29. it'll be okay

600 41 3
                                    


Jaevan memungut pecahan piring yang ia jatuhkan, saat ini ia menahan banyak kekesalan didadanya, kesal pada dosennya yang sangat menyebalkan hari ini, kesal karena kakaknya yang tiba-tiba menghilang tidak jelas, sedih melihat adiknya yang sakit, dan khawatir pada papanya. Jaevan tau apa yang terjadi pada papa di rumah sakit tadi termasuk penyebab memar di pipi papanya. Rasanya semua yang terjadi hari ini sangat menyakitkan dan menjengkelkan, karena terlalu larut dalam pikiran jarinya pun tertusuk pecahan piring dan berdarah banyak sekali. Dan saat itulah ia menangis kencang, semua beban yang ia tahan pun tersalurkan. Nara memapah kakaknya itu untuk duduk di sofa, kemudian meraih jari tangan jaevan yang terluka untuk dibersihkan. Ia melakukan semuanya tanpa bicara, membiarkan kakaknya menangis, biar semua bebannya itu hilang dulu. Selesai membersihkan luka dan membalutnya dengan plaster, Nara meniup pelan jari Jaevan yang terluka itu, selesai meniup Nara beralih menatap Jaevan kemudian memeluknya, tangis kakaknya belum mereda.

"puk puk pukk, tadinya teteh mau nangis tapi ngeliat aa nangis jadi gak jadi ah" ucapnya sembari menepuk pelan punggung Jaevan,
"aa hebat, makasih ya untuk hari ini, makasih udah bantuin kita jagain a elvan, antar jemput nara, padahal aa juga harus kuliah. Aa keren, nara sayaang banget sama aa"

Bukannya berhenti, tangis Jaevan justru semakin deras,
"jangan nangis terus, kasian a elvan nanti khawatir"

Ah iya, adiknya yang satu itu sedang sakit, ia tidak boleh ikut tau apa yang terjadi hari ini di rumah. Jaevan meredakan tangisnya, ia melepaskan pelukan nara kemudian tersenyum pada bungsunya itu.
"bungsu aa udah gede ya" ucapnya dengan suara serak,

"ih suara aa kayak om-om , gede gitu"

"deep voice ini namanya inem, bukan suara om-om" ucap Jaevan sembari terkekeh, Nara tertawa lebar, tangannya terulur untuk menghapus jejak air mata di pipi Jaevan

"jangan nangis lagi yaa, nara sedih kalo aa nangis, nanti nara maunya meluk aa teruuuss sampe aa gak sedih lagi"

"yaudah sini peluk"

"ah gamau nanti lee jeno cemburu"

"halunya melebihi teknologi dih"

"suka-suka siapa?"

"iya iya terserah bungsu", Nara tersenyum lebar, ia merapikan rambut Jaevan yang sedikit kusut, banyak sekali yang ingin ia ucapkan tapi sulit mengatakannya. Intinya, ia sangat menyayangi laki-laki di depannya itu, ia tidak ingin Jaevan dan kakaknya yang lain terluka, baginya Papa, dan ketiga kakaknya itu adalah poros dunianya, maka jika salah satu poros dunianya itu sedang terluka, maka dunianya juga akan porak poranda.

"nara sayang aa" ucapnya lagi,

"aa juga sayangg naraa,"

"ini tangan aa luka gak bisa ngegambar atuh ya nanti, mana yang kanan lagi" ucap Nara sembari meraih jari telunjuk kakaknya,

"besok juga sembuh," ucap Jaevan sembari memandangi jarinya yang terluka, sejujurnya ia juga bingung karena memang punya tugas yang harus diselesaikan minggu ini,

"ah gapapa, nanti nara bantuin aja kalem"

"ohiya kan ada kamu" ucap Jaevan, kemampuan nara dalam menggambar memang tidak diragukan, itu sebabnya ia terkejut saat Nara bilang akan masuk kedokteran.
"tapi kamu banyak tugas gak?"

"enggakk, santai, tugas SMA mah bisa nyontek, ada Nana, Arfin, sama vina"

"emang beneran adek gua elu tuh" ucap Jaevan sembari terkekeh, sepertinya sikapnya dulu menurun seratus persen pada Nara,

"iyalah, makanya kalo papa nanya kelakukan jelek kita nurun dari siapa, ya dari a jevan"

"kurang ajar", Jaevan menyentil pelan dahi nara, tak lama terdengar deru mesin mobil memasuki garasi, wajahnya kembali berubah dingin

Our greatest World: PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang