2

982 17 0
                                    


2

Ternyata iklan yang aku tonton di TV itu bohong. Aku kira permen yang katanya bisa meletup-letup di mulut itu rasanya enak. Aku meyakinkan Budi buat beli permen itu. Dia tahu di mana kita bisa beli. Jadi aku ambil sepeda dan ikut bersama Budi ke tempat itu. Tempat yang dimaksud adalah warung kecil di depan sekolahnya Budi. Di hari Minggu warung itu tetap buka karena di sana tidak cuma menjual jajanan anak SD.

Budi mengambil dua buah permen yang terpajang di sana. Setelah itu Budi memanggil penjualnya. Budi terus memanggil sampai mengira penjualnya tidak ada. Sampai akhirnya datang juga bapak itu. Harganya 500 buat satu permennya. Harga yang wajar buat permen lolipop. Aku yang bawa uangnya. Aku juga yang mengajak Budi beli permen ini. Jadi aku yang bayar.

Setelah beli permen, kami segera kembali ke rumah. "Ayo kita kembali! Sebentar lagi iklannya selesai."

Karena terburu-buru, tidak sengaja aku dan Budi menginjak lantai depan warung yang baru dicor. Semennya masih basah, jadi kami meninggalkan jejak kaki di sana. Aku pikir pemilik warung tidak tahu, jadi kami langsung pergi.

Ketika kami tiba di kamar, ternyata kami melewatkan sesuatu. Kartunnya sudah tayang. Tapi tidak apa-apa karena kita sudah dapatkan permennya.

"Kamu mau yang mangga atau stroberi?" tanya Budi.

"Stroberi."

Aku buka bungkusnya dan aku ambil permennya. Buat makan permen ini kita harus emut dulu, kemudian celupkan dengan butiran-butiran seperti pasir yang ada di kemasannya. Ketika aku emut permennya, rasanya asam seperti permen biasa. Aku celupkan ke bungkusnya biar butiran-butiran itu menempel di permen. Aku kembali memasukkan permen ke mulut. Ternyata benar meletup-letup. Rasanya seperti di mulutku ada semutnya. Aku langsung lepas permen dari mulutku dan aku meludah ke jendela.

"Rasanya aneh." Kataku.

"Menurutku ini enak." Kata Budi. Dia menjilat lalu mencelupkan kembali permennya itu ke bungkusnya.

Aku berniat untuk melempar permen ini lewat jendela. Tapi Budi bilang "Jangan dibuang!"

Dia merebut permen dari tanganku kemudian menjilatnya bersama dengan permen miliknya sendiri. "Ini enak tau! Kenapa kamu nggak suka?"

"Rasanya aneh. Seperti ada semut di mulut."

"Hahaha! Kamu yang aneh!"

Kami melanjutkan menonton TV walau hanya sebentar karena memang sudah hampir habis filmnya. Tapi tidak dengan permen yang diemut Budi. Kedua permen itu masih ada di mulutnya.

"Sekarang ayo kita ambil layangannya!"

Aku buka jendelanya. Layangannya masih ada di atas sana. Benangnya berkibar ditiup angin. Aku perlu meraih benang itu lalu menariknya. Satu tanganku memeluk dinding. Satu tangan yang lain mencoba buat meraih benangnya. Angin membuat benang dan layangan itu menari-nari, sampai akhirnya aku berhasil menangkapnya. Hanya benangnya, bukan layangannya.

"Jangan ditarik! Nanti putus," suara Budi kurang jelas karena ada permen di mulutnya.

Masih memegang benang itu, aku bilang "Kalau begitu gimana kita bisa ambil layangannya?"

"Minggir! Biar aku saja."

Budi memanjat jendela tanpa ragu. Dia mencoba meraih layangan itu tapi tangannya kurang panjang.

"Hati-hati!"

Dengan berani dia langkahkan satu kakinya di batang pohon mangga. Satu kakinya menginjak bagian bawah jendela. Dia masih berusaha menangkap layangan yang masih menari-nari.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang