27-B-2

35 2 0
                                    

***

"Aah, sial." Gerutu Ivy. 

Ivy membalikkan badannya, menatap Murray yang saat itu tengah duduk di pinggir kasur. Lalu Ivy menunjuk pria itu sambil berkata "dan kau ! Kenapa kau tidak melawan atau mengatakan sesuatu saat dia menikahkan kita ?!"

Ya, Ivy dan Murray sudah menikah dengan prosesi pernikahan Ortodok. Namun prosesi pernikahan itu jauh dari kata layak. Mulai dari prosesi pernikahan yang  tidak dilakukan di gereja, tidak pula di hadiri sanak keluarga, cincin pernikahan hanya dari dua besi kecil yang berbentuk lingkaran, tidak ada gaun atau baju yang inda, makanan mewah dan banyak lagi kekurangannya. Bahkan Ivy ragu apakah Rayon benar-benar imam gereja. 

Tersirat pikiran buruk mengenai Rayon dalam pikiran Ivy, "apakah dia orang gila yang terobsesi menjadi imam gereja ?"  

"A, aku... Tidak tahu harus berbuat apa. Pria itu sangat gigih." Ucap Murray yang terdengar sangat gugup.

Pria itu tidak berani menatap Ivy. Sedari tadi dia hanya menundukkan kepalanya, bahkan gelagapnya nampak aneh. Ya… pasalnya pria itu tidak marah sama sekali dengan sikap Rayon yang bisa dibilang sangat kurang ajar, malah dia mengikuti semua instruksi Rayon dengan patuh. Bukankah itu sangat menjengkelkan bagi Ivy !?

"Lagipula, kita seharusnya bersyukur karena pria itu sudah memberi kita tempat berteduh malam ini." Ucap Murray.

Ivy terdiam. Dia menatap ke sekelilingnya. Saat itu, Ivy dan Murray berada di dalam kamar yang sangat sederhana. Kamar itu berdinding dan berlantaikan kayu, dan tidak banyak perabotan di kamar itu. Hanya ada satu meja dan kasur di sana. Tapi tempat ini jauh lebih baik ketimbang mereka harus tinggal di tenda buatan Murray.

Suara ketukan pintu terdengar. Membuat Ivy dan Murray menoleh ke asal suara. Lalu tak lama terdengar seseorang bicara.

"Hei pasangan muda !" Suara itu adalah milik Rayon, pria yang mengaku imam gereja. 

"Ya ?" Ucap Murray dan Ivy bersamaan.

"Keluarlah, kita akan makan malam bersama." Ucap Rayon.

"Ya, tuan. Kami akan segera menyusul." Balas Murray. 

Suara langkah menjauh terdengar dari balik pintu kamar. Menandakan Rayon telah pergi. Murray kembali menatap Ivy, tatapannya terlihat lembut dan senyum. Tatapan itu begitu menyenangkan dan memiliki arti tersendiri, ini membuat jantung Ivy berdebar. Karena selain sebelumnya, hanya Brayen yang dia ingat sering menatapnya dengan tatapan seperti itu.  

Saat Ivy teringat pada sosok Brayen, sosok pria yang dia cintai. Dia menjadi sedih. Rasanya begitu menyakitkan seakan ditusuk ribuan duri. Tapi Ivy tidak tahu rasa sakit itu di mana.

Tanpa Ivy sadari, Murray memperhatikannya sedari tadi. Tatapan pria itu menjadi dingin, seolah tidak senang saat melihat Ivy bersedih. Ya, Murray bisa melihat dengan jelas tatapan sayu Ivy. Gadis itu mungkin memikirkan sesuatu, dan entah kenapa Murray tidak menyukainya. 

"Ivy, ayo kita keluar. Tidak enak membuat tuan rumah menunggu." Suara Murray itu membangunkan Ivy dari lamunannya.

Gadis itu hanya membalas ucapan Murray dengan suara anggukan. Lalu kedua pasangan suami istri baru itu segera pergi ke ruang makan. Saat mereka sampai, Rayon telah duduk di satu kursi di depan meja makan. 

Kursi di meja makan itu terlihat sedikit berbeda. Hal itu karena Rayon hanya memiliki satu meja makan, dan dua kursi lainnya adalah balok kayu biasa. Tapi itu bukan masalah besar. 

"Aku minta maaf karena hanya bisa menghidangkan makanan sederhana ini." Ucap Rayon saat Ivy dan Murray duduk di kursi yang telah disediakan. 

Ivy melihat ke atas meja makan. Meja itu telah tersaji kencang rebus serta daging bakar dengan potongan besar yang nampak sangat lejar dan menggiurkan. Hanya dengan melihatnya, Ivy dan Murray merasa sangat lapar, terlebih mereka sudah lama tidak memakan daging. 

SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang