16

219 12 0
                                    


16

Belakangan aku sadar kalau ketua OSIS yang baru itu adalah Hasan. Beruntung aku tidak masuk sekolah ketika wawancara itu berlangsung. Ibu sudah menulis surat izin sakit di hari wawancara. Aku yakin mereka akan memaklumi.

Aku memang sakit. Masih terasa di muka bekas tinju kemarin. Belum hilang sakitnya. Namun yang lebih menyakitkan adalah mengetahui bahwa bukan hanya aku yang merasakan sakitnya. Kemarin aku memukul bocah itu terlalu keras sampai keluar darahnya. Aku yakin bengkak di mukanya lebih parah. Dan aku kasihan padanya. Aku menyesali apa yang sudah aku perbuat kemarin. Dia tidak pantas mendapatkan penderitaan ini.

Kemarin hujan berlangsung sampai malam. Pagi ini matahari datang dengan cerahnya. Memberi kesempatan orang-orang untuk menjemur kasur yang basah oleh trocoh tadi malam. Juga memberiku kesempatan untuk melihat pelangi yang menghiasi langit. Mungkin itu tidak bertahan lama karena bisa jadi nanti datang hujan lagi.

Di hari itu aku tetap duduk terpaku di dekat jendela, menatap jalanan sambil mendengarkan televisi. Menunggu Budi pulang dari sekolahnya. Siapa tahu dia akan mampir ke rumahku. Dalam sepi aku menunggu. Memandangi banyak kendaraan lewat di depan rumahku. Mungkin dia pulang jam 9 atau 11. Ternyata bocah itu tidak datang, tentu saja. Aku paham kenapa dia tidak datang ke rumahku. Sekolahnya jauh dari rumahku. Kalau memang dia ingin menemuiku, dia akan datang di hari Minggu seperti biasa.

Sampai ketika hari Minggu tiba. Harap-harap cemas aku menantinya. Jika dia tidak datang, bisa jadi dia memang marah. Pertemanan kita mungkin akan berakhir. Mungkin selama ini aku hanya dianggap sebagai teman biasa. Mungkin selama ini dia hanya memanfaatkanku biar bisa nonton TV. Dan setelah perkelahian kemarin dia tidak punya alasan lagi untuk datang ke rumahku. Mungkin si Gilang itu punya TV lebih bagus. Mungkin saja.

Penantianku itu terbayar sudah ketika aku melihatnya dari balik jendela. Seperti biasa dia membawa sepeda. Dia parkir sepedanya di halaman. Di sana sudah ada bapakku. Budi bertemu dengan bapak. Tampak dari sini bapak marah-marah. Bapak menunjuk-nunjuk. Mungkin aku harus segera turun. Tapi terlambat. Bapak mendorong Budi sampai terjatuh di tanah. Aku lari menuruni tangga dan ketika sampai di halaman, Budi sudah tidak ada. Aku memandangi Bapak dengan murka, "Kenapa Bapak mengusirnya?"

"Jangan dekat-dekat dengan bocah itu lagi!"

"Bapak tidak tahu apa-apa!"

Aku ambil sepedaku lalu aku kejar bocah itu. Rupanya dia sudah jauh. Tapi aku tidak mau menyerah. Aku langsung tahu ke mana aku harus pergi. Ke rumahnya. Sepanjang perjalanan aku tidak melihat tanda-tanda keberadaannya. Jejaknya juga tidak ada. Tapi aku terus mengayuh sepeda kuat-kuat.

Aku tarik rem seketika ketika aku melihat sepeda Budi terparkir di sana. Di halaman sebuah rumah yang tidak jauh dari sawah. Ada parabola terpasang di atap rumah itu. Dari jendelanya aku bisa melihat Budi ada di sana, menonton TV bersama Gilang di ruang tamu. Mereka seperti dalam percakapan yang serius. Aku langsung putar balik dan kembali ke rumah.

Mungkin memang benar Budi marah padaku dan dia tidak mau lagi berteman denganku. Aku sungguh menyesal. Tidak seharusnya ini terjadi. Tiara sialan! Semua ini gara-gara dia. Tidak. Ini salahku. Semua ini murni salahku. Bangsat!

Sesampainya di rumah, bapak memandangku seperti mau memarahi. Aku hanya menunduk, tidak mau menatap mukanya. Aku langsung lari ke kamar dan menenggelamkan diriku dalam pelukan guling di kasur.

Walkman itu masih tergeletak di kasur. Aku mengambilnya lalu aku putar lagunya. Kasetnya Budi masih terpasang di sana. Cepat atau lambat dia akan kembali untuk mengambilnya. Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba. Hari ketika dia datang buat mengambil kasetnya. Aku akan jelaskan semuanya. Akan aku perbaiki pertemanan kita. Tidak akan ada lagi perkelahian sia-sia seperti kemarin.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang