ssst!

2.4K 81 1
                                    

Seorang pria tengah menyandarkan bahu dan kepalanya pada sandaran kursi. Ia memejamkan mata karena merasa kepalanya pening setelah bekerja.

"Kalau mau masuk ruangan orang, ketok pintu dulu" ucapnya datar. Aksara menyadari ada seseorang yang masuk dalam ruangan kerjanya. "Ngertikan, Lingga?"

Aksara membuka mata dan mendapati gadis itu masih memegang handel pintu bagian dalam. Gadis itu berkeinginan untuk menutup pintu secara diam - diam. Namun Aksara justru memergokinya.

"K-kok pak aksara tahu ini saya? Padahal saya udah ga bersuara sama sekali loh" Lingga bertanya - tanya.

Aksara melanjutkan aktivitasnya lagi. Dan membiarkan gadis itu didalam ruangannya. Lingga langsung saja duduk didepan meja kerja Aksara.

"Pak? Kok bisa tahu dari mana? Bapak punya indera ke 6 ya?" Tanya Lingga menatap mata Aksara yang terpejam.

"Pertama, tidak ada satupun karyawan saya yang berani masuk ke ruangan saya tanpa izin saya. Kedua, gada satupun orang disini yang baunya sama kaya kamu"

"Haa?? S-saya bau badan kah pak? Bau banget kah?"

Aksara membuka matanya dan melihat gadis itu yang sedang menciumi ketiaknya. Mencoba mencari pembenaran atas apa yang dirinya katakan.

"Bau parfum."

Lingga merasa lega. Dirinya berpikir bau yang dikatakan oleh Aksara dalah bau badan. Ternyata bau parfum. Parfum yang dibeli dari merk ternama dan hanya beberapa saja. Parfum beraroma Rose Fresh favorit Lingga.

"Kamu ngapain kesini? Bukannya harusnya kamu masih di sekolah? Ini belum jam pulang sekolah, kan?" Tanya Aksara terus menerus.

"Saya?" Lingga tampak berpikir mencari alasan logis yang dapat dia gunakan. "Libur pak"

Aksara menaikkan alisnya sebelah. "Libur?"

"Tapi kenapa kamu pakai seragam?" Lanjutnya.

"Ahh begoooo!! Lupa kalo pake seragam kesini" batin Lingga.

"Meliburkan diri pak" aksara hendak menyemprot Lingga karena sering tidak masuk sekolah. Namun hal itu segera dirinya cegah dengan kembali bertanya. "Pak Aksara belum makan kan?"

Aksara menarik nafas berat. Sejujurnya dia juga belum makan juga setelah sarapan. Dia berpikir akan membeli makanan nanti jika sudah berkenan makan.

"Pasti belum kalau diam gini."

Lingga mengeluarkan makanan dari dalam kantung kreseknya itu. Dua bungkus nasi padang dan es Teh.

"Makan ya pak biar ga sakit. Kerja ya kerja, makan ya makan" lingga terkekeh dengan ucapan yang beberapa hari lalu, aksara bercerita mengenai ibunya yang berkata seperti itu.

"Jangan gitu cara buka Nasi padang. Gini nih harus di tekan dulu habis itu baru di buka. Supaya ga meluber kemana - mana." Lingga mempraktikkannya pada makan milik Aksara. Tanpa Lingga sadari Aksara menatap lekat manik - manik mata Lingga.

"Mana sendoknya?" Tanya Aksara pada Lingga.

"Eh iya juga ya. Ga ada sendok pak"

Aksara bangkit dari duduknya, dirinya akan mencuci tangan di washtafel Toilet. Namun Lingga mencegahnya. Menarik tangan Aksara dan menyemprotkan handsinitizer pada kedua tangan besar itu.

"Tinggal tunggu kering sebentar habis itu bisa makan deeehhh." Senyum Lingga begitu manis. Seolah - olah menembus sampai ke jantung Aksara. Melihatnya seperti itu, membuat hati Aksara berdesir aneh seperti saat beberapa waktu lalu di rumah Lingga.

"Iya pak sama - sama" Lingga menyindir Aksara karena dirinya tidak berucap apapun setelah apa yang dilakukan oleh Lingga.

"Makasih" jawab Aksara singkat.

Aksara ingin membuka pembicaraan karena mereka berdua kini makan tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Kamu kenapa sih kok sering ga masuk sekolah? Kalau orang tua kamu di panggil kesekolah gara - gara kamu gimana? Bukannya orang tua kamu jadi kecewa sama kamu?" Tutur Aksara.

Aksara ingin gadis yang ada didepannya ini menikmati masa sekolahnya. Tentunya dengan tidak mengecewakan kedua orang tuanya. Semasa Aksara sekolah, dirinya tidak punya kesempatan yang sebesar Lingga. Mulai dari segi Ekonomi maupun fasilitas Sekolah.

Lingga yang mendengar penuturan itu, hanya tersenyum menyungging. Dia tidak perlu mengkhawatirkan seperti apa yang dikatakan oleh Aksara. Pasalnya, bagi Lingga hal itu mustahil terjadi. Orang tuanya tidak akan di panggil pihak sekolah.

"Kalaupun saya dapat rangking satu, orang tua saya tetap ga bakal bangga sama saya pak"

Aksara menyernyitkan dahinya. Dia tidak paham dan tidak sependapat dengan Lingga.

"Orang tua itu akan tetap mendukung apapun yang anaknya lakukan selama apa yang mereka lakukan itu ngga keluar batas, Lingga."

"Ya betul banget. Dan bapak beruntung juga mendapatkan sesuatu yang seharusnya. Kalau takdir bisa di ubah, saya mau jadi adiknya pak Lingga saja. Atau menjadi salah satu diantara sepupunya pak Lingga"

Lingga tersenyum getir. Untuk pertama kalinya, Aksara melihat gadis ini seperti tidak berdaya.

"Orang tua saya bercerai sejaaaakkk- Entah kapan? Yang jelas dari saya masih kecil saya tinggal bersama kakek - nenek saja."

"Maaf saya ngga tahu" ucap Aksara merasa bersalah.

"Di rumah ngga ada foto keluarga soalnya saya ngga akur sama keluarga saya. Ayah saya selalu nuntut saya seperti apa yang mereka inginkan"

Tuturnya seraya menyuapkan makanan pada mulutnya. Hati Lingga seakan mencelos tak karuan.

"Menurut saya, seenggaknya kamu belajar yang rajin. Supaya kamu bisa masuk universitas yang kamu mau. Jadi sekalipun kamu di remehkan, kamu bisa menunjukkan ke mereka kalau tanpa mereka bahkan kamu bisa bangkit sendiri."

"Bapak pernah dengar, The Power off Money?" Tanya Lingga menatap Aksara.

Dengan anggukan pelan, Samar - sama Lingga melihatnya.

"Saya ngga perlu pintar, untuk bisa masuk universitas. Karena saya tahu dimana saya akan masuk. Ehe"

"Dan kamu bangga sama hal itu?" Tanya aksara membuat Lingga merasakan kelemahan dalam dirinya.

"Kenapa engga"

Mata Aksara menatap lekat pada Lingga. Gadis itu masih tersenyum simpul. Aksara merasakan gejolak dalam hatinya. Betapa tidak baik - baik saja gadis ini.

"Kamu, baik - baik saja kah?"

Lingga senang, ada yang merasakan batinnya tanpa harus dia menjelaskan detail. Pertanyaan - pertanyaan yang Aksara utarakan, membuat dirinya merasa ada yang mengerti sekalipun tidak paham.

Senyum Lingga seakan semakin merekah mendengar pertanyaan itu dari mulut aksara. "Menurut bapak?"

Tok tok tok..

"Masuk!"

Anton masuk kedalam ruangan dengan membawa sebuah undangan.

"Selamat siang pak, saya mau memberikan undangan pernikahan saya untuk bapak" ucapnya.

Aksara membaca undangan tersebut. Acara akan diadakan minggu depan. Dia tersenyum simpul melihat undangan itu. Teman karibnya akhirnya akan menuju halal dalam waktu dekat. Kini hanyalah Aksara yang masih melajang.

"Oke terimakasih atas undangannya. Selamat ya. Tinggal saya yang jomblo. Haha"

"Saya harap, bapak tidak datang sendiri kepernikahan saya." Anton melirik Lingga. Menandakan agar Aksara pergi bersama gadis itu.

"Ah iya pasti."

Setelahnya, Anton pergi keluar ruangan. Tersisa mereka berdua kembali. Aksara berdehem menghilangkan canggung lada dirinya.

"Kamu mau pergi ke pernikahan Anton?" Tanyanya berhati - hati.

"Kapan?"

"Tanggal 10?"

Aksara tampak menimbang - nimbang. Matanya mengarah pada atap - atap. Mencoba mencari jawaban diatas sana.

"Boleh"

Jawabnya antusias. Aksara merasa senang karena dirinya disambut baik oleh Lingga.

****

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang