15

3.2K 601 327
                                    

[disarankan menggunakan background hitam]

Cakrawala yang menaungi kota Seoul telah menghitam dan digantikan oleh lampu-lampu gedung pencakar langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cakrawala yang menaungi kota Seoul telah menghitam dan digantikan oleh lampu-lampu gedung pencakar langit. Kira-kira pukul setengah delapan, gue dan Donghyuck udah balik dari pantai ke SMA Mongsang dengan keadaan sekolah kami yang udah sepi. Motor yang gue tumpangi menurunkan kecepatan, Lee Donghyuck menghentikannya di depan gerbang area parkir.

“Makasih gelangnya, ya,” ucap Donghyuck begitu gue turun dan berdiri di samping motor. Ia memutar-mutar pergelangan tangan kiri di depan gue, memamerkan gelang dan matanya yang menyipit. Gue tau, dia tersenyum di balik helm itu.

“Sama-sama, gue juga makasih buat jasnya. Besok, gue balikin,” ujar gue sambil menarik sedikit kerah jas seragam yang gue pakai. “Udah, gih, balik. Dingin, nih.”

Embusan angin malam mulai menusuk ke tulang-tulang, hingga gue memeluk diri sendiri karena mulai kedinginan.

“Cepet banget. Diusir, nih?”

Gue terkekeh singkat, lalu menjawabnya dengan candaan, “Iya, gue usir. Udah sana!”

“Ya udah, deh, kalau diusir,” sahutnya dengan menahan tawa, lalu melambaikan tangan. “Bye, Ju-ya.”

Bye, Haechan,” balas gue sambil memamerkan deretan gigi depan.

Detik berikutnya, Donghyuck menyalakan mesin dan gue temani dengan lambaian tangan. CBR merah itu melaju. Ah, rasanya pipi gue agak pegal karena beberapa menit masih tersenyum, meski sosok Donghyuck sudah menghilang dari pandangan mata. Setelah sedikit meregangkan wajah, gue lantas masuk ke area parkir dengan sedikit melompat-lompat girang.

“Sepi banget,” gumam gue bermonolog sembari mencari presensi motor putih gue. Aneh. Pencahayaan di parkiran ini biasanya lebih terang, namun hari ini hanya beberapa lampu yang menyala. Kenapa jadi remang-remang gini? Entahlah, tiba-tiba perasaan gue jadi enggak enak.

Srak.

Sontak, gue menoleh. Gesekan alas kaki itu bukan berasal dari sepatu milik gue. Napas gue tercekat. Gue mendelik, gue mengenali sosok yang mendadak muncul di depan mata.

“Apa itu kebiasaan lo?"

Dia berbicara. Gue menoleh ke kanan-kiri. Tiada orang selain gue dan dia. Berarti, dia sedang bicara dengan gue?! G-gue?!

"Bersembunyi di balik orang lain, sembunyi di balik⸺” tuturnya masih menggantung. Ia menaruh atensi pada seragam yang gue pakai, mengarahkannya pada name tag yang terpasang di jas yang gue pakai. “⸺Lee-Dong-Hyuck?”

Dia mengejanya dengan nada yang sinis. Senyum asimetris dan sorot matanya itu, gue masih ingat jelas. Masih sama, tajam dan menghujam hingga gue tersentak dan melangkah mundur.

Dia mendengus sinis, kemudian berucap, “Sudah gue duga itu elo. Jadi … orang nomor satu di reload, ternyata⸺”

Dia tiba-tiba mendekat dengan cepat, tangan kanannya menjulur ke arah gue.

Reloading | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang