. Yang dimana itu adalah cincin pernikahan.
"Menikah? Dengan siapa?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lingga
Teen Fiction"masa iya anak SMA ngacak - ngacak pikiran gue?" ..... "Tolong saya sekali lagi dong pak, penguntit gila itu masih ngikutin saya. Please pak" tangannya mengatup dengan memohon agar pria itu membantunya lagi. "Oke! Sini ikut saya" Pria dewasa itu m...