BAB 1-B

204 6 0
                                    


Seorang pria tengah duduk santai di sofa sambil menikmati secangkir kopi hangat. Pria itu memiliki perawakan tampan dengan jambang tipis yang menghiasi pipinya, meskipun sebenarnya usianya tak lagi muda. Saat pria itu hendak mengambil koran yang ada di atas mejanya, tanpa sengaja ia melihat seorang gadis tengah berdiri ditengah tangga. Menatap ke salah satu dinding.

Hal itu hampir saja membuatnya menyemburkan kopi yang sudah ada di dalam mulutnya, ia segera meneguk minumannya lalu berkata "Ivy."

Suara itu membangunkan Ivy dari lamunannya. Dari suara itu, Ivy tahu siapa yang memanggilnya, dia adalah suami ibunya, atau ayah tirinya. Tak ingin berurusan dengan pria itu, Ivy mempercepat langkahnya. Berniat keluar dari rumah itu secepatnya.

Ayah tiri Ivy yang melihat hal itu segera bangkit untuk mengejar Ivy.  Kakinya yang panjang membuatnya dengan mudah mendekati Ivy. Saat Ivy berada di lorong menuju pintu keluar, pria paruh baya itu dengan cepat berdiri di depan Ivy, menghalangi jalannya.

Dengan senyum sumringah dia berkata "Ivy, apa kau mau ku antar ke sekolah ?"

Ivy hanya diam sambil menatapnya dengan dingin. Terlihat raut kebencian dari wajah Ivy, namun pria itu nampaknya tidak begitu peduli.

"Ivy." Panggil pria itu lagi, namun Ivy kembali mengabaikannya.

Ivy Tangerang tak ingin berurusan dengan ayah tirinya memilih berjalan melewatinya, namun pria itu segera menangkap tangannya sambil berkata "Ivy, tunggu."

Kalimat pria itu lembut dan hangat, namun itu membuat Ivy risih, terlebih pria itu menyentuhnya. Ivy dengan cepat menepisnya, sambil berkata "Bajingan, jangan sentuh aku !"

Ivy menatap pria itu dengan tajam, penuh kebencian. Suaranya tegas dan tantang, membuat pria di hadapannya tersentak. Dia terkejut, dan mendadak menjadi gugup.

"Ah... Aku minta maaf." Ucap pria itu.

Ivy hanya diam, melihat hal itu pria itu kembali melanjutkan kalimatnya "Aku cuman kau minta maaf atas kejadian kemarin. Aku tahu kau masih marah atas perilaku yang sangat... Ah... Aku tahu apa yang kulakukan saat itu sangat buru. Tapi  percayalah, saat itu aku sedang mabuk. Aku tidak sadar."

Kalimat pria itu membuat Ivy mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Hari itu, di pukul 3 sore, Ivy baru saja pulang sekolah. Tak sama seperti anak lainnya, Ivy langsung pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ivy hendak membuka pintu rumahnya, namun pintu itu terkunci. Ivy mencoba memanggil ibunya sambil menekan bel, namun tidak ada respon, menandakan tidak ada siapapun di rumah. Ivy mengambil hpnya, berniat menghubungi sang ibu, namun belum sempat itu terjadi, ia malah menerima pesan masuk dari sang ibu. Isi pesan itu mengetakan jika ia berada di rumah Sakin untuk cek kehamilannya, dan ia sudah meninggalkan kunci cadangan di bawah alas kaki tepat di depan pintu utama rumah.

Ivy menatap ke bawah, dimana saat itu ia sedang menginjak alas kaki yang ibunya maksut. Ia segera mengeceknya, dan ia langsung menemukannya. Ivy segera membuka pintu itu. Setelahnya Ivy segera masuk ke dalam rumah, ia segera melepas sepatunya, lalu menggantinya dengan sendal rumah yang empuk, lalu pergi ke kamarnya. Tanpa Victoria sadari, ia belum mengunci pintu utama itu, ia hanya menutupnya.

Saat Ivy tiba di kamarnya, Ivy segera meletakkan tasnya di meja belajarnya, melepas masker, serta dasinya. Setelahnya Ivy duduk di ujung kasurnya sambil melakukan bertegangan ringan, hanya sekedar melepas ketegangan ototnya.

Pantulan sinar matahari sore memasuki kamarnya, mengenai kulit Ivy yang saat itu berkeringat. Hal itu membuatnya seperti bercahaya, terlihat cantik di lihat di bagian sisi kanan nya, dimana tidak ada bekas luka bakar. Tapi di sisi lain, itu membuatnya merasa sangat gerah, bahkan baju seragamnya mulai basah.

Tanpa sengaja Ivy menatap poster besar seorang balerina yang terpasang tepat di depan kasurnya. Poster itu memiliki ujung yang sudah menguning dan sedikit rusak, menandakan poster itu sudah sangat lama. Saat itu pandangan Ivy nampak layu, ia nampak sedih.

Ivy menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan ya dengan kasar. Ia bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi, berniat untuk mandi. Ivy merasa gerah saat itu. Badannya cukup lengkap dan bau, mungkin karena musim panas.

Ivy masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Ivy tidak menutup kamar mandinya, ia membiarkannya terbuka lalu mulai membuka pakayan seragamnya, tidak lupa ia memasukkan pakayan kotornya ke keranjang baju. Setelah melepas semua pakaiannya, Ivy berjalan ke partisi shower. Ia menghidupkan shower itu, membiarkan seluruh tubuhnya masih dengan air yang sangat menyegarkan.

Ritual mandi Ivy terhenti saat ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ia mematikan shower-nya, lalu berkata "Ibu ?"

Ivy pikir itu adalah ibunya, karena memang hanya ibunya yang Ivy izinkan masuk ke kamarnya. Namun tidak ada balasan dari sang ibu, namun ia masih mendengar suara langkah kaki mendekat. Karena penasaran, Ivy keluar untuk melihat siapa orang yang masuk ke kamarnya, dan ia sangat kaget saat melihat seorang pria berdiri di ambang pintu masuk kamar mandi. Pria itu melihatnya... dengan tatapan cabul yang sangat menjijikkan.

Ivy dengan cepat mengambil handuk yang berada di sisi dinding pintu kaca partisi shower. Ia menutupi tubuhnya dengan handuk, lalu ia menatap pria cabul itu dengan marah.

"APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI !" Teriak Ivy.

Tapi bukannya menjawab, ataupun pergi.  Pria itu maha tersenyum semakin lebar, lalu berjalan mendekatinya. Pria itu berjalan dengan goyang, wajahnya terlihat kusam dan bau alkohol tercium sangat kuat. Pria itu mabuk.

"Berhenti di sana, kalau tidak aku akan teriak !"  Ucap Ivy tegas, namun pria itu mengabaikannya.

Ivy mulai panik dan takut. Saat itu Ivy ingin sekali kabur, namun ia tak memiliki akses untuk keluar, jika ia berlari ke depan pintu kamar mandi, pria itu jelas akan mendapatkannya, dan di kamar mandinya tidak ada jendela. Pintu itu satu-satunya jalan keluar. Meskipun begitu, Ivy tak menyerah, ia harus melawan. Ia dengan cepat mengambil botol sabun-nya, lalu melemparkannya pada pria berusia paruh baya. Botol itu mengenai pria itu, tapi itu jelas tidak memiliki efek apapun.

Dalam hitungan detik, pria itu sudah ada di depannya. Ia menatap tangan Ivy. Ivy mencoba untuk memberontak, namun kekuatannya tidak sebanding. Ia berteriak, meminta pertolongan namun pria itu tidak bergeming, yang ada dia malah tertawa gila. Ya, dia memang gila.

Pria itu berhasil menyentuh handuknya. Ia menariknya sehingga handuk nya terlepas. Untuk sesaat dia terdiam, menatapi tubuh polos Ivy. Itu memalukan, itu menakutkan. Ivy yang sudah terdesak menendang selangkangan pria itu dengan kuat. Itu membuat pria itu terjatuh. Itu sangat sakit, tapi Ivy jelas tak peduli.

Setelah lepas dari cengkeraman pria gila itu, Ivy dengan cepat  mengambil handuknya lalu berlari keluar kamar. Ia mencari tempat bersembunyi yang aman. Jauh dari pria itu.

"Ivy ?" Suara itu membangunkan Ivy dari lamunannya. Ivy menatap si pemilik suara. Dari tangga, ia melihat ibunya berdiri di pertengahan anak tangga. Menatapnya serta ayah tirinya dengan bingung. Itu wajar, pasalnya Ivy tak menceritakan apapun pada ibunya atas kelakuan Rouni Robinson. Ya, itulah nama dari ayah tiri Ivy.

"Apa yang sedang kalian bicarakan ?" Tambah sang ibu Ivy.

"Sayang ?!" Ucap Rouni gugup sambil menatap ibu Ivy.

"Ah, itu..."

Ibu Ivy hanya diam, ia menatap suaminya seakan meminta penjelasan, itu membuat Rouni semakin gugup hingga ia kesulitan menjawabnya.  Setelah beberapa detik, ia berkata "Kenapa sih dia masih sekolah ?"

Rouni kembali menoleh ke arah Ivy, namun saat ia kaget saat tak menemukan Ivy di dekatnya lagi. Gadis itu ternyata telah pergi di saat Rouni berpikir mencari alasan pada ibunya. Rouni menatap ibu Ivy lagi, ia terlihat canggung.

"Dia sudah pergi. Aa, mauu, Kubuatkan sarapan Linda sayang ?" Tanya Rouni sambil menatap ibu Ivy, namun ia mengatakannya dengan canggung. Ya... Linda Hansen, adalah nama panjang dari ibu Ivy.

Saat Linda mendengarnya, ia tersenyum lalu menjawab ucapan sang suami dengan anggukan lembut. Senyumnya terlihat sangat cantik, dia masih mempesona meskipun tak lagi muda. Tapi, jauh di dalam pikiran Rouni, Ivy jauh lebih menggoda karena ia masih moda dan rapat. Siapa yang akan menolak gadis muda seperti Ivy untuk bersenang-senang meskipun dia memiliki sedikit kecacatan.

SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang