17

3.1K 599 387
                                    

[disarankan menggunakan background cream]

Di jam pulang sekolah ini, para murid di SMA Mongsang tampak berlalu lalang dari koridor hingga halaman depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di jam pulang sekolah ini, para murid di SMA Mongsang tampak berlalu lalang dari koridor hingga halaman depan. Sama halnya dengan gue yang melangkah menuju parkiran, hendak pulang. Sesekali gue menoleh ke belakang, sekadar memeriksa keberadaan Lee Donghyuck yang membuntuti sejak dari UKS.

"Kenapa jalannya di belakang, sih?" Tanya gue yang mulai risih dengan posisi jalan seperti ini. Gue pengennya Donghyuck jalan di samping, bukan di belakang. Gue berhenti dan berkacak pinggang. Donghyuck pun terhenti di depan gue.

"Cuma ngecek kaki lo. Kayaknya, udah baik," jelas Donghyuck.

"Kaki?" Gue sontak melihat kaki kanan gue yang terbalut perban. "Iya, udah baikan, kok."

"Sejak kapan?" Tanyanya cepat.

"Huh?"

"Sejak kapan kaki lo sakit?"

Gue sontak mengalihkan pandang ke sembarang arah. Apa gue bilang aja ke Donghyuck, ya? Tapi ... ah, enggak, enggak. Gue rasa, Donghyuck belum perlu tau. Ini urusan gue. Lagian, gue enggak mau jadi cewek seperti yang dipersepsikan Mark. Gue bukan cewek yang sembunyi di balik Donghyuck. Ya, gue harus hadapi ini sendiri.

"Semalem," jawab gue singkat.

"Semalem? Waktu kita balik? Terus, caranya lo pake motor tadi pagi?"

Kenapa Donghyuck banyak nanya, sih?

"Haechan-ah," panggil gue dengan memberikan penekanan karena mulai enggak nyaman dengan keingintahuannya. "Gue udah nggak papa, kok," kilah gue seraya mengayun-ayunkan kaki yang terbalut perban.

Sejujurnya, selama perjalanan menuju rumah semalem, gue hampir mati rasa. Rasa dongkol, marah, dan bingung lebih mendominasi daripada rasa sakit. Sampai-sampai, gue abai akan tubuh gue selama berkendara. Tapi, setibanya di rumah, semuanya meletup.

Remuk, nyeri, pedih. Erangan kesakitan memenuhi kamar. Gue yang enggak kuat pun meminta bantuan mama buat nyuciin jas Donghyuck dan seragam gue malam itu.

Gue pusing. Namun, hal yang paling bikin gue pusing tujuh keliling, bukan ocehan Mark, melainkan berbagai pertanyaan mama. Dari kenapa seragam gue basah dan berpasir, kenapa jas Donghyuck gue pake, sampai kenapa gue kelihatan kesakitan. Berbagai kata kenapa itu membuat gue kesal.

"Mama bisa diem, nggak?!"

Gue membentak mama. Mama bungkam, lalu pergi dari kamar gue. Sepertinya, gue harus banyak-banyak bersyukur karena memiliki ibu yang sabar kayak mama. Selain itu, gue berutang kata maaf padanya.

"Ju-ya?"

Ah, gue jadi ngalamun. Gue lantas menatap pemuda di hadapan gue kembali.

"Oh, iya, hampir lupa."

Reloading | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang