Bab 1: Ini Budi. Budi sedang bermain bola.

1.5K 26 1
                                    

Ini Budi.

Budi sedang bermain bola. 

Begitu dua kalimat yang pernah kita baca di buku SD kelas satu. Tapi Budi yang satu ini berbeda. Budi tidak bisa main bola. Nyatanya dia benci sepak bola. Ketika masih kecil dulu, dia harus rebutan remot TV dengan bapaknya karena sepak bola. Budi terpaksa melewati episode kartun kesukaannya untuk bapaknya yang suka nonton bola. Saat itu Budi masih jadi anak SD. Di zaman itu, punya satu TV di rumah adalah hal yang istimewa. Budi beruntung ada TV di rumahnya. Tapi itu belum cukup buat bikin dia bahagia. Dia butuh TV lagi biar dia tidak melewatkan episode kartun kesukaannya di hari Minggu.

Seharusnya bapaknya Budi tetap bekerja walau di hari Minggu. Dia bekerja sebagai penjahit di pasar. Tapi karena televisi sedang menayangkan pertandingan sepak bola, bapak rela untuk berangkat lebih siang karena nggak mau melewatkan pertandingan itu. Bahkan bapak pernah bolos kerja hanya untuk nonton bola di TV.

Budi bisa saja pergi ke rumah temannya buat nonton TV. Sayangnya Budi sangat percaya kalau teman-temannya yang laki-laki juga menonton bola. Budi tidak punya banyak teman di kelas. Itu karena cuma ada 17 siswa dalam satu kelas. Dulunya 18 siswa. Tapi satu teman Budi dikeluarkan dari sekolah gara-gara belum bisa membaca ketika sudah kelas 4. Budi sekolah di SD yang kecil di desa. Tidak ada kelas 6A atau 6B, apalagi 6C. Yang ada hanya kelas 6 saja. Itu adalah kelas Budi.

Ada delapan teman laki-laki di kelas 6. Dan Budi yakin semuanya sedang nonton bola kecuali yang tidak punya TV. Budi enggan untuk bermain ke rumah teman perempuan karena kalau ketahuan teman yang lain bakal jadi bahan olokan di kelas.

Kalau sedang menonton TV, Budi selalu lupa waktu. Bagaimana tidak? Hari Minggu stasiun TV selalu menayangkan kartun dari subuh sampai siang. Dari Doraemon, Spongebob, sampai Dragon Ball, semua disaksikan Budi.

Kadang ibunya marah melihat kelakuan anaknya seperti itu. Menonton TV lama-lama bisa bikin mata rabun katanya. Itu yang ibu percaya.

"Jangan dekat-dekat! Mundur! Setidaknya 3 meter dari TV," begitu kata ibunya.

"Ini sudah 3 meter," bantah Budi.

"Tahu dari mana?"

"Ubin ini panjangnya 20 sentimeter. Jadi 3 meter itu 15 ubin. Ini 15 ubin dari TV. Kalau nggak percaya hitung saja sendiri!"

Ibu Budi kesal dan menghitung ubin keras-keras. Itu membuat Budi terganggu karena televisi masih menayangkan kartun kesukaannya. Setelah selesai menghitung, ibu pergi. Kemudian ia datang lagi membawa penggaris. Dia ukur ubin itu. Setelah puas, ibu pergi dengan memasang muka cemberut.

Tiga meter itu sudah cukup jauh. Kenapa ibu masih menyuruh Budi buat mundur? Beda kalau Bapak yang nonton TV. Seandainya Bapak nempelin muka ke TV, ibu bakal diam saja.

Lalu ketika bapak sedang nonton bola, Budi ngapain? Dia tidak bisa nonton TV. Budi malah pergi dari rumah. Mari kita ikuti saja dia. Kemana perginya Budi? Apakah dia akan pergi ke lapangan buat main bola? Tentu saja tidak. Apa yang dia bawa di dalam tasnya itu? Kenapa dia pakai sepeda? Apakah tujuannya jauh? Dia tidak terlihat sedang buru-buru. Mungkin ia hanya ingin bersepeda.

Dia mengayuh sepedanya dengan semangat. Sesekali ia ambil nada untuk bernyanyi. Jika ia melihat ada orang, ia menghentikan nyanyiannya itu. Ia sadar jalanan bukan cuma miliknya. Dan dia juga sadar kalau nyanyiannya cukup fals untuk mengusir bebek menyeberang jalan. Lagian menyanyi di jalan adalah hal yang memalukan.

Budi masih mengayuh di jalanan yang sepi. Tiba-tiba dia menarik rem dan menghentikan sepedanya. Dia terdiam di sana, melihat ke seberang jalan. Yang dia perhatikan adalah sebuah rumah dengan dua lantai. Di sampingnya tumbuh pohon mangga yang sedang berbuah. Atapnya dihiasi dengan parabola yang terpasang bersama ember di atasnya. Di sana juga tergantung sebuah layangan putus yang melambai-lambai tertiup angin.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang