1 minggu kemudian.
"Apa kau sudah siap ?" Tanya Ivy sambil memasukkan buah-buahan ke dalam kain.
Itu adalah kain yang Ivy dapat dari tas ajaibnya. Namun kini tas itu telah menjadi sangat lusuh karena Ivy dan Murray menggunakannya untuk selimut. Hal itu mereka lakukan karena suhu udara sangat dingin pada malam hari, jadi mereka membutuhkan selimut untuk menghangatkan diri.
"Sudah." Ucap Murray.
"Kita harus berjalan secepat mungkin saat langit cerah, karena saat malam hari tidak mungkin untuk kita berjalan." Ucap Ivy lagi. Kali ini dia sudah siap untuk perjalanan jauh.
Ya, Ivy dan Murray memutuskan untuk mencari desa atau kota untuk mereka tinggali. Mereka berpikir jika kota atau desa mungkin lebih layak untuk ditinggali ketimbang hidup di hutan yang sangat terisolasi.
Selain itu, selama seminggu ini Ivy sudah mengajari Murray beberapa sihir yang dirasa penting dalam perjalanan mereka kali ini. Salah satunya adalah lingkaran sihir pelindung yang dulu pernah Ivy buat. Mereka sudah praktek membuat lingkaran sihir pelindung itu beberapa kali, dan Murray berhasil.
"Iya." Jawab Murray yang kini juga telah siap.
"Bagus. Saat berjalan, kita juga harus memberhentikan daerah sekitar kita. Siapa tahu ada pohon buah, atau hewan berbahaya lainnya."
"Ya, tenang saja."
Ivy mulai berjalan. Murray mengikutinya di belakang Ivy dengan patuh. Namun tiba-tiba Murray memanggil Ivy, membuat langkah keduanya terhenti.
"Ivy."
Ivy berbalik untuk menatap Murray sambil berkata "Ya ?"
Murray menghindari tatapan Ivy. Wajahnya masih memerah setiap kali Ivy menatap wajahnya, dan sikapnya terlihat aneh. Tapi dengan wajah yang sangat tampan dan rambut yang unik, itu membuatnya terlihat sangat lucu. Hanya saja, ketampanan Murray belum mampu menggetarkan hati Ivy. Hati gadis itu sepenuhnya telah dimiliki Brayen.
"Kalau aku boleh tanya. Kenapa kau melakukan ritual terlarang waktu itu ?" Tanya Murray.
Murray nampak sangat penasaran saat ini. Dia menunggu jawaban dari Ivy, namun setelah beberapa detik berlalu Ivy tak kunjung bicara. Murray menatap Ivy, saat itu gadis itu terdiam dengan wajah yang murung. Membuat Murray merasa tak enak hati.
"Kalau kau tak ingin menjawabnya, tidak apa-apa kok." Ucap Murray pada akhirnya.
Ivy yang mendengar ucapan Murray kembali menatap Murray. Dalam hati Ivy berkata "mungkin dia akan berpikir aku sangat bodoh jika tahu kenapa aku ingin kembali ke masa lalu. Tapi, aku tak ingin berbohong."
Ivy mendesah kasar lalu berkata "Aku melakukannya karena aku ingin mencegah kekasihku meminum ramuan pelupa."
"Ke, kekasih ? Kau sudah punya kekasih ?" Tanya Murray dengan suara gagap. Dia nampak sangat terkejut saat mendengar ucapan Ivy barusan.
"Ya, namanya Brayen. Dia Bria yang sangat baik dan setia. Itu alasan kenapa aku tak ingin kehilangannya." Tutur Ivy.
Murray hanya terdiam. Dia nampak terlihat murung sekarang, tapi Ivy tidak begitu memperhatikannya karena Ivy sudah kembali menatap ke depan. Dia terlalu fokus pada jalanan di depannya.
"Baiklah, ayo kita jalan." Ucap Ivy yang hanya dibalas dengan deheman oleh Murray.
"Hem…"
Ivy dan Murray pun kembali berjalan. Perjalanan kali ini begitu jauh dan berbahaya. Mereka cukup beruntung karena para manusia Semidio yang belum jinak itu tidak menampakan diri saat siang hari. Hewan buas juga tak terlihat. Itu bagus, mereka dapat dengan leluasa bergerak di siang hari.
Selama perjalanan itu, Murray selalu menatap Ivy. Pria itu itu selalu menjaga jarak dengan Ivy semenak Ivy terbangun. Hal itu karena dia selalu teringat waktu saat dia memberi Ivy makan, serta memeluk gadis itu saat malam hari.
Terkadang Murray merasa begitu takut jika Ivy mengetahui tindakannya yang begitu menjijikan. Ya… meskipun apa yang dia lakukan untuk kebaikan Ivy sendiri, tapi menyuapi makanan yang dia haluskan dengan mulutnya sendiri itu terdengar buruk dan menjijikan.
Selain itu, Murray merasa jantungnya tidak bekerja dengan baik setiap kali dia dekat dengan Ivy. Suara bicaranya dan gerak tubuhnya juga menjadi kaku, meskipun Murray akui dia merasa sangat senang saat dekat dengan Ivy.
Sosok Ivy yang dia kenal saat ini sangat berbeda dengan Ivy yang dia kenal di awal masuk sekolah. Gadis itu selalu menghargai usahanya, dia juga mendengarkan sarannya, dan sabar saat mengajarkan sihir. Ya, beberapa hari ini Ivy sudah mengajarkan sihir, meskipun kenyataannya dia sangat sulit mengontrol kekuatan sihirnya sendiri, tapi Ivy sangat sabar mengajarkan.
Murray menatap ivy kembali. Dengan wajah yang memerah, dia memperhatikan rambut Ivy yang kini telah memutih sepenuhnya.
"Kenapa rambutnya bisa putih ya ? Seingat-ku, rambutnya coklat tua waktu awal masuk sekolah asrama." Gumam Murray yang kini semakin penasaran pada sosok Ivy.
***
Ivy terduduk lemas di tanah dengan nafas yang terhengal-hengal dan keringat yang bercucuran. Murray yang berjalan tepat di belakang Ivy segera mendekati gadis itu dengan ekspresi khawatir."Apa kau baik-baik saja ?" Tanya Murray saat dia berada di samping Ivy.
"Menurutmu ? Apa aku baik ?" Tanya Ivy dengan suara lemah.
"Tidak." Ucap Murray lemah.
"Ya, tidak. Kita sudah berjalan setidaknya 5 jam. Tapi masih belum menemukan apapun ! Ini membuatku kesal." Keluh Ivy.
"Sabarlah." Hanya itu yang bisa Murray ucapkan.
Sebenarnya Murray tidak begitu lelah. Dia sudah terbiasa berjalan, dan berjalan kaki adalah hobinya. Namun dia kasihan saat melihat Ivy yang begitu kelelahan. Murray pun berpikir bagaimana caranya mereka sampai ke tempat tujuan mereka lebih cepat, dan seketika Murray teringat pada Ivy yang suka berteleportasi. Gadis itu cukup sering berteleportasi ke banyak tempat di sekolah asrama sihir. Mungkin banyak orang yang tidak menyadari hal itu, namun Murray yang dapat melihat energi sihir seseorang menyadarinya.
Semakin Murray memikirkan hal itu, semakin Murray ingin mereka menggunakan teleportasi agar sampai ke tempat tujuan mereka. Setidaknya mereka akan menghemat waktu dan tenang dengan sihir itu.
"Apa kita tidak bisa menggunakan sihir teleportasi seperti yang kerap kau gunakan ?" Ucap Murray semangat.
Ivy yang mendengar hal itu menatap Murray sesaat. Dia berdecak kesal, lalu berkata "Sihir itu tidak bisa di gunakan jika kau tidak mengingat lokasi tujuanmu. Intinya, sihir teleportasi hanya bisa di gunakan jika kau sudah pernah ke lokasi tujuan kamu sebelumnya, jika tidak sihir itu hanya akan membawamu ke tempat lain. Yang mungkin lebih berbahaya."
"Begitu ya." Ucap Murray yang terdengar lemah.
Murray menundukkan kelapanya. Dia nampak sedih karena idenya tidak berguna, namun beberapa detik kemudian dia mendapat ide lagi. Idenya adalah terbang dengan kekuatan sihir, seperti yang pernah Ivy dan para siswa hebat lakukan di ruangan perpustakaan.
Murray mengangkat wajahnya lalu berkata "Bagaimana kalau sihir terbang ?"
"Itu akan membutuhkan banyak energi sihir. Dengan kemampuanmu, aku tidak yakin kau bisa terbang bersama denganku." Ucap Ivy yang lagi-lagi mematahkan semangat Murray.
Melihat wajah Murray yang sedih, Ivy pun merasa bersalah. Dia kembali berkata "Bukannya meremehkan kemampuanmu, hanya saja aku tidak mau kau bernasib buruk, sama seperti ku."
Ivy mengatakannya agar Murray tidak berkecil hati. Dan itu sedikit berhasil, pria itu tidak begitu sedih. Pada kenyataannya, Murray tersipu malu karena kata-kata Ivy seolah menyatakan kekhawatiran pada Murray.
"Baiklah, ayo kita jalan lagi." Ucap Ivy.
Ivy pun kembali berdiri. Dia merapikan pakaiannya lalu berjalan pergi mendahului Murray. Murry yang melihat cara jalan Ivy yang nampak aneh karena kelelhanpun berkata "Jika kau lelah. Aku bisa menggendong-mu."
"Terimakasih. Tapi aku masih bisa jalan." Ucap Ivy tanpa menatap Murray.
*******

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMIDIO
Historical FictionIVY DIRUNDUNG DI SEKOLAHNYA KARNA DITUDUH SEBAGAI PENYEBAB KEMATIAN JESSICA, MESKIPUN HAKIM SUDAH MENYATAKAN IVY TIDAK BERSALAH NAMUN SEMUA TEMANNYA MASIH MENGGANGGUNYA. HINGGA SUATU HARI, SEKELOMPOK PEMUDA YANG KERAP MENGGANGGU IVY MENGHILANG SECAR...