17

145 12 1
                                    


17


Pagi itu Budi hendak berangkat ke sekolah. Dia sudah siap dengan seragam yang rapi karena sudah disetrika ibunya. Tas juga sudah dia bawa. Biasanya sebelum berangkat sekolah, Budi selalu pamit dan salim dengan bapak dan ibunya.

Pagi itu ibu sedang menyapu halaman. Budi menghampiri ibunya. Berbeda dengan biasanya, ibu tidak menghiraukan Budi. Padahal Budi sudah ada di depannya, dan tangan Budi sudah siap untuk salim. Sampai-sampai Budi harus berkata, "Aku mau berangkat dulu, Bu. Aku mau salim."

Ibu pegang tangan Budi, kemudian Budi mencium tangan ibunya seperti biasa. Tapi Budi paham Ibu tidak ikhlas tangannya dicium. Karena biasanya setelah salim, Ibu memberi nasihat seperti, "Hati-hati di jalan!", "Semangat belajar!", "Jangan nakal di sekolah!", atau, "Jangan jajan yang aneh-aneh!". Tapi pagi itu ibu diam saja.

Semenjak kejadian kemarin ibu memang begitu, tidak mau diajak bicara. Bapak juga. Pagi itu bapak masih sarapan, tapi Budi enggan untuk pamitan dan minta salim dengannya, karena Budi masih takut dengan bapaknya gara-gara kekerasan yang dia alami kemarin.

Ketika jam istirahat, Budi masih duduk di kelasnya. Di sana Budi bisa mendengar beberapa temannya sedang membicarakannya di belakangnya. Mereka berbisik seolah Budi tidak bisa mendengar.

"Nggak nyangka, ya? Ternyata Alpukat itu homo."

"Iya. Kok bisa, ya? Dia naksir sama anak SMP 3, loh."

"Hah?"

"Iya. Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak, orang homo itu suka masukin burungnya ke silit pacarnya."

"Menjijikkan sekali! Kau tahu dari mana?"

"Aku tahu dari guru ngajiku. Namanya itu sodomi. Dan itu dosa."

"Itu pasti sakit sekali. Memangnya kalau Alpukat punya pacar, dia akan menyodomi?"

"Mana aku tahu. Tanyakan saja padanya."

Bocah-bocah itu melirik Budi, kemudian tertawa. Budi hanya bisa diam menahan sesak di dada. Dia tidak betah berlama-lama di situ.

"Atau malah dia yang disodomi?"

"Itu juga bisa, sih."

Bocah-bocah itu tertawa. Budi langsung berdiri sampai mejanya terseret ke depan. Bocah-bocah yang bergosip tadi langsung mengarahkan pandangan pada Budi yang segera keluar dari kelas.

Budi duduk terdiam di dekat pohon yang tumbuh di halaman sekolah. Suasana sekolah pagi itu ramai sekali, banyak bocah mondar-mandir bawa jajan, bermain dan berlarian. Tapi yang dirasakan Budi adalah kehampaan. Dia merasa sendiri karena tidak ada yang berada di pihaknya. Dia masih merenungkan kejadian kemarin yang membuatnya dijauhi bapak ibunya sendiri. Semua ini memang salah Budi. Dari awal memang dia yang salah. Tidak seharusnya Budi memperjuangkan cintanya itu. Tidak seharusnya Budi dekat-dekat dengan Kevin. Memang benar kata bapak, setan sudah menguasainya. Budi sudah berdosa, dan kini dia tanggung sendiri akibatnya. Semuanya jadi kacau. Semua orang menjauhinya.

Tidak terasa Budi larut dalam kesedihan, sampai air mata mengalir di pipinya. Dia sembunyikan mukanya di balik kedua lengannya. Bergetar tubuhnya dalam tangis yang berusaha dia tahan. Tapi air mata itu tetap saja tak mau berhenti mengalir.

Bola itu menggelinding, lalu berhenti di kaki Budi. Dia segera menghapus air matanya. Di depannya, Gilang datang mendekatinya.

"Di mana suratmu?"

Budi tidak menjawab. Kalau dia bicara sekarang, nanti Gilang tahu kalau dia sedang menangis.

"Katanya mau titip surat? Jadi atau tidak?"

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang