21-A-2

34 3 0
                                    


Hi pembaca, mohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan dalam penulisan novel ini. Jangan lupa komentar atau kritik yang membangun agar kedepannya saya bisa lebih baik lagi. Dan dukung aku menjadi penulis dengan cara like dan follow ya.

**

Emosi Ivy memuncak, tanpa Ivy sadar matanya menjadi hitam. Membuat iris matanya seakan termakan oleh kegelapan, garus-haris hitam hitam seperti urat mulai muncul disekitar tubuh Ivy. Tiba-tiba energi yang sangat kuat muncul, membuat orang-orang serta benda-benda di sekitar Ivy merasakan tekanan yang sangat kuat.

Beberapa kaca pecah, meja kayu menjadi patah, besi panjang bengkok dan para siswa di sekitar Ivy tidak kuasa menahan gravitasi bumi yang seakan bertambah. Membuat mereka terjatuh kenapa dan tak sanggup untuk berdiri. Mereka hanya menatap Ivy dengan takut, sama halnya dengan Marlin. Gadis muda itu sangat ketakutan.

Murray, Elisa cotton, serta Vivian yang berada agak jauh dari Ivy mereka hanya bisa terdiam. Mereka kaget dengan apa yang terjadi, karena semua terjadi begitu cepat. Sebelum Vivian mengambil tindakan pada Ivy, Ivy dengan begitu cepat membaca mantra berteleportasi. Ketika sinar terang muncul membentuk lingkaran, Ivy langsung masuk ke sana, dan ia menghilang.

Yang tersisa hanya kekacauan. Keras itu sangat kacau dan beberapa siswa terluka parah. Vivian yang baru menyadari apa yang terjadi hanya bisa terdiam dengan kaki yang gemetar, dia terlihat ketakutan.

***

Diwaktu yang sama, jauh di sudut negeri Semidio. Seorang pria dengan rambut putih panjang berjalan tergesa-gesa. Dia tidak sendirian, dia bersama beberapa pria lainnya, berjalan menyusuri lorong. Saat ia berada di ujung lorong, dimana ada pintu kayu besar disana, pria itu dengan kasar membukanya.

"Tuan, kami telah menemukan putri kandung Cagatay Cotton Ulusoy !" Ucap pria itu.

Seorang pria tua,nyang tidak lain adalah Churchill Babington tertawa keras. Dia menatap pria berambut putih di hadapannya, lalu berkata "Perico McKellen, bawa dia paduku !"

Pria tua itu terlihat sumringah saat mengatakannya. Dia mulai tertawa gila, tawa itu menggema di ruangan. Membuat ruangan itu semakin terlihat menakutkan. Sementara orang-orang hanya menatapnya dengan tatapan cemas, entah kenapa mereka terlihat demikian.

***

Ivy menatap langit cerah yang sudah lama tidak dia lihat. Hari itu adalah awal musim gugur, udara mulai dingin menusuk tulang. Ivy hanya hanya mengenakan setelan seragam dengan dasar ringan merasakan hawa dingin itu. Tapi dia tidak begitu peduli dengan udara dingin yang menyerangnya, dia hanya ingin mengetahui fakta jika Brayan masih mengingatnya.

Ivy mengalihkan perhatiannya, dia menatap rumah pintu rumah Brayen dengan tatapan yang penuh dengan harapan. Perlahan Ivy mendekati pintu itu dengan langkah lemas, serta jantung yang berdegup kencang. Saat itu Ivy begitu merasa takut, ia takut jika Brayen, pria yang dia cintai melupakannya.

Saat Ivy sampai di depan pintu itu. Dia mengetuk pintu itu. Seorang wanita paruh baya keluar dari sana. Ivy tahu siapa dia, dia adalah ibu Brayen.

Ivy segera menghipnotisnya, agar pergerakannya lebih mudah. Saat Ivy bertemu ayah serta saudara Brayen lainnya, dia juga menghipnotis mereka agar tidak mengganggunya. Setelah aksesnya lebih mudah, Ivy menunggu Brayen di kamarnya, karena saat itu Brayen tidak ada di rumah.

Ivy berdiri di depan jendela kamar Brayen, menatap langit cerah cari sana. Ivy terus berdiri di sana, hingga langit mulai gelap. Tiba-tiba suara pintu terdengar, Ivy menoleh ke arahnya sana dengan wajah penuh harapan dan kebahagiaan.

Dari tatapannya, ada rasa rindu yang berkecamuk di sana. Dia ingin menuntaskannya sekarang. Ia begitu mencintai pria itu, hingga seluruh tubuhnya hingga ke ujung sel terkecil di tubuhnya seakan berteriak.

Saat pintu itu benar-benar terbuka dan pria tampan yang selama ini ia rindukan masuk, Ivy tanpa rasa sabar berlari ke-pelukan pria itu. Ia memeluk pria itu dengan sangat erat seolah ia tak ingin lagi di pisahkan dengan pria itu.

Tapi pria itu tidak membalaskan Ivy. Brayen malah menatapnya dengan raut wajah terkejut, dan agak panik. Entah apa yang pria itu pikirkan, tapi itu terasa menyakitkan seolah ada bagian di tubuhnya yang tersayat.  Dalam hati Ivy berteriak, "TUDAK, AKU MOHON, DIA INGAT PADAKU !"

Tapi harapan tinggallah harapan. Dunia benar-benar terasa kiamat saat Brayen berkata "maaf, kau... Siapa ? Kenapa kau ada di kamarku ?"

Kalimat itu seketika membuat kaki Ivy terasa lesu. Ia merasa ingin jauh kelantai dengan namun ia mencoba menahannya, Ivy memegang ujung meja yang ada di dekatnya sebagai tumpuannya. Tapi air matanya tak lagi bisa di tahan, rasanya begitu menyakitkan.

Brayen yang melihatnya hanya menatapnya bingung. Dia mendekati Ivy untuk bertanya lebih lanjut, tentang siapa sebenarnya Ivy dan kenapa dia berada di kamarnya. Tapi suara lembut memanggil namanya.

Brayen menoleh untuk melihat sosok yang memanggilnya, yang kini berada di ambang pintu. Pemilik suara itu adalah seorang gadis muda,  dia adalah sosok yang sangat Ivy benci, hingga ia ingin sekali mengiris tubuh gadis itu dari ujung rambutnya hingga kakinya.

Ivy tertawa getir saat ia melihat gadis itu, itu mengagetkan Brayen serta gadis itu. Setelah puas tertawa, Ivy berkata "Natalie Hershlag."

Tawanya entah kenapa terdengar pilu, disertai air mata yang tak berhenti keluar. Ivy menatap Natali, gadis itu juga menatapnya dengan raut wajah terkejut bercampur ketakutan.

"Ke~kenapa dari sekian banyak wanita, kenapa kau harus bersama dengannya ? Tidakkah kau membencinya juga, sama besarnya denganku ?" Ucap Ivy lirih.

Fakta ini sangat menyakitkan, kekasihnya melupakannya dan dia bersama gadis yang telah menghancurkan hidupnya. Ivy merasa ia di cekik, oleh takdir yang mengaitkan.

Brayen yang melihat hal itu hanya terdiam, dia bingung dengan apa yang terjadi. Sementara Natali, gadis itu perlahan-lahan berjalan menjauh. Saat dia memiliki kesampaian, dia berlari. Hendak pergi dari rumah Brayen.

Ivy yang menyadari hal itu dengan cepat mengejarnya. Ivy menggunakan kekuatannya untuk menangkap Natali. Ivy menatap Natali dengan tatapan tajam penuh dengan amarah, seolah ia ingin menghabisi Natali. Brayen yang melihat Ivy menghilang sangat terkejut.

"Aku pikir halusinasi itu bisa membuatmu menyesal, ternyata kau masih belum jeranya." Ucap Ivy.

Ivy mulai membaca mantra. Lalu cairan hitam muncul dari lantai dimana Natali berdiri. Cairan itu perlahan menenggelamkan Natali. Natali tidak bisa kabur karena tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia hanya bisa menjerit, dia berteriak minta tolong, berharap ada yang bisa membantunya. Brayen yang mendengarnya berlari mendekat ke asal suara, saat ia hendak menolongnya, Ivy dengan cepat menghentikannya dengan sihirnya. Sementara keluarga Brayen lainnya, mereka masih dalam pengaruh hipnotis sehingga tidak bisa membantu.

Suara jeritan itu juga menunggu Ivy. Menghabisi Natali bukanlah hal yang membahagiakan bagi Ivy, tapi membiarkan Natali berkeliaran juga sangat menyakitkan. Terlebih Natali kembali mendekati pujaan hatinya.










SEMIDIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang