50. hilang

584 45 0
                                    

Perjalanan Jakarta - Bandung terasa begitu jauh, selama di jalan tidak ada percakapan apapun diantara keempatnya. Mobil yang biasanya riuh terisi dengan canda tawa dan perdebatan kini senyap. Hanya terdengar isakan - isakan kecil yang saling bersahutan. Memasuki kota Bandung, mereka tak langsung pergi ke rumah duka, tetapi pulang ke rumah merela terlebih dahulu untuk berganti baju dan membawakan baju koko untuk papa. Sesampainya di rumah duka, sepertinya Jenazah nenek juga baru sampai disana, terlihat ambulance dengan pintu belakangnya yang masih terbuka. Sudah banyak orang dan kerabat yang berkumpul, lutut nara terasa sangat lemas, ia tidak seperti berjalan tapi seperti melayang. Keempat anak itu saling bergandengan tangan satu sama lain, memberikan kekuatan dan saling menopang.

Dilihatnya papa duduk bersimpuh disamping jenazah nenek yang dibaringkan, tatapannya kosong dan matanya bengkak dan merah, ia bahkan masih memakai pakaian rumah sakit dan belum sempat berganti baju, disebelah kirinya ada Ibum yang juga terduduk, ia juga sama seperti papa belum berganti baju, masih memakai pakaian rumah sakit. Sedangkan kakek sedang menerima ucapan duka dari banyak orang. Nara, Jaevan dan Elvan berlari memeluk papanya, tangis mereka pecah disana, begitupun tangisan Yohan yang tidak bisa ia bendung lagi kini.

"kirain papa bakalan sendirian," ucap Yohan disela isakannya,

"maaf papa, maafin kita" ucap Nara,

"makasih ya udah pulang, makasih udah peluk papa, makasih ya"

Tidak ada yang menjawab, semua terasa sangat menyakitkan sekarang.

"papa jangan ngerada sendirian, ada kita, papa sama kita, terus, papa jangan ngerasa sendiri" ucap Jaevan, Yohan mengangguk sembari terus terisak, dipeluknya keempat anaknya itu sembari dikecupnya puncak kepala mereka satu persatu. Berapa banyak pun orang disisinya, kehilangan sosok ibu tetap akan membuat siapapun runtuh dan jatuh.

Satu jam kemudian semua prosesi pemakaman selesai, tadi Yohan yang mengumandangkan adzan untuk terakhir kalinya. Kini mereka ada di rumah nenek, beberapa kerabat melakukan persiapan untuk tahlilan sore nanti. Nara, Elvan, Jaevan dan Azri beranjak mendekati kakeknya kemudian memeluknya, Nara menangis lagi disana,

"maafin nenek ya, maafin kalo nenek suka marah - marah, suka cerewet, bikin kalian kesel, maafin ya" ucap Arman,

"iya kek, nenek baik kok, gak pernah marah marah" ucap Elvan sembari terisak,

"nenek jagain kita dari kecil, dari pas mama ninggalin rumah, nenek baik banget kek" ucap Jaevan,

Arman mengangguk, mengelus rambut semua cucunya,

"kakek gapapa, inshaallah kakek udah ikhlas, peluk om kalian gih" ucap Arman, keempat orang itu lalu menoleh pada ibum yang duduk di pinggir pintu, menyambut pelayat yang masih berdatangan tatapannya masih kosong tapi air mata sudah tidak lagi turun, senyumnya sudah bisa tersungging meskipun bukan senyuman secerah biasanya, Nara mendekat kemudian menyodorkan sebuah kinderjoy pada ibum yang membuat omnya itu terkekeh, tapi dengan mata yang berkaca - kaca

"om jangan nangis, om jelek kalo nangis" ucap Nara dengan dirinya sendiri yang menahan tangis,

"makasih yaa,"

"om kalo mau makan sup ayam bilang nara aja, nara udah bisa masak sup ayam yang biasa nenek bikin,"

Ibum terkekeh, air matanya kini turun sebab sup ayam memang masakan ibunya yang paling ia sukai. Ia mengangguk, tangan Nara terulur menghapus air mata Ibum, sebenarnya semua anak Yohan tidak menganggap Ibum adalah paman mereka, mereka lebih menganggap ibum sebagai kakak tertua mereka. Elvan memeluk Ibum dari samping, kemudian tangan Azri juga mengulur mengusap bahu Ibum. Mereka saling memberikan kekuatan satu sama lain.

Our greatest World: PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang