56. Kenapa?!

852 140 5
                                    

Di depan ruang rawat Jeno, banyak sosok tengah berkumpul di sana, mereka terlihat cemas dan khawatir. Terutama orang tua Jeno, mereka langsung buru buru datang ketika mendapat kabar dari Kai. Padahal biasanya Jeno jarang sekali kesakitan, namun kali ini dia merasa kesakitan, apakah efek karna waktunya sudah tipis???

Mereka semua kini sudah mengetahui keadaan Jeno akibat orang tua Jeno yang menceritakannya, jika tidak, entah sampai kapan mereka akan abu-abu.

Jeno memang sudah melewati masa kritisnya, namun dia masih tak sadarkan diri, sedangkan pengunjung hanya di perbolehkan satu sampai dua orang untuk masuk ke ruang rawatnya secara bergantian.

Kai menarik Chanyeol dan juga Baekhyun untuk menjauh dari teman teman Jeno ke sudut.

"Sorry... Gue udah berusaha sebaik yang gue bisa... Tapi kayanya waktu Jeno menyempit, di perkirakan tinggal sebulan kalo gak seminggu lagi" birik Kai menghela nafas panjang, Baekhyun yang mendengarnya langsung menangis memeluk suaminya, Chanyeol sendiri mencoba menahan air matanya, mencoba menenangkan istrinya.

"Mungkin waktu dia sadar nanti, sisanya gak akan banyak..." Geleng Kai tanpa daya, dia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, namun ternyata hasilnya sama saja.

"Hm, gue ngerti, lo udah usaha keras selama ini..." angguk Chanyeol setenang mungkin, walau hatinya sudah seperti tertimpa timah ratusan kilo beratnya.

"Gimanapun juga dia keponakan gue".

.

Di dalan ruangan, Jeno yang tak sadarkan diri perlahan mulai membuka sepasang mata hitam miliknya, dia mengerjab, menatap langit langit putih dan bau desinfektan menyerang indra penciumannya. Setelah memahami situasinya, Jeno akhirnya hanya diam, mengedip ngedipkan matanya dengan linglung.

Bahkan saat ada suara ketukan sepatu di lantai menghampirinya, Jeno masih tak bergerak.

"Kamu mau bohong sampai akhir?" Sebuah suara dingin menyapa pendengaran Jeno, namun lagi lagi Jeno tak menanggapinya, dia masih menatap ke arah samping, dimana ada Jendela besar yang memperlihatkan langit biru dengan banyak gedung tinggi di luar sana.

"Kenapa? Kenapa harus di sembunyiin? Kenapa gak jujur?"

Suara itu sedikit bergetar, dengan nada kesal, kecewa, juga sedih yang bercampur. Jeno dari awal hingga akhir tak menoleh ke arahnya sedikitpun.

"Kak Makli..." Suara lirih Jeno membuat Mark terus menatap tubuh Jeno yang terbaring lemah.

"Hidup cuma sekali... Khawatirin kondisi Jeno yang udah terjamin gak sembuh itu buang buang waktu, apalagi sampai kepikiran yang buat kalian gak tenang, lebih baik Jeno gak pernah kenal kalian kalau sampai itu terjadi..." Kini Jeno menoleh menatap Mark, bertemu dengan mata hitamnya.

Mark mengepalkan tinjunya dengan erat, tatapannya dengan tajam menatap ke arah mata Jeno yang dengan tenang menatapnya, sakit, hatinya sakit, mengapa? Mengapa Jeno seegois ini? Mengapa Jeno tak memikirkan perasaannya? Perasaan yang lainnya? Mengapa?

"Kita semua gak penting di mata kamu? Jadi selama ini kamu anggap kita apa Jeno? Kamu anggap kita cuma mainan yang kamu butuhin untuk bahagia sebelum pergi? Kamu egois, ternyata selama ini kamu cuma anggap kita hal gak penting yang bisa di tinggalin kapan aja! Iya?! Kamu kasih kita harapan, tapi kamu tiba tiba pergi ninggalin sepatah katapun sama kita, sakit Jen, Sakit!" Mark mencengkeram dadanya, itu nyeri, sangat nyeri, matanya yang merah terus menatap Jeno penuh keluhan. Jeno tersenyum miris ketika melihatnya.

"Pada kenyataannya... Jeno lah yang menganggap diri Jeno sebagai mainan kalian, Jeno gak pernah marah, Jeno turuti yang kalian perintahin, Jeno turuti perasaan kalian, semua itu Jeno lakuin demi kalian... Jeno sadar, Jeno gak bisa selalu ada buat kalian, karna itu Jeno berusaha keras buat kalian sebahagia mungkin, bukan cuma kalian, tapi Orang tua Jeno juga, pada akhirnya itu masih di anggap egois..." Ucap Jeno tersenyum tipis.

Namun senyum tersebut di mata Mark entah mengapa terlihat mengejek dirinya sendiri. Jeno menoleh, kembali membelakangi Mark. Pada akhirnya semua masih akan mengeluh, semua manusia memang egois, entah dia ataupun mereka. Sadarkah mereka? Dia iri, dia ingin hidup lebih lama seperti mereka, bagimana perasaan mereka jika berada di posisinya? Mereka hanya memikirkan perasaan mereka sendiri, namun bersikap seakan akan memikirkan dirinya, hatinya sakit.

"Kamu yang egois! Kamu egois Jeno! Egois! Egois!!! Kenapa??? Hiks ... Kenapa??? KENAPA?! hiks... Kalau kamu kasih tau lebih awal, setidaknya aku bakalan lakuin banyak hal sama kamu buat kenang kenangan supaya gak ada penyesalan di hati aku, tapi kamu nutupin semuanya! Itu egois!" Seru Mark berlutut di lantai, meraung memukuli dadanya, seakan akan ribuan benda tajam membuatnya kesakitan di hatinya.

"Iya, Jeno egois"

Tangan Jeno mengepal, kalian cuma mau lebih banyak kenangan sama Jeno, padahal pada akhirnya juga kenangan tersebut akan terpendam jauh di kehidupan kalian. Karna kehidupan kalian masih panjang, akan lebih banyak kenangan indah menanti kalian di masa depan yang lama kelamaan akan membuat kenangan Jeno sama kalian terlupakan. Dirinya bahkan melupakan kenangan terindah ketika masih sehat dan tertawa bahagia bersama kedua orang tuanya karna banyaknya hal lebih bahagia dia alami baru baru ini. Semua manusia egois.

"Hiks..."

Hening, hanya ada suara tangisan Mark di ruangan bernuansa putih tersebut, Jeno diam diam mentap keluar jendela dengan cairan bening yang perlahan membasahi mata dan pipinya.

Mengapa kamu menangis semenyakitkan itu? Mengapa tangisanmu terdengar pilu? Padahal hanya karna akan kehilangan diriku yang bahkan tak lama muncul di kehidupanmu...

"Kak, sini deket Jeno..."

Mark mendongak, memperlihatkan raut wajah berantakannya, dia perlahan berdiri, berjalan mendekat untuk berdiri di samping ranjang, menatap wajah Jeno yang juga terlihat mennagis, tangisan Mark benar benar tak mau berhenti, pemuda itu dengan keras kepala menghigit bibir bawahnya agar tak terisak.

"Peluk Kak... Peluk yang erat..."

Tangis Mark pecah, dia tak dapat menahannya lagi, tubuhnya dengan cepat memeluk tubuh Jeno dengan erat, seakan akan ingin menyatukannya dengan tubuhnya. Meraung keras, menumpahkan segala keluhannya. Jeno pun ikut memeluk Mark dengan erat, menyembunyikan wajahnya di leher Mark, beruntung Dokter tak memakaikannya masker oksigen.

Setelah beberapa saat, Mark melonggarkan pelukannya, menangkup wajah pucat Jeno, menatap tepat di sepasang mata hitamnya yang juga tengah menatapnya.

"Kakak sayang sama kamu Jeno... Melebihi yang kamu fikir selama ini..." Lirih Mark pelan, dia menciumi seluruh wajah Jeno, seakan akan mencoba untuk mengingatnya seumur hidupnya.

"Hiks... Kak..."

"Ssttt... Jangan nangis..." Mark mengusap air mata Jeno dengan lembut.

"Tapi Kakak nangis..." Ucap Jeno sesenggukan. Mark hanya tersenyum tipis. Jeno memajukan tubuhnya, sedikit mendongak mencium bibir Mark. Mark kaku  untuk beberapa saat, namun kemudian dia memejamkan matanya, meraih tengkuk Jeno, melumat bibir tipis itu dengan rakus, menyampaikan seluruh perasaannya.

"Kalo kamu pergi, Kakak bakalan ikut..." Bisik Mark di sela sela ciumannya. Jeno membelalak kaget dan ingin melepaskan tautan keduanya, namun Mark menahannya dengan kuat.

Jeno hanya dapat menatap mata Mark yang terus mengalirkan liquid bening penuh kesedihan, akhirnya dia memejamkan matanya, ciuman mereka penuh dengan luka dan kesedihan, itu menyedihkan.










































































Yoit....

Ngefeel gak sih? Soalnya viel ngetik jam 2 pagi, kebangun langsung ngetik, jadi perasaan Viel belum kebangun seutuhnya waktu ngetik wkwk

See u~

No Trace ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang