29-A-2

41 3 0
                                    

Malam hari terasa begitu gelap, dan udara begitu dingin. Keadaan lingkungan yang dikelilingi pepeohonntinggi membuat suasana terasa mencekam. Beruntung langit terlihat indah ditaburi bintang serta bulan sabit.

Ivy mendesah kasar saat melihat langit. Dia mengalihkan pandangannya dari indahnya langit, menatap seorang wanita paruh baya yang tengah menenteng tas besar. Wanita itu menatap ivy sambil tersenyum ramah. Dia mendekati ivy dan Murray.

"Ini kuncinya. Mulai sekarang rumah serta isi-isinya resmi milik kalian !" Ucap seorang wanita paruh baya itu sambil menyerahkan kunci ke tangan Ivy.

Ivy segera menerimanya lalu mengucapkan terima kasih. Wanita paruh baya itu segera pergi setelahnya. Meninggalkan, Ivy dan Murray di depan  rumah sederhana yang terbuat dari batu.

"Ivy, darimana kau mendapatkan uang ?" Ucap Murray saat Ivy tengah membuka kunci pintu rumah.

Ivy menatap Murray, lalu berkata "Hem… sebenarnya, aku punya tas ajaib yang bisa menampung banyak barang. Tapi tas milikku itu hanya berisi beberapa buru dan barang-barang kecil milikku. Aku memutuskan untuk menjualnya agar kita bisa membeli rumah dan membeli beberapa makanan."

Ya, Ivy memang menjual banyak barangnya seperti buku serta barang kenangannya bersama ibunya. Sebenarnya berat bagi Ivy melakukan hal itu, karena suami barang yang dia miliki sangatlah berharga, tapi dia harus melakukannya  agar bisa mendapatkan uang. Dengan uang itu, Ivy dapat memberi rumah sederhana yang letaknya agak jauh dari desa, serta mampu membeli beberapa bahan makanan untuk mereka makan. Ini dia lakukan agar mereka dapat bertahan hidup.

"Ivy, aku minta maaf." Ucap Murray lemah, dia merasa bersalah karena sebagai pria Murray tidak mampu membeli atau memenuhi kebutuhan hidupnya dengan Ivy.

"Minta maaf untuk apa ?" Tanya Ivy.

"Seharusnya sebagai suami aku yang membeli rumah dan memenuhi kebutuhan kita. Tapi malah kau yang melakukannya."

Ivy menatap pria itu, hanya melihat raut wajah Murray. Ivy dapat merasakan ketulusan serta rasa bersalah pria itu. Ini membuat Ivy merasa senang, tapi sejujurnya Ivy tidak mempermasalahkannya. Dia baik-baik saja, meskipun ada sedikit kesedihan di sudut hatinya.

"Sudah jangan terlalu dipikirkan. Ayo kita masuk, dan mempersiapkan makanan." Ucap Ivy, lalu ia berlalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Murray.

Namun beberapa langkah kemudian, Ivy terima. Ia berpikir sejenak tentang kalimat Murray barusan. Dia mendengar Murray bilang kata "suami," namun Ivy tidak begitu yakin dengan pendengarannya sendiri.

"Tadi… dia bilang suami ? Mungkin aku salah dengar." Gumam Ivy.

Ivy segera membuang pikiran itu. Dia mulai memasak makanan untuk mereka makan malam itu di dapur. Sebenarnya Ivy tidak tahu masak, ini juga pertama kalinya dia masak. Tapi dia berusaha keras agar bahan makanan yang dia beli menjadi makanan yang lezat. Murray sendiri hanya bisa menonton, karena dia tidak tahu apa-apa soal dapur.

Ivy hanya memasak sup tomat dan roti. Roti sendiri tidak Ivy masak sendiri, dia membelinya tadi. Saat semua telah tersaji, Ivy dan Murray pun makan dengan lahap. Entah itu karena makanan itu benar-benar enak, atau karena mereka benar-benar lapar hingga piring makanan mereka benar-benar kosong.

Saat Ivy menanyakan "apa makanan buatannya enak." Pada Murray, dia hanya menatapnya enak. Pria itu tidak memiliki keluhan pada masakannya sama sekali. Dan ini membuat Ivy merasa senang.

***

sekian harinya, tepatnya di siang hari yang terik. Murray berjalan dengan kaki yang telah gemetar karena beban berat di punggungnya. Murray meletakkan karung besar yang tadi di pikul ke tanah, lalu duduk di sampingnya. 

"Hah… lelahnya." Keluh Murray sambil mengelap keringat yang terus bercucuran di keningnya. 

Murray menatap telapak tangannya yang kini sudah merah dan lecet, lalu berkata "Telapak tanganku terasa perih, dan seluruh otot terasa pegal."

"Jika dipikir-pikir, ini kali pertama aku melakukan pekerjaan berat." Gumam Murray.

Murray pun berpikir sejenak tentang kehidupannya di masa lalu. Dia adalah anak dari keluarga kaya yang di besarkan dengan kemewahan. Meskipun orang tuanya menganggapnya lemah karena tidak bisa menggunakan sihir, namun Murray tetap diperlakukan bak pangeran. Dia bahkan tidak pernah mencuci piring bekas makannya sendiri, namun kali ini dia malah melakukan pekerjaan kasar.

Pada kenyataannya, dia bisa saja menjadi banjingan dengan cara membiarkan Ivy bekerja sendiri. Tapi dia tidak melakukan hal demikian. 

"Kenapa aku melakukan ini ya." Gumam Murray.

Tiba-tiba Murray teringat wajah Ivy yang tak berdaya saat mereka baru saja sampai di tahun ini. Murray juga teringat bagaimana dia merawat Ivy yang sedang sakit dengan tangannya. Bagaimana gadis itu pada akhirnya sembuh, waktu gadis itu tersenyum dan tertawa bersamanya.

Perasan aneh mulai muncul. Perasaan ini sulit digambarkan dengan kata-kata, ini seperti ada tujuan bunga mekar seperti musim semi di hatinya. Tapi ini terasa lebih indah, dan Murray merasa Sangat bahagia. Dia senang.

"Aku tahu, aku bekerja untuk makan. Tapi entah kenapa aku begitu semangat melakukannya. Aku juga sangat menantikan saat jam pulang tiba." Gumam Murray.

Bayangan saat Ivy mengambilnya pulang ke-rumah terlintas. Ini membuat Murray tanpa sadar tersenyum.

"Ivy. Di sedang apa ya ? Apa pekerjaan ya berat ?" Gumam Murray.

"Ah, sial. Gadis itu selalu ada di pikiranku. Aku juga merasa begitu nyaman saat dekat dengannya. Aku merasa marah saat mendengar dia bicara soal kekasihnya. Aku sedih dan khawatir saat melihatnya kesakitan. 

Apa yang terjadi denganmu ! Perasaan ini… terus tumbuh ? Apa ini yang namanya cinta ?" Tanya Murray pada dirinya sendiri.

Pertanyaan itu terus terngiang di pikiran Murray. Membuat perutnya merasa tergelitik, seakan tubuhnya mengiyakan pertanyaan itu.

Ditempat yang berbeda, Ivy tengah belajar membuat roti dengan seorang wanita paruh baya. Wanita itu adalah wanita yang sama yang rumahnya Ivy beli sebelumnya. Dia bernama Loren.

Loren mengajari Ivy dengan sabar bagaimana cara membuat roti dengan benar. Dia juga memberitahu Ivy hal-hal apa saja yang harus dia kerjakan di toko roti itu selain membantunya membuat kue di dini hari. Seperti membersihkan toko, dan melayani pembeli.

Loren juga memperkenalkan Ivy pada suaminya serta anaknya. Suami Loren bernama  Tutin, dia pria yang nampak sangat ramah. Sementara kedua anak Loren adalah Dora (perempuan) dan Dion (laki-laki). Dora dan Dion adalah saudara kembar, mereka memiliki usia 2 tahun lebih tua dari Ivy.

Keadaan ini sebanrnya agak mengejutkan Ivy, pasalnya usia Loren dan Tutin baru menginjak 35-40 tahun-nan, namun anak mereka sudah sangat besar. Itu berarti Loren dan Tutin mungkin menikah di usia 14-17 tahunan. Dan ini terdengar tidak bisa di zaman Ivy berasal, namun pada zaman itu (1319) sangat wajar jika seorang wanita menikah di usia belasan tahun.

Saat Ivy mengetahui fakta jika Loren dan Tutin menikah di usia yang sangat muda, dia menjadi ingat dengan status nya dengan Murray. Mereka juga pasangan suami istri saat ini, meskipun pernikahan mereka di laksanakan begitu mendadak tanpa persiapan apapun, itu tetaplah pernikahan. Fakta ini membuat Ivy sedih, karena dia merasa telah mengkhianati Brayen.

SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang