7

193 10 0
                                    


7

Budi tidak membalas SMS-ku. Mungkin dia kehabisan pulsa atau kehilangan sinyal. Aku menunggu dari siang tadi, dan sekarang sudah hampir maghrib, tapi tetap saja balasannya nggak pernah muncul. Aku taruh HP-ku di kasur, biar ketika dia bergetar, aku bisa langsung mengambilnya dan membaca SMS dari pacarku. Tapi benda itu tetap diam saja seperti batu.

SMS yang tadi aku kirim tertulis, "Hai, Bud. Sedang apa kamu sekarang? Apa kamu sudah makan?"

Memang bukan SMS yang istimewa, tapi biasanya percakapan kita lewat SMS memang diawali dengan basa-basi seperti itu, kemudian berlanjut menjadi percakapan yang dalam, bahkan bisa dibilang romantis. Alah, tahu apa bocah SMP soal romantis. Tapi aku memang merasakannya. Aku bisa membayangkan bocah itu tersenyum ketika menulis SMS-nya. Dan aku masih ingat dengan senyumnya yang manis itu. Senyum yang aku rindukan.

Setelah menunggu sambil menonton TV, akhirnya HP itu berbunyi, tetap berdering, tandanya itu bukan SMS, tapi telepon. Aku langsung mengangkatnya. Ternyata itu panggilan dari kakakku.

"Halo. Ada apa, Mas?" kataku.

"Kamu sudah makan belum?"

"Belum. Kenapa?"

"Nanti aku bawakan makanan. Kamu mau apa?"

"Apa ada es campur di sana?"

"Ada. Tapi pakai susu kedelai. Kamu mau makan apa?"

Aku berpikir sebentar sampai akhirnya aku berkata, "Aku bingung," biar kakakku tidak mengira kalau teleponnya terputus.

"Kalau begitu aku bawakan mi saja, ya?"

"Jangan. Kemarin kamu sudah masak mi. Yang lain saja."

"Kamu mau sate, soto, pizza, nasi goreng, atau rendang?"

Yang dia sebutkan itu adalah menu di Dapur Nabati, rumah makan tempat dia bekerja.

"Satenya pakai bumbu kacang atau kecap?"

"Kacang. Seperti sate ayam. Tapi bukan ayam. Pakai daging imitasi."

"Apa itu?"

"Seitan."

"Setan?"

Mas David tertawa, lalu berkata, "Bukan. Seitan. Itu semacam makanan tradisional yang dibuat dari tepung. Rasanya seperti ayam. Kamu mau coba?"

"Boleh."

"Di sini juga ada martabak, loh. Tapi telurnya dari tahu. Rasanya seperti telur beneran."

"Benarkah?"

"Iya. Soalnya dikasih kala namak."

"Kuntilanak? Itu rumah makan ap kuburan. Kok banyak hantunya?"

Mas David tertawa keras. "Kala namak itu garam hitam dari India. Rasanya seperti telur. Kamu mau coba martabak tahu?"

"Memangnya kamu punya uang?"

"Ada potongan harga buat karyawan."

"Oh."

Sebelum menutup teleponnya, mas David berkata, "Besok aku masuk malam. Jadi, besok pagi renang, yuk!"

Dengan semangat aku bilang, "Ayo."

"Ajak pacarmu juga," celetuk mas David yang bikin aku kaget.

"Apa maksudmu?"

"Ajak Budi buat renang besok. Dia pacarmu, kan?"

Aku tidak menjawab. Terjadi keheningan sebentar, sebelum akhirnya mas David melanjutkan, "Hei. Sepertinya Budi itu baik. Apa kamu suka beneran suka dengannya?"

Aku hembuskan napasku yang dalam sebelum menjawab, "Iya."

"Kalau dia bikin kamu senang, aku juga ikut senang. Kamu tetap jadi adikku, selamanya akan jadi adikku. Jadi aku tetap sayang padamu, tak peduli kalau kamu pacaran dengan Budi atau siapa saja. Asalkan dia juga sayang padamu."

Tanganku bergetar pegang HP-ku. Aku mengangguk walau aku tahu mas David tidak melihatku.

"Jadi, ajak pacarmu besok. Akan aku ajari dia berenang," lanjut mas David.

"Itu ide bagus. Besok kita naik apa?"

Aku menunggu jawaban darinya. Aku sempat ingin berkata "Halo," tapi akhirnya dia menjawab, "Kita naik mobil."

"Kita bertiga?"

"Iya. Besok mobilnya nganggur, kan?"

"Apa kamu yakin?"

"Tentu. Kemarin bapak sudah memperbolehkanku naik mobil sendiri."

"Bagus kalau begitu."

Telepon berakhir, dan pacarku belum juga membalas SMS dariku. Mungkin dia memang kehabisan pulsa. Aku periksa pulsaku dan masih ada 2500. Itu cukup untuk meneleponnya walau tidak lama. Jadi aku cari namanya di kontak HP-ku. Aku telpon dia, dan aku tunggu dia mengangkat teleponku.

Kemudian aku mendengar suara, "Halo." Jelas itu bukan suara Budi yang aku kenal. Yang mengangkat telepon adalah bapaknya.

"Halo, Pak. Apa Budi ada? Saya mau bicara dengan Budi, Pak," kataku dengan sopan.

"Dia sedang di dalam. Sebentar, bapak panggilkan dulu."

"Terima kasih, Pak."

"Kamu Kevin, kan?"

"Benar, Pak."

Bapak berteriak memanggil Budi.

"Suaramu beda dengan yang bapak ingat dulu. Sekarang kamu pasti sudah besar, ya?"

"Saya sudah kelas 8, Pak."

"Budi sekarang sudah kelas 7. Di mana dia, ya? Di rumah kok nggak ada?"

Dengan kecewa, aku berkata, "Saya telpon nanti saja, Pak."

"Sebentar. Dia di sana."

"Oh."

"Oh, ya. Bilang pada kakakmu kalau seragamnya sudah jadi. Sudah bisa diambil."

"Iya, Pak."

Bapak memanggil Budi.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang