6

493 14 3
                                    

6

Karena kejadian yang mengerikan di sekolah, semua siswanya dipulangkan pagi-pagi. Pintu rumahku terkunci dan aku nggak bisa masuk rumah. Aku cari kunci di bawah keset tapi ternyata tidak ada di sana. Di pot bunga juga tidak ada. Rupanya ibu dan bapak sedang pergi. Mereka tidak tahu kalau hari ini aku pulang pagi. Sekarang aku tidak tahu harus ke mana. Aku tidak mau menunggu di sini. Aku memutuskan untuk ke rumahnya Budi. Masih dengan seragam Pramuka, aku berangkat dengan sepedaku.

Sesampainya di sekolahnya Budi, aku melihat bocah itu berjalan sendiri. Aku berniat mengagetkannya dari belakang. Tapi dia sudah tahu kalau aku datang. Bukannya kaget, dia malah tertawa. Aku berjalan menuntun sepedaku di samping Budi.

"Kenapa kamu pulang sendiri?" tanyaku.

"Tadi aku ujian matematika. Yang selesai duluan boleh pulang."

"Kejam sekali kamu. Teman-temanmu nggak kamu kasih contekan."

"Biarin. Ngomong-ngomong, kenapa kamu pulang pagi? Bukannya SMP itu pulangnya jam 12, ya?"

"Ada kesurupan massal di sekolahku. Banyak yang kesurupan. Akhirnya sekolah diliburkan."

Budi tertawa mendengar ceritaku itu. Sepertinya dia berpikir aku mengada-ngada.

"Mau ke mana setelah ini?" tanya Budi.

"Tidak ke mana-mana. Kamu mau ke mana?"

"Aku juga tidak ke mana-mana. Aku ingin mengajakmu berenang."

"Itu ide bagus."

"Tapi aku haus. Aku mau beli es dulu."

Budi mengajakku beli es di salah satu warung. Marimas yang dipilih adalah rasa mangga dan stroberi. Yang mangga punyaku. Dia membawa es marimas yang dibungkus plastik bening dengan sedotan. Sepedaku memang hanya punya satu tempat duduk. Tapi Budi bisa duduk di depan. Memang bukan tempat yang nyaman untuk diduduki. Dia bawa dua bungkus sambil duduk di depanku yang sedang mengayuh sepeda. Dengan posisi begini, aku bisa mencium bau keringat temanku ini, dan aku yakin dia juga mencium bau keringatku. Cuaca memang sedang panas-panasnya. Untungnya kita punya Marimas dingin yang segar.

"Setelah ini kita belok kanan, Pin," kata Budi setelah nyedot marimas yang dia bawa.

"Bukannya kolam renang ada di sana, Bud?" Aku menunjuk ke depan.

"Kita tidak akan berenang di kolam renang. Kita berenang di sungai. Kamu belum pernah berenang di sungai kan? Ini akan menyenangkan."

"Apa? Kukira kita akan ke kolam renang."

"Kalau kamu bawa uang buat beli karcisnya kita bisa ke kolam renang."

"Kita bisa pulang dulu buang ambil uang."

"Terserah kamu, Kepin."

Kemudian aku ingat kalau rumahku sedang terkunci. Aku jadi berkata "Sepertinya sungai tidak seburuk itu."

Aku belok ke kanan dan melanjutkan perjalanan. Es marimas yang kami bawa sudah habis diminum dalam perjalanan. Tinggal es batu yang tersisa. Budi memakan es batu itu sementara aku membuang punyaku di tong sampah pinggir jalan bersama plastik dan sedotannya.

Kita melewati jalan setapak yang tidak ditumbuhi rumput karena sering dilewati orang. Suara aliran air mulai terdengar. Makin kita mendekat, makin terdengar riuh suaranya. Akhirnya aku melihat sungai. Sungai itu terlihat dangkal. Air yang mengalir terlihat jernih sehingga kita bisa melihat bebatuan di dasarnya. Sungguh pemandangan yang jarang aku saksikan. Aku senang berada di sini.

"Apa kita akan berenang di sini, Bud?"

"Tidak. Di sini ada tahinya. Kita akan berenang di sana. Di sana bersih," Budi menunjuk.

Rahasia BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang