21

2.8K 560 234
                                    

[disarankan menggunakan background putih]

Hari Jumat pagi ini, matahari menyapa dengan hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Jumat pagi ini, matahari menyapa dengan hangat. Gue berjalan memasuki gerbang sekolah. Di setiap pantulan cahaya dari kaca jendela, pintu, bahkan genangan air sisa hujan tadi malem, gue dapat melihat rona cerah diri gue sendiri.

Hari ini, gue cantik banget, batin gue sejak tadi. Wah, pede banget, kan? Ya, gue cantik, dong, kan gue cewek. Percaya diri itu, boleh, kan? Tapi, salah satu yang bikin gue begitu kepedean hari ini adalah make up. Yup, jarang-jarang, loh, seorang Choi Jinju make up-an.

“Jeno-ya,” sapa gue pada Lee Jeno yang pas banget jalan di depan, hendak masuk gedung sekolah. Gue berlari kecil menghampirinya.

Woah!” Jeno terhuyung ke belakang, namun berhasil menyeimbangkan diri kembali. “Kesambet apaan lo?!”

“Ish!” Desis gue sengit. “Cantik-cantik gini dibilang kesambet!”

Jeno diem, ngelihatin gue.

“Kedip, woy!” sentak gue.

Jeno langsung mengerjapkan mata dan berkata dengan suara datar, “Mau jadi pacar gue, nggak?”

“Enak aja!” Bentak gue sambil menatap tajam pemuda Lee itu.

“Canda,” ucap Jeno, menurunkan tensi gue. “Habisnya, tumben make up-an. Kan, jadi lebih bening gini.”

“Bening dikit, bisa belok gitu, ya?” sinis gue, remeh. “Gue gini, soalnya … habis mimpi indahhh banget,” terang gue antusias.

“Mimpi?” Tanya Jeno heran. Gue mengangguk mantap. “Terus, apa hubungannya sama elo make up-an?”

“Uhm … enggak ada juga, sih.” Gue meringis. “Intinya, mood gue lagi baik banget, hehe.”

Gue cengengesan.

“Terserah,” sahut Jeno malas, kemudian melanjutkan langkahnya.

“Barengan, dong!” protes gue sebab Jeno main pergi gitu aja. Gue pun segera menyusul dan berjalan di samping pemuda itu.

“Semalem, elo kagak ke sirkuit. Kenapa?” Tanya Jeno tiba-tiba dan menoleh sekilas pada gue.

Tetep ke sirkuit, sih. Tapi, bukan sirkuit reload, Jeno-ya.

“Haechan menjomblo, deh,” sambungnya, lalu terkekeh. “Omong-omong, tinggal berapa hari lagi?”

Bibir gue mengatup, gue paham maksud pertanyaan Jeno. Pemuda itu sepertinya enggak tau kalau Donghyuck nyelametin gue dari anak-anak 127 SQUAD. Semalem, gue sadar, gue enggak sedang bermimpi.

Bomber merah yang gue pakai sampai rumah itu jadi salah satu bukti, kalau gue emang bersama Lee Donghyuck malam itu. Mungkin, kalau Donghyuck enggak dateng, gue udah kehilangan satu momen pacaran sama dia. Ternyata, gue beruntung banget, diselamatin plus dapet kecupan.

Reloading | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang