19-B-2

36 4 0
                                    

Hi pembaca, mohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan dalam penulisan novel ini. Jangan lupa komentar atau kritik yang membangun agar kedepannya saya bisa lebih baik lagi. Jangan lupa juga like dan follow ya.

***

Hembusan angin menerpa Ivy, membuat rambutnya yang panjang serta roknya tertiup dengan lembut. Ivy menatap ke langit, gelap. Ya, hanya kegelapan yang Ivy lihat setiap harinya semenjak ia berada di negri semidio.

Beberapa detik berlalu, Ivy mengalihkan pandangannya, lalu mulai melanjutkan perjalanannya. Hari ini, tepat tujuh hari Ivy bersekolah. Kehidupan Ivy disekolah terbilang sangat bagus sekarang. Bagaimana tidak, semenjak kejadian dimana Ivy mampu menggunakan sihir tanpa tongkat, semua siswa menghormatinya dan para guru bangga padanya.

Banyak orang yang ingin dekat dengannya, namun Ivy memilih menghindari mereka dengan berbagai alasan. Itu semua bukan karena ia membenci mereka, ya... Ivy akui jika ia sempat kesal karena tatapan dan cara bicara mereka yang sangat menjijikan itu, tapi Ivy tidak membenci mereka.

Ivy hanya trauma. Rasa takut dan sakitnya di hianatu oleh sahabat-sahabatnya masih membekas hingga saat ini, dan mungkin tidak akan pernah bisa Ivy lupakan.

Luka itu masih terasa basah, masih terasa perih setiap kali ia menyentuh wajahnya. Meskipun luka itu telah menghilang sepenuhnya dan digantikan kulit yang mulus, tapi ia masih terasa sakit. Secara fisik, mungkin dia dalam keadaan baik, fisiknya tidak merasa sakit ! Tapi didalam hatinya, otaknya. Didalam pikiran Ivy ia merasa luka bakar itu masih ada di tubuhnya.

Selain itu, bayangan bagaimana api membakar kulitnya, bayangan bagaimana semua orang menatapnya dengan tatapan jijik, serta bagaimana sekelompok pria menjamah tubuhnya. Bayangan itu tidak bisa hilang, dan akan terasa menyakitkan setiap kali ia teringat.

Suara tawa tawa membuat perhatian Ivy. Ivy menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke asal suara. Di sana, Ivy melihat Murray sedang di- bully oleh siswa lain. Mereka meletakkan sepatu Murray di atas tiang yang cukup tinggi, lalu membiarkan Murray mengambilnya sendiri. Ya, mereka hanya menonton Murray mengambil sepertinya sambil tertawa keras dan sesekali mengoloknya, seolah ini lolucon .

Murray sendiri tidak bisa mengambilnya, tubuhnya pendek, dan dia juga tidak pandai menggunakan sihir, itu membuat Murray hanya bisa melompat-lompat agar bisa mendapatkan sepatunya kembali. Pemandangan membuatnya terlihat menyedihkan, membuat Ivy merasa kesal karena teringat masa lalunya yang juga pernah di-bully.

Ivy melihat ke arah itu cukup lama. Menunggu kehadiran Elisa cotton, karena seingat Ivy, Murray akan di tolong oleh Elisa cotton setiap kali dia mendapat malah. Tapi 15 menit, Ivy menunggu,  Elsie Cotton tidak membatu Murray sama sekali.

Bukan karena Elisa cotton tidak ada di sana. Dia ada, Ivy melihatnya baru saja berjalan di balkon lantai dua bersama teman-temannya, dia sempat melihat Murray, tapi hanya beberapa detik. Itu membuat Ivy merasa kesal, dia marah karena alur cerita tak sesuai.

Kejadian ini bukan sekali atau dua kali, tapi cukup sering. Gadis yang memiliki nama yang sama dengan Ivy itu, tidak sepenuhnya baik seperti di dalam buku itu. Jika di tanya bagaimana Ivy bisa seyakin itu, dia sudah memperhatikan mereka beberapa hari.

Ada rasa kecewa serta bingung jauh di dalam hati Ivy, entah kenapa. Tapi setelah Ivy ingat penjelasan Vivian, jika buku itu tidak sepenuhnya menjadi kenyataan, Ivy hanya bisa diam.

"Sepertinya, aku harus membaca ulang buku yang Vivian berikan itu " gumam Ivy.

Ivy melanjutkan langkahnya. Namun, Ivy bergumam sambil mengarahkan jari telunjuknya kearah sekelompok orang yang mem-bully Murry lalu tuba-tiba para siswa itu melenting jauh kebelakang. Itu mengejutkan semua orang, kecuali Ivy. Gadis itu masih berjalan santai tanpa menatap orang-orang yang telah dia sakiti, tanpa rasa bersalah.

Kejam ? Ya, Ivy telah menjelma sebagai manusia berdarah dingin. Dia tidak lagi merasa iba. Khususnya pada mereka yang kejam seperti pada tuang-bully.

Tanpa Ivy sadari, Murry melihat ke arah Ivy. Dia menatap punggung gadis muda dari kejauhan. Punggung kecil itu perlahan menghilang, menyisakan pertanyaan dan kesan di sudut hati.

Murry mengalihkan pandangannya kembali, menatap sosok Elisa Cotton yang berdiri di atas balkon bersama teman-temannya. Menatap ke arahnya dengan raut keterkejutan, entah apa yang Murry pikirkan saat melihat gadis yang dia kejar selama ini. Kecewa, ya... Rasa kecewa itu terlihat jelas di ufuk matanya. Membuat Elisa Cotton merasa sedikit terganggu.

Elisa Cotton segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Setelahnya, pergi.

***

Ivy menatap perpustakaan sekolahnya. Gadis itu melihat batara megah dan mengagumkan ruangan ini dengan mata berbinar-binar. Bagaimana tidak, perpustakaan itu terdiri dari puluhan lantai, ya Ivy tidak bisa memastikan berapa banyak lantainya karena tidak bisa di lihat. Seperti ruangan penyimpanan tongkat sihir milik Vivian, ruangan perpustakaan ini juga sama. Terlihat kecil di luar, tapi begitu besar di dalam.

Uniknya, setiap lantai tidak ada tangga. Semua orang yang ingin pergi ke lantai atas di perpustakaan itu harus menggunakan sihir masing-masing. Sekilas ini seperti penanda kasta, dimana yang kuat akan berada di atas, dan yang lemah akan ada di atas. Ya... Ini adalah hal yang Ivy baru ketahui di tempat ini, dimana orang-orang yang memiliki kekuatan (kuat) akan di hormati, tidak peduli bagaimana sikap dan kepribadian mereka. Satu hal lagi, semua bangsa sihir bentu pada mereka yang terlahir dari darah lumpur (manusia biasa namun menjadi penyihir) dan darah campuran (anak dari hasil pernikahan penyihir dan manusia).

Mereka yang terlahir dari manusia dan berdarah campuran biasanya akan di hina dan dijauhi. Hal itu karena bangsa penyihir murni menganggap mereka sebagai aib. Ivy sendiri salah satunya.

Pada saat mereka tahu siapa orang tuanya, mereka langsung bersikap dingin padanya. Mereka mendapatkan info, mungkin dari para guru, karena Ivy tidak sekalipun menjawab pertanyaan semacam itu. Itu terlalu sensitif, atau bersifat pribadi. Cukup banyak orang menatapnya dengan tidak suka, bahkan ada guru yang membencinya. Bukankah itu sangat menjijikan, karena di zaman sekarang, bagaimana bisa mereka masih berpikir se-sempit itu.

Berpikir tentang itu, Ivy sendiri tidak tahu dengan pasti ibunya, bahkan Ivy tidak tahu ayahnya. Ivy pikir jika dulu dia memiliki ayah (kandung) yang sangat mencintainya, namun ia tidak yakin.

Ivy membaca mantra yang membuatnya bisa terbang, sama seperti siswa lainnya. Saat ia melakukannya semua siswa melihat kearahnya. Mereka terpukau karena Ivy melakukannya tanpa tongkat sihir, serta melakukannya dengan baik.

"Bukankah itu siswa baru ?"

"Aku dengar dia baru mempelajari sihir, tapi... Coba lihat, dia sangat hebat."

"Bagaimana bisa dia menaklukannya tanpa tongkat sihir ?! Ini membuatku iri !"

"Sehebat apapun dia, dia tetaplah darah kotor !"

"Aku dengar dia hanya orang biasa di dunia atas ?"

Bisik-bisik para siswa yang masih bisa Ivy dengar. Sebagain memujinya, tapi yang lain terus menghinanya. Ya, beginilah hidup.

***

Hi pembaca, mohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan dalam penulisan novel ini. Jangan lupa komentar atau kritik yang membangun agar kedepannya saya bisa lebih baik lagi. Jangan lupa juga like dan follow ya.

SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang