26-A-2

51 1 0
                                    

Esokan harinya. Di pagi hari yang begitu cerah, Ivy berdiri sambil memperhatikan sekitarnya. Hutan yang ada di depannya terlihat sangat indah, burung-burung terus berkicau dan udara udara terasa begitu segar. Tempat ini sangat cocok untuk melepas stres atau kejenuhan karena rutinitas sehari-hari.

Ivy menatap ke belakang, di mana ada tenda kecil yang terbuat dari daun, serta ranting pohon. Tidak jauh dari tempat itu, Murray sedang mengumpulkan kayu-kayu kering untuk dijadikan kayu bakar.

Ivy mendekati Murray, sambil bertanya "apa kau yang membuatnya sendiri ?"

"I, iya. Meskipun ini sangat jelek." Ucap Murray sedikit gugup.

Entah apa yang membuat Murray begitu terlihat gugup saat Ivy mendekatinya. Namun, Ivy yang menyadari kegugupan itu berasumsi jika Murray mungkin kesal padanya. Ya... Karena Murray harus terjebak di situasi sulit ini karenanya.

Meskipun sebenarnya, Murray juga salah karena masuk ke lingkaran sihir  terlarang itu bersamanya. Seandainya waktu itu Murray tidak sok baik pada Elsie Cotton palsu, mungkin dia masih berada di waktu yang seharunya.

"Tidak. Ini bagus. Kau sangat kreatif." Ucap ivy, lalu ia tersenyum lemah.

Tempat yang Murray buat memang jauh dari kata bagus. Tapi tidak mungkin Ivy bilang demikian. Ivy takut melukai perasaan Murray, terlebih dia tidak ingin Murray berpikir jika ia tidak tahu berterimakasih, atau tidak tahu bersyukur.

"Trimakasih." Ucap Murray lemah, wajahnya terlihat memerah, dan pergerakannya menjadi lebih kaku.

Ivy yang melihatnya berkata " apa kau sakit ?"

"Ha, sa, sakit ?" Tanya Murray dengan suara terbata-bata.

Pria itu terlihat sangat aneh, saat Ivy mendekatinya lebih dekat untuk mengecek keadaan Murry. Pria itu mencoba menghindari Ivy dengan cara sedikit mundur kebelakang, namun Ivy tetap mendekatinya.

"Wajahmu memerah, dan kau terlihat aneh. Apa kau tidak enak badan ?"  Ucap Ivy sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Murray, untuk mengecek suhu tubuh Murry.

"A, aku sungguh baik-baik saja!" Ucap Murray, yang langsung berlalu pergi.

Ivy yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam. Sebelum Murray pergi, tadi dia sudah merasakan suhu tubuh Murray dalam keadaan normal. Itu membuat Ivy lega, dan membiarkan Murray berlalu.

Tiba-tiba Murray menghentikan langkahnya, dia berbalik untuk menatap Ivy sambil berkata "Ivy ?"

Ivy hanya menjabatnya dengan deheman, lalu Murray kembali berkata "apa kondisimu sudah membaik ?"

"Ya, sepertinya begitu, tapi... Aku belum memiliki energi sihir." Ucap Ivy lemah, lalu Ivy menatap rambutnya yang masih putih.

Ivy melakukan hal itu karena setiap kali energinya di gunakan, rambutnya akan memutih. Dan kembali hitam saat energinya telah terkumpul sepenuhnya.

"A... Jadi, kita tidak bisa kembali ke tempat kita berasal  ?" Tanya Murray dengan suara gemetar.

Pria itu terlihat takut, dia panik. Ivy yang melihat hal itu merasa sangat bersalah. Ivy juga merasa gusar, namun ia berusaha tidak menunjukkannya pada Murray, karena tak ingin membuat pria itu semakin panik. Tapi, Ivy juga tak berniat menutupi fakta yang sebenarnya. Fakta jika mereka berada di zaman yang tidak di ketahui. Fakta jika mereka belum tentu bisa kembali ke tahun yang seharunya mereka hidup.

"Meskipun aku memiliki energi sihir, kecil kemungkinan kita akan kembali ke masa yang seharusnya ? " Ucap Ivy lemah.

"Maksudmu ?" Tanya Murray bingung.

"Kita tidak berada di tahun yang seharusnya. Lebih tepatnya, kita tersesat di masa yang kita tidak ketahui. Mungkin berada di 100 atau 200 tahun di masa lalu." Ucapan Ivy lesu, namun ia membuat jantung Murray berdegup kencang, dan keringat dingin.

"Aku, minta maaf. Jika saja aku tahu kau ada di dalam lingkaran itu, kau pasti tidak berakhir seperti ini." Ucap Ivy lagi.

"..." Murry hanya terdiam dengan wajah yang terlihat sangat pucat.

"Dia pasti membenciku. Tapi, ini wajar. Karena keegoisanku, aku melakukan kesalahan seperti ini." Gumam Ivy.

Ivy berjalan menjauhi Murray. Dia tidak ingin menunggu pria itu sekarang, dia tidak ingin Murray semakin kesal atau membencinya. Ivy memilih untuk berjalan di sekitar lembar itu. Menyusuri hutan, berharap menemukan sesuatu untuk di makan.

Namun tiba-tiba Ivy menghentikan langkahnya. Ia mendesah kasar lalu berkata "ah... Bagaimana ini. Dia pasti membenciku."

Ivy mengingat kejadian saat ia mengomeli Murray, serta mengatainya sangat kasar. Tidak ada sikapnya yang baik, ini membuat Ivy semakin merasa bersalah pada Murray.

"Tapi, kenapa perasannya penting untuk ? Ah... Apa karena aku merasa bersalah karena membuat dia berada di situasi seperti ini. Tapi kan... Ini juga salahnya, kalau saja dia tidak masuk ke dalam lingkaran sihir penjelajah waktu itu... Dia pasti masih berada di kamarnya yang hangat." Gerutu Ivy.

"Duh... tapi... Perasan bersalah ini... Tidak menyenangkan." Tambah Ivy lesu.

Tapi memikirkan soal Maslah yang menimpanya, Ivy mulai berpikir tentang Jesicca. Ia, ia teringat dengan sahabat masa kecilnya, dan saat itu dia mulai memiliki pertanyaan untuk dirinya sendiri. "Kenapa kau tidak mencoba kembali ke masa sebelum insiden kebakaran itu terjadi ? Dan disaat dia memiliki kesempatan berada di waktu insiden itu terjadi, kenapa dia malah bersembunyi ? Kenapa dia tidak mencoba menyelamatkan Jesicca ?" Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus muncul di kepala Ivy, namun tak ada satupun yang bisa dia jawab. Ini membuatnya merasa sangat buruk.

"Aku orang yang sangat jahat." Gumam Ivy.

***

Beberapa jam kemudian. Ivy baru kembali ke tempat mereka menginap. Saat Ivy baru saja sampai, Ivy melihat Murray yang berjalan dengan gelisah mengitari tendanya. Pria itu terlihat aneh, dan saya pria itu menyadari kehadiran Ivy, pria itu langsung mendekati Ivy sambil berkata "Kau dari mana saja ?"

Nada suaranya terdengar agak meninggi, dan wajahnya terlihat kesal. Dia mungkin marah.

Ivy menanggapinya dengan santai,  lalu berkata "Aku habis berkeliling sebentar."

Sebenarnya Ivy merasa sedikit bersalah. Ia merasa dia sudah banyak merepotkan Murray. Dan kali ini, Murray terlihat menghawatirkan ya.

"Lain-kali, jangan pergi sendiri. Tempat ini sangat berbahaya." Ucap Murray yang terdengar tegas.

Ivy hanya menjawabnya dengan deheman, lalu ia pergi ke bawah tenda yang Murray buat. Murray mengikuti Ivy dari belakang, tapi dia masih terlihat kesal.

Setelah Ivy duduk di sana, Murray segera memberikan Ivy sebuah apel merah "Makanlah apel ini. Aku tidak mau kau kelaparan, apalagi sampai sakit lagi."

Nada bicaranya masih sangat menyebalkan, namun pria itu terlihat menghawatirkan Ivy. Dia tulus, dan lembut, membuat Ivy semakin menyesal karena sudah membawanya ke situasi sulit seperti saat ini.

Menurut Ivy, akan jauh lebih baik jika Murray marah padanya. Katai dia dengan kata-kata kasar, atau lakukan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Setidaknya, dengan begitu Ivy  tidak akan merasa bersalah. Tapi, Murray justru sebaliknya. 

Ivy mengambil buah apelnya, lalu berkata dengan lemah "Kau tidak marah padaku ?"

Murray terdiam sejenak, lalu berkata "Tidak. Lagipula, aku juga salah waktu itu."

Kini suaranya terdengar lebih lemah. Mungkin dia juga merasa sedih dan kesal dengan situasi saat ini. Namun dia lebih banyak bersabar.

Seketika suasana menjadi sangat canggung. Selama beberapa menit mereka hanya terdiam, dan sibuk dengan pikiran masing masing, hingga Murray berkata "jangan terlalu di pikirkan."

"Ini tidak sepenuhnya salahmu. Aku juga salah, karena waktu itu sok jadi pahlawan." Ucap Murray yang terdengar agak aneh.

Ivy yang mendengarnya hanya terdiam. Dia menatap Murray dengan lekat. Saat Murray menyadarinya, wajahnya seketika memerah dan berlalu pergi. Meninggalkan ivy.






SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang