58

718 111 19
                                    

[disarankan menggunakan background cream]

"Koneksinya jelek banget," keluh gue pada monitor yang nunjukin kamera on-board yang terpasang di motor Donghyuck

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Koneksinya jelek banget," keluh gue pada monitor yang nunjukin kamera on-board yang terpasang di motor Donghyuck.

"Molor sampe dua menit," tambah Jaemin bersilang dada, keningnya mengerut dalam, tampak turut cemas.

Di tengah situasi itu, Nami memijit lehernya pegal. Sebagai pemegang teknis utama, Nami pasti sudah penat setelah berjam-jam melihat layar demi layar dan segala pritilannya.

"Bentar, belum bisa gue atur," sahut Nami dengan suara parau sambil terus berkutat pada komputer di hadapannya. "Sensor tracking-nya gimana?"

"Aman," jawab Jaemin, sementara gue terdiam dan mengembuskan napas panjang.

Lelah dengan simulasi sistem, gue melepas headphone, pengang di kedua sisi kepala udah nggak terelakkan, pelipis pun berdenyut nggak karuan. Gue kemudian keluar ruangan tanpa pamitan sama Jaemin dan Nami. Begitu menapaki lintasan, gue lihat Donghyuck baru saja sampai di garis finish. Gue lantas segera menuju paddock, menghampiri pemuda itu.

"Haechan."

"Ju-ya?" Balasnya dengan mata melebar, agaknya terkejut dengan kehadiran gue yang tiba-tiba. Donghyuck tampak sedang nurunin ritsleting dari seragam balap yang dikenakan, lengan kanan-kirinya sulit keluar, segera gue membantunya. Suara lenguhan lega terdengar begitu bagian atas seragam itu terlepas lalu dibiarkan menggantung sampai pinggang. Kini, tersisa dalaman ketat hitam berlengan panjang yang kelihatan lembab akibat keringat.

"Gimana?" Tanya Donghyuck kala gue kembali bersitatap dengannya. "Semua udah oke?"

Gue menarik sudut bibir ke bawah, menggeleng kecil, menunjukkan kekecewaan soal simulasi tadi.

"Kameranya belum bisa real-time, tapi sensornya udah oke lah," ungkap gue angkat bahu. "Kalau audionya udah bagus, kan?"

Donghyuck mengangguk kecil.

"Suara merdu lo kedengeran jelas, kok."

Gurauan Donghyuck itu sontak bikin gue mendorongnya hingga nyaris limbung, tapi dia hanya terkekeh, menertawai gue.

"Kampret lo, ah!"

Garis bibirnya masih melengkung ke atas ketika gue justru mengumpat.

"Lo, sih, serius banget."

"Kayak elo enggak aja," kilah gue merujuk sikap Donghyuck yang nggak jauh beda dari gue. "Lo aja begitu dateng langsung nge-track. Kalau gue nggak ke sini, pasti lo belum mau nemuin gue, kan? Ngaku lo!"

Donghyuck nyengir. Dasar ini anak! Udah ketebak emang. Tapi ... gue nggak berhak buat kesel. Mana mungkin juga gue kesel. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri gimana dia serius latihan. Dia benar-benar serius soal balapan yang meng-versus-kan dua club-nya, jadi ... gue cuma mendukung dia, sejauh yang gue bisa.

Reloading | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang