30-A-2

54 1 0
                                    


"Nyonya, pria itu datang lagi !" Ucap Ivy sambil merpati menemui nyonya Loren yang saat itu tengah bersantai.

Nyonya Loren yang mendengar hal itu merasa kesal, dia meletakkan gelas minumnya dengan kasar di atas meja sambil berkata "Ah, sial. Kalau bukan karena uangnya, sudah aku usir pria bejat !"

Pria bejat yang dimaksud nyonya Loren adalah Lukas. Pria itu selalu datang ke tokonya, bahkan terkadang dia bisa datang dua kali dalam sehari, padahal dulu dia hanya datang 3 hal sehari hanya untuk mengambil barang pesanannya. Nyonya Loren sendiri tahu kenapa pria itu datang ke tokonya, dia ingin melihat pegawai barunya yang cantik. Nyonya Loren jelas tidak bisa menerima hal itu, bukan karena dia iri karena Lukas mendekati Ivy, tapi dia tidak suka Lukas mengigau karyawannya. Terlebih Ivy sudah menikah.

"Baiklah, kau pulang aja sekarang." Ucap Nyonya Loren sambil bangun dari kursi kebesarannya.

"Baik nyonya." Jawab Ivy patuh.

"Lewat pintu belakang saja. Dan jangan lupa bawa beberapa roti di belang."

"Baik nyonya."

"Ya ya…" ucap nyonya Loren sambil berlalu pergi. Dia akan menemui Lukas, pria mata keranjang yang suka menggoda para gadis.

Ivy pun pergi ke tempat dimana nyonya Loren menyimpan roti sisa jualannya kemarin. Disana ada 10 roti berukuran besar dan panjang. Ivy mengambil dua roti, itu cukup untuk ia dan Murray. Ivy segera menyimpannya di tas nya.

"Ah, kau sudah mau pulang ?" Ucap seseorang, yang tak lain adalah Dion.

Ivy menatapnya, dan berkata dengan singkat "Iya."

Suasana terasa canggung saat itu. Hal itu karena Ivy memang menjaga jaraknya dengan Dion. Ivy tidak mau jika hubungannya dengan nyonya Loren menjadi buruk hanya karena dia bersikap akrab dengan Dion.

Orang pada zaman itu sangat sensitif pada hal semacam ini, bahkan terkadang pria dan wanita yang bersahabat sejak kecil bisa di salah artikan oleh orang lain. Jadi daripada mendapat masalah, lebih baik menjaga jarak.

"Ambil lagi rotinya. Ini masih banyak." Tawar Dion.

"Tidak, ini saja sudah cukup." Tolak Ivy cepat.

"Maaf tuan. Saya harus pulang karena suami saya sudah menunggu." Lanjut Ivy, setelahnya dia pergi secepat mungkin.

Namun saat perjalanan pulang, Ivy baru menyadari ucapannya tadi. Dia mulai merasa bersalah pada Murray dan Brayen.

"Aku sudah menghianati Brayen dengan menikahi Murray. Tapi aku bahkan tidak yakin dengan hubungan ku dengan Murray, aku pikir ini mungkin akan berakhir seiring tanpa aku sadari." Gumam Ivy.

***

Saat Ivy sambi di rumahnya, Ivy bergegas untuk menyiapkan makan karena sebentar lagi Murray akan pulang. Ivy menatap beberapa bumbu dapur dan bersedia makan yang dia miliki. Itu tidaklah banyak, bahkan tidak ada merica, gula, pala, jahe. Yang ada hanya garam, tomat, roti, beberapa kentang dan beberapa sayur yang sudah layu.  ini membuat Ivy pusing.

"Baiklah, aku harus membuat makanan sebelum Murray pulang." Gumam Ivy lesu.

Setelah beberapa menit berkutat di dapur, akhirnya sup tomat buatan Ivy telah selesai. Ivy segera menata makanan di atas meja, lalu dia memasukkan beberapa kayu dalam tungku pemanas karena hari mulai dingin.

"menu hari ini adalah roti dan sup tomat. Aku harap dia suka." Gumam Ivy.

Ivy berjongkok di depan tungku perapian. Menatap kosong ke arah sana, sembari menghangatkan badan. Pikirannya mulai melayang, mengingat kejadian yang dia alami selama seminggu terakhir.

"Kalau di pikir-pikir… sekarang aku sudah bersikap seperti seorang istri.  Tinggal serumah dengan seorang pria, membantunya bekerja, membuatnya makanan, bahkan sekarang aku sedang menunggunya pulang.

Satu-satunya yang tidak kami lakukan adalah berhubungan suami istri." Saat Ivy mengakhiri kalimatnya, wajahnya memarah.

Ivy mengingat dengan jelas saat mereka tidur bersama beberapa kali. Tidak ada yang terjadi saat itu, namun Ivy mulai membayangkan jika sesuatu terjadi pada mereka. Seperti ciuman atau hal yang lebih pasal dari itu. Hanya dengan membayangkan hal itu entah bagaimana wajah Ivy memarah seperti tomat.

"Astaga ! Apa yang kupikirkan !" gumam Ivy, lalu dia menampar pipinya dengan kedua tangannya, berharap dia tidak lagi memikirkan hal aneh.

"Ivy." Suara itu membangunkan Ivy dari lamunannya.

Ivy berbalik untuk menatap sosok yang sudah memanggilnya. Di ambang pintu, Murray tengah berdiri menatapnya dengan tatapan lembut penuh kehangatan.

"Selamat datang…" ucapan Ivy terhenti saat dia menyadari ada yang berbeda dari Murray.

"Ya ampun Murray. Apa yang terjadi pada wajahmu ?" Ucap Ivy panik, tatkala dia mendapati banyak kebab di kulit pria itu.

"Apa seseorang memukulmu ?" Tanya Ivy.

"Tidak. Mereka tidak melakukan apapun padaku." Ucap Murray bohong.

Hari ini Murray harus berhadapan dengan bos besar tempatnya bekerja karena dia tadi bekerja sangat lambat. Selain itu, bosnya juga terlihat dalam emosi yang tidak baik, jadi sedikit kesalahan membuat Murray menjadi sasaran empuk untuk pelampiasan. Murray di hajar sampai dia merasa puas, setelahnya dia pergi tanpa kompensasi atau ucapan maaf.

Tapi Murray tak ingin mengatakan hal itu pada Ivy. Dia tidak mau membuat gadis di hadapannya itu khawatir.

"Ini hanya kecelakaan kerja." Ucap Murray lalu dia menghindari tatapan Ivy.

"Kau mau apa ?" Tanya Murray saat Ivy menarik lengannya, membuat Murray terpaksa mengikuti kemana gadis itu pergi.

"Mengobatimu dengan sihirku." Jelas Ivy.

Murray menarik tangannya dengan paksa, membuat pegangan mereka terlepas, lalu berkata "Jangan. Bagaimana kalau mereka menyadarinya ? Ini akan berbahaya. Lagipula, kau sedang sakit. Jangan buang energimu hanya untuk mengobati-ku."

Ucapan Murray itu begitu menyentuh Ivy, membuat Ivy tak kuasa menahan air matanya. Gadis itu mulai menangis, membuat Murray panik.

"Jangan seperti ini Murray. Jangan terlalu baik. Kau membuatku merasa sangat jahat !" Bagian Ivy.

"Ja, jangan menangis." Mohon Murray, namun bukannya berhenti Ivy malah menangis.

Murray pun memberanikan diri untuk memeluk Ivy, pelukannya begitu lembut dan hangat. Pria itu juga mengelus punggung Ivy dengan lembut, berharap gadis itu dapat berhenti menangis.

"Ivy, jangan menangis. Aku mohon !" Mohon Murray lagi.

***

Pada malam hari yang gelap, Xia berjalan menyusuri jalan sambil membawa obor di tangannya. Pria itu baru saja pulang dari tempatnya bekerja, dan saat ini tengah menuju rumah.

Saat dia melewati bar, seseorang baru saja keluar dari sana. Seseorang berangkat "Hei, kau !" Ke arah Xia.

Xia mendekati pria itu, lalu bertanya "Ya, tuan Lukas ?"

"Aku mendengar, ada pekerja baru di tempatmu bekerja ? Istrinya yang bekerja di toko roti kan ?" Lokasi mengatakannya dengan suara serak.

Bukan karena dia mengantuk, melainkan karena dia habis minum banyak alkohol. Dia bahkan kesulitan berdiri dengan lurus.

"Maksut pria bermata abu-abu itu kan ?" tanya Xia memastikan.

"Iya. Istrinya yang bekerja di toko roti itu !" Ucap Lukas.

"Katanya mereka datang ke desa ini karena kawin lari." Tambah Lukas.

"Iya tuan. Mereka suami istri. Nampaknya baru saja menikah.
Memangnya, kenapa tuan ?" Tanya Xia memastikan maksud dan tujuan pertanyaan Lukas tadi.

"Tidak, aku hanya ingin bertanya." Ucap pria itu, lalu dia pergi dengan jalan yang goyang. Khas orang mabuk.

SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang