59-2

486 99 9
                                    

[disarankan menggunakan background cream]

Sekitar jam tiga sore, antrian manusia bak barisan semut yang hendak masuk sarang sudah menumpuk di luar sirkuit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar jam tiga sore, antrian manusia bak barisan semut yang hendak masuk sarang sudah menumpuk di luar sirkuit. Dari yang gue lihat, 127 SQUAD secara pasti mendapat banyak penghasilan, mulai dari penjualan tiket, hingga bazzar yang dibuka sejak minggu lalu. Memanfaatkan tensi persaingan yang tinggi dari kedua tim, teknik marketing 127 emang perlu diacungi jempol.

Satu per satu kursi tribun terisi. Orang-orang pun nggak segan memakai atau membawa atribut tim jagoan mereka. Padahal balapan baru akan dimulai pukul tujuh, tapi mereka sudah tampak bersemangat. Situasi para penonton ini berbanding terbalik dengan gue yang justru sedang kalang kabut.

“Lo bakal lakuin apapun buat gue, kan?”

“Jelas, gue bakal lakuin apapun buat lo! Gue sendiri yang nawarin itu buat lo! Tapi, kenapa baru semalem lo bilang, sih!” Gerutu gue, ngomong sendiri sambil mondar-mandir nggak jelas akibat kalimat Donghyuck yang masih mondar-mandir juga di kepala gue.

Saat ini, demi menjernihkan pikiran, gue milih buat menyendiri di tribun paling atas, menjauh dari reload yang lagi punya kesibukan sendiri-sendiri di paddock. Nyilangin tangan, berkacak pinggang, mukul-mukul jidat, sampe jambak rambut. Semuanya gagal ngeredain kebimbangan gue. Entahlah. Jika dilihat dari peluang, gue memang bisa lakuin apa yang diminta Donghyuck, tapi⸺

“Taeyong?!”

Gue memekik begitu melihat sosok leader 127 berjalan ke arah gue. Sedangkan, pemuda yang gue sebut namanya itu menarik satu sudut bibirnya.

“Ngapain lo di sini?”

“Doyoung!” Jerit gue kaget kala Doyoung tiba-tiba datang dari arah lain dan melempar tanya.

“G-gue, uhm,” sahut gue yang refleks gugup. “Lagi nyari angin.”

Taeyong yang sontak terhenti di depan gue mengerinyit begitu mendengar alasan klasik yang gue pake buat menjawab Doyoung. Namun, ia jelas nggak peduli dan segera melewati gue gitu aja.

“Kalau diinget-inget, lo ini emang nggak punya sopan santun, ya,” kelakar Doyoung sembari memutar bola matanya dan bersedekap. “Gue tuh lebih tua dari lo! Nyapa yang bener!”

Astaga! Gue lagi mau nyari ketenangan, eh dia malah nyari ribut.

“Lo mau gue panggil apa emang?” Tanya gue jengah. “Ahjussi?”

Mworago?!” (Ngomong apa lo barusan?) Sentaknya dengan mulut mengangga, menatap gue berang.

Gue lantas menggeleng sambil pura-pura nepuk jidat⸺sok puyeng.

Sorry, Doyoung-ah,” ucap gue setengah hati dan sok akrab. “Gue lagi nggak mood nyari masalah sama lo. Bisa lo tinggalin gue aja?”

Reloading | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang