20-B-2

45 4 0
                                    

Hi pembaca, mohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan dalam penulisan novel ini. Jangan lupa komentar atau kritik yang membangun agar kedepannya saya bisa lebih baik lagi. Jangan lupa juga like dan follow ya.

***

Ivy menatap jam yang terpasang di dinding kamarnya. Jam itu sudah menunjukkan jam 08.00, dimana jam pelajaran akan segera di mulai. Seharusnya Ivy sudah berjalan menuju kelasnya, namun ia masih berada di kamarnya. Sementara Marlin sudah pergi sedari tadi.

Membicarakan soal marlin. Marlin kini menjadi lebih pendiam, dan seolah menghindari Ivy. Dia nampak takut, tapi itu bagus menurut Ivy.

Ivy melihat ke arah meja belajarnya. Menatap buku misterius yang ia ambil dari Vivian. Ivy mengambilnya dan membukanya. Tapi betapa kagetnya Ivy saat melihat buku itu telah kosong, tanpa satupun tulisan di dalamnya.

"Ba, bagaimana bisa tulisan di buku ini menghilang !" gumam Ivy bingung.

Merasa buku itu telah rusak, Ivy hendak membakarnya, namun ia mengurungkan niatnya. Ivy memasukkan buku itu ke dalam tas magis, dimana tas itu bisa memiliki ruang yang sangat besar di dalamnya. Mirip seperti kantong Doraemon, tapi ini berbentuk tas ransel. Para penyihir biasanya menggunakan ya untuk menyimpan barang pribadi mereka, bahkan ada yang menjadikannya sebagai rumah.  Tapi jelas menjadikan tas magis sebagai rumah terlalu beresiko.

Ivy mendapatkannya Adalgiso. Pria tua itu membelikannya bersaman dengan peralatan sekolah. Dia cukup royal pada Ivy. Ya... Meskipun tampang Adalgiso sangat menyeramkan.

"Ah, sudahlah. Aku harus pergi sekarang. Jam pelajaran akan segera di mulai, aku tak mau terlambat!" Gumam Ivy, setelahnya Ivy segera pergi ke-kelasnya dengan langkah yang cepat.

***

Setelah Ivy sampai di kelas, ruangan sudah sangat ramai. Ivy melihat ke sekelilingnya, itu adalah ruangan yang mirip dengan laboratorium, hanya saja itu terlihat sedikit suram dan aneh karena ada banyak benda yang tidak lazim di sana. Itu adalah ruangan peracik ramuan sihir.

Sesaat Ivy berpikir "bukankah ini menarik. Kenapa aku tidak membuat ramuan awet muda serta... Obat agar aku bisa memiliki keturunan. Siapa tahu apa yang dikatakan Cagatay Cotton Ulusoy salah, siapa tahu aku bisa mengandung."

Saat ia memikirkannya, ia mulai membayangkan bagaimana ia melahirkan anak Brayen. Mereka pasti akan hidup bahagia selamanya. Perlahan, Ivy tersenyum lemah, ia bahagia hanya dengan memikirkan hal itu.

Ivy berjalan ke tempat duduk yang ada di sudut belakang ruangan. Karena hanya tempat itu yang kosong, saat Ivy sampai, ia malah melihat remaja laki-laki berambut putih, siapa lagi jika bukan Hugo Murray McKellen.

Murry saat itu tidak sadar dengan kehadiran Ivy. Dia terlalu fokus menatap Elsie Cotton yang saat itu duduk di bangku paling depan bersama teman-temannya. Gadis itu tersenyum lebar, dia terlihat sangat cantik saat itu

Saat Ivy melihat gerak gerik Murry, dia merasa kasihan. Dan ia berpikir jika Murray terlalu bodoh, pasalnya Murray mengejar-ngejar gadis yang sebenarnya tidak pernah menghargai perasannya. Ya... Ivy sangat yakin jika Elisa cotton tidak pernah menghargai perasaan Murray.

Elisa Cotton mendekati Murray hanya untuk menarik perhatian Sir John McKellen, sepupu Murray sendiri. Sir John McKellen diketahui sangat membenci Murray karena dia sangat lemah dalam sihir. lebih tepatnya, Sir John McKellen menganggap Murray sebagai aib bagi keluarga McKellen, jadi Sir John McKellen bertekat merebut segala hal yang Murray miliki termasuk gadis yang dekat dengannya. Sir John McKellen ingin Murray menderita dalam kesendirian.

Tak tahan dengan sikap Murray, Ivy berkata "Kenapa kau begitu bodoh ?"

Mendengar suara yang lembut, namun terkesan kasar telinganya membuat Murray menoleh ke asal suara. Murray begitu terkejut saat melihat Ivy duduk di sebelahnya, menatapnya dengan tatapan datar.

"A, apa maksudmu ?"

"Gadis itu tudak menyukaimu. Kau bisa lihat bagaimana dia mencoba mendekati sepupumu, tapi kau disini malah mengharapkannya. Bukankah itu bodoh." Ucap Ivy yang membuat wajah Murray yang awalnya putih menjadi merah padam karena marah.

" kasihnya." Ucap Ivy lagi, lalu ia tersenyum mengejek.

Murray sangat marah. Dia dengan kasar membanting apapun suami barang yang ada di depan mejanya. Itu mengangetkan semua siswa, termasuk Ivy, namun gadis itu masih bersikap tenang.

"Tarik ucapan-mu !" Geram Murray sambil menatap Ivy menuju amarah.

Melihat hal itu, wajah Ivy terlihat suram. Dia hanya menatap Murray dengan tatapan datar. Saat itu, Ivy tidak marah, sebaliknya Ivy merasa sedikit iba.

"Apa namanya kalau bukan bodoh dan menyedihkan ? " Tanya ivy.

"Jaga ucapan-mu ! Aku tidak bodoh !" Ucap Murray lagi dengan penuh penekanan.

Ivy menatap remaja laki-laki di hadapannya. Remaja itu terlihat sangat marah, hingga wajahnya benar-benar memerah seperti tomat. Tak ingin membuat maslaah lebih rumit, Ivy memutuskan menyudahinya.

Ivy menghembuskan nafas kasar, lalu berkata "Hem... Baiklah, terserah kau saja."

Tidak lupa Ivy mengucapkan mantra, yang membuat semua barang yang Murray jauhkan kembali ke bentuk semula. Semua murit yang melihatnya terpukau, pasalnya mereka belum mempelajari hal itu.

Murry yang melihat hal itu juga terkejut. Tapi dia tidak mudah berbaikan dengan Ivy hanya karena Ivy membantunya. Pria itu mengambil barang-barangnya, lalu pergi mencari tempat duduk lain. Jauh dari Ivy.

Ivy sendiri tidak peduli. Dia hanya menatap pria itu pergi dengan wajah santainya. Tidak lama guru pemilik kelas itu datang. Dia melangkah masuk dengan penuh percaya diri, serta senyum merekah di wajahnya yang cantik dan terawat. Semua siswa juga menyapanya dengan ramah, kecuali Ivy. Gadis muda itu terpana saat melihat guru muda itu.

"Itu, bukannya Vivian. Wanita penjual tongkat sihir ?" Gumam Ivy terkejut.

Guru itu memang Vivian. Wanita yang sama yang Ivy temui di toko tongkat sihir.

Saat Vivian menyadari tatapan Ivy, dia hanya membalasnya dengan kedipan mata serta senyuman manis. Itu membuat Ivy semakin yakin, jika wanita di hadapannya adalah Vivian.

"Ah, dia benar-benar Vivian. Kenapa dia ada di sini ? Apa dia guru dari kelas ini ?" Batin Ivy.

"Nah, apa kabar kalian semua para menurutku." Ucap Vivian dengan penuh semangat.

Vivian menatap semua muridnya dengan senyum cerah di wajahnya. Itu membuat para murit nyaman dengannya, tidak jarang Vivian melontarkan candaan yang membuat para siswa tertawa.

"Nah, hari ini kita akan belajar ramuan obat penghilang ingatan, atau kerap di sebuah ramuan hijau. Ramuan ini wajib kalian pelajari, karena sebagai penyihir kalian harus bisa membuatnya !" Lanjut Vivian.

Ucapan itu meyakinkan Ivy, jika Vivian benar-benar seorang guru. Sementara para murit menjawab ucapan Vivian dengan patuh, lalu mereka mulai membuka buku soal ramuan. Mencari daftar komposisi pembuatan ramuan itu.

"Baik buk." Ucap anak murit.

"Baca panduannya terlebih dahulu, sebelum membuatnya. Kalian harus memperhatikannya. Obat penghilang ingatan yang bagus harusnya bewarna hijau. Tingkat kekentalannya, rasa dan kepekatan warna harus di perhatikan. Jika kalian salah memberi komposisi pada ramuannya, maka manfaat serta efek sampingnya akan berbeda pula."

Vivian pergi ke salah satu lemari di kelas itu, dia mengambil botol kaca bersisa cairan bewarna hijau sambil berkata "Nah, ini adalah contoh ramuan yang benar."

Dia menunjukkannya dengan begitu jelas, semua orang terkesima melihat ramuan yang begitu sempurna. Termasuk Ivy, namun sesaat kemudian, Ivy mulai menyadari sesuatu.

"Itu, itu mirip dengan cairan yang Taki berikan pada Brayen beberapa waktu yang lalu." Gumam Ivy.

Seketika jantung Ivy merasa akan meledak. Rasa cemas menggantinya, membuat seluruh tubuhnya terasa lemas dan emosinya mulai tak stabil. Ini sangat menyakitkan ! Seakan langit telah runtuh.

***

Hi pembaca, mohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan dalam penulisan novel ini. Jangan lupa komentar atau kritik yang membangun agar kedepannya saya bisa lebih baik lagi. Jangan lupa juga like dan follow ya.

SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang