7

134 10 0
                                    


7

Pagi itu bapak mengantarku ke sekolah karena aku bangun kesiangan. Bapak bilang nanti aku bisa terlambat kalau naik sepeda seperti biasanya. Aku nurut saja ketika bapak memaksaku naik mobil bersamanya. Aku memang tidak punya pilihan lain.

"Seharusnya bapak membangunkanku," cetusku.

"Tadi bapak juga bangun kesiangan. Katanya ibu sudah membangunkanmu, tapi kamu nggak mau bangun. Sebenarnya tadi kau mimpi apa?" kata bapak sambil membanting pintu mobil.

Dalam perjalanan menuju sekolah, aku banyak diamnya. Bapak mencoba untuk mengajak aku bicara dengan membawa bahan pembicaraan yang sama sekali tidak menarik perhatianku. Dia bertanya tentang sekolahku, tentang teman-temanku, tentang tugas sekolah. Semuanya aku jawab dengan singkat. Bahkan beberapa kali aku harus berpikir dulu sebelum menjawab. Akhirnya yang ada malah rasa canggung yang bikin aku nggak betah berada di dalam mobil.

Sebelum aku keluar mobil, bapak berkata, "Sampai jumpa nanti siang. Semoga aku nggak lupa untuk menjemputmu."

Ternyata Gilang, temannya Budi itu sekolah di SMP 3. Tadi aku lihat dia ada di barisan bocah-bocah kelas 7 ketika upacara. Aku penasaran, di mana Budi bersekolah. Andai saja dia juga sekolah di SMP 3, aku pasti akan bertemu dengannya. Jadi, ketika jam istirahat tiba, aku luangkan waktuku untuk berkeliling sekolah mencari bocah itu. Aku berjalan ke mana-mana, aku tengok setiap jendela kelas 7A sampai 7H. Aku tidak menemukannya. Mungkin aku melewatkannya. Mungkin dia tidak sedang di sana. Mungkin dia ada di kantin, atau kamar mandi, atau lapangan, atau UKS, atau perpustakaan. Aku cari ke tempat-tempat itu. Aku tidak menemukannya. Bisa jadi aku memang melewatkannya. Bisa jadi dia tidak memilih sekolah di sini.

Yang aku temukan dari pencarian itu adalah Nadia. Ternyata dia juga sekolah di sini. Bagus, kalau begitu. Aku jadi punya kesempatan untuk menanyakan kabar Budi, bocah yang aku rindukan.

Kalau memang Budi nggak sekolah di sini, itu tidak apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan kabarnya. Lain kali aku pasti akan menemuinya, entah di sekolah atau di rumahnya. Karena rasa rindu ini sudah nggak bisa dibendung lagi. Aku merasa bodoh sudah mengusirnya.

Nadia sedang duduk-duduk bersama teman-temannya di depan kelasnya. Aku ragu untuk mendekat dan mengajaknya bicara karena ada teman-temannya di sana. Aku jadi mengurungkan niatku itu.

Setelah jam istirahat selesai, aku duduk di dekat pot bunga, di luar kelas. Aku memilih duduk di sini daripada ikut pelajaran di dalam. Aku melamun di sana, memandangi langit yang sedang cerah-cerahnya. Melihat burung beterbangan di antara awan-awan.

Tiba-tiba suara itu datang, "Kenapa kau duduk di situ?"

Aku menengok ke belakang. Bocah itu berdiri di sana sendiri. Aku menjawab, "Kelasku sedang ada pelajaran agama."

Gilang mengintip ke jendela kelasku. "Oh."

Aku segera berdiri sebelum bocah itu pergi. Dengan ragu-ragu aku bertanya, "Budi sekolah di mana?"

Dia diam sebentar sebelum menjawab, "Dia di SMP 1, Mas."

Aku sudah menduga dia akan sekolah di sana. Dia memang pantas sekolah di sana. Tapi dengan begitu aku tidak akan dapat kesempatan untuk bertemu dengannya di sini.

"Oh. Bagus kalau begitu," kataku.

Dia hendak pergi. Tapi aku bertanya kembali, "Kenapa kau sekolah di sini?"

Gilang menjawab, "Karena nilaiku cukup buat daftar di sini."

"Oh."

Gilang berkata sambil tersenyum, "Itu juga karena Alpukat. Eh... Maksudku Budi. Dia ngasih contekan pas ujian."

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang