20

2.9K 610 377
                                    

[disarankan menggunakan background hitam]

Kelopak mata gue terasa berat, namun pandangan mata gue masih dapat terfokus pada kilauan benda bulat di pergelangan tangan kiri pemuda yang menarik gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelopak mata gue terasa berat, namun pandangan mata gue masih dapat terfokus pada kilauan benda bulat di pergelangan tangan kiri pemuda yang menarik gue. Berkali-kali, gue tersenyum melihat benda tersebut. Rasanya, seperti⸺

“Haechan,” lirih gue.

⸺terselamatkan.

Kaki-kaki gue berpasrah. Pikiran gue terlampau malas untuk sekedar mengenali tempat gue berpijak. Saat ini, asalkan enggak ketangkep sama 127 SQUAD, kemana pun itu … enggak masalah. Kini, kaki-kaki gue menapaki permukaan trotoar. Entah, gue enggak inget sejak kapan, gue udah mendengar suara kendaraan yang berlalu lalang di samping.

Tes.

Basah, di puncak kepala. Gue menengadah, langit masih sangat gelap tanpa bintang.

“Hujan?” gumam gue, malas.

Butiran air semakin banyak jatuh ke bumi. Donghyuck pun menarik tangan gue lebih kencang. Gue berusaha menyamakan langkah dengan susah payah. Kala gue rasakan butiran air enggak lagi menyentuh badan, langkah Donghyuck terhenti pula. Gue menengok, sedikit terganggu dengan cahaya terang di sana. Rupanya, kami berteduh di muka minimarket. Donghyuck melepas genggamannya. Gue langsung terhuyung dan menahan diri pada dinding.

 Gue langsung terhuyung dan menahan diri pada dinding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ju-ya?!” panggil Donghyuck yang terdengar panik. Gue hanya tertunduk, meresapi kepala gue yang seakan terbang kemana-mana. Donghyuck mendekatkan wajahnya di depan gue, sementara gue dapat mendengar tarikan napas pemuda itu yang berjarak hanya tiga senti dari wajah gue.

“Ju-ya …,” panggilnya lagi ketika sontak menjauh dari wajah gue dan mengerutkan keningnya. “Elo … minum?!”

Gue terkekeh. Entah kenapa pertanyaannya terdengar lucu.

“Segelas doang,” jawab gue sekenanya, lalu kembali tertawa. Enggak berselang lama, perut gue terasa panas, seperti ada yang mendesak ingin keluar dari kerongkongan.

Donghyuck dengan cekatan menata rambut gue, mengumpulkannya menjadi satu di genggaman tangan kirinya. Sementara, tangan yang lain mendorong punggung gue, mengarahkannya pada sepetak tanah yang ditumbuhi tanaman.

Reloading | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang