Reloading | Lee Haechan

10

[disarankan menggunakan background cream]

Matahari hampir sampai di peraduan sore itu. Semburat oranye masuk melalui jendela, menemani hangat suasana kedai yang mulai ramai dikunjungi pelanggan.

Lee Donghyuck.

Gue beralih menatap pemuda yang duduk bersebrangan dari gue. Sedari tadi, ia menaruh wajahnya di atas meja. Padahal, dua mangkuk jajangmyeon, beserta pelengkapnya⸺lobak, kimchi, pajeon, dan ocha sudah tersaji.

“Haechan,” panggil gue dan turut merendahkan kepala sejajar dengan garis meja, berusaha menelisik raut wajahnya di balik sana. “Ayo, makan.”

Donghyuck bergeming dan gue justru mendengar ia yang menghela napas pendek.

“Haechan?!” panggil gue sekali lagi dengan nada suara yang sedikit meninggi. Gue merasa diacuhkan. Dia kenapa, sih?

Perlahan, Donghyuck mengangkat wajahnya dari sana dan otomatis membuat gue bernapas lega. Ia lagi-lagi menghela napas pendek, namun kini ia membuka mulut seraya mengusap kasar wajahnya, “Gue udah nggak punya muka lagi di depan mama lo.”

Begitu mendengar perkataannya, gue terbungkam. Gue paham arah bicaranya. Rupanya, pemuda Lee ini masih kepikiran dengan kejadian di garasi tadi. Gue berusaha menahan kekehan, sedangkan ia mencebik dongkol.

“Muka lo masih ada di sini, kok, Chan,” ucap gue, lalu menjulurkan kedua tangan untuk menangkup kedua sisi wajahnya. Menyentuh kulit tan-nya dari dagu hingga daun telinga. “Lagian, salah lo sendiri yang mau nyosor gue.”

Donghyuck terbelalak, lalu sorot matanya naik hingga jatuh pada iris gue. Kedua telinganya terasa semakin hangat dan kemerahan. Perkataan gue enggak salah, kan? Buat apa dia menarik tengkuk gue dan mendekatkan wajahnya kalau enggak berniat nyium gue?

Eh?

Tunggu dulu … ci-cium? Apa itu artinya Donghyuck mulai menyukai gue? Ah, gue enggak boleh kepedean. Gue menggeleng ringan, menepis berbagai pertanyaan yang mulai bermunculan dalam benak gue. Lagian, ini masih hari kedua kami berpacaran. Rasa-rasanya, nggak mungkin cowok ini beneran suka sama gue.